Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa. Tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.
Sujiwo Tejo
Budayawan
DI PENGUJUNG 2016, lembaran ditutup dengan kisah lugas, seorang adik kelas di SMP di kampung kami pada 1986 silam. Nama aqiqahnya sama dengan nama rapornya – ISN. Di kelas ia diakrabi dengan S. Di dunia yang telah ‘’membesarkannya’’ ia mengidentifikasi dirinya dengan nama Atiek. Atiek kini berusia 40 tahun lebih. Usia yang tak muda lagi, untuk menjadi pelayan para laki dengan moralitas tempe. Moral peselingkuh.
Namun dengan pengalaman melanglang buana, keriput dan ketuaan yang menjerat sisa hidupnya, bukanlah ancaman. Baginya, usia hanya sebatas bilangan angka. Dan deretan dua angka itu, tidak bisa memberi efek banyak ketika di arena kompetisi. Atiek bahkan mampu mencampakkan pendatang baru yang merebut lahan garapnya.
Sebagai sahabat Atiek meminta rekomendasi, mencarikan tempat yang nyaman, untuk berbincang, soal banyak hal. Kehidupan semasa SMP saat masih bersama, SMA di Kota Luwuk, hingga kuliah lalu pergi ke Bandung dan Batam. Hidup sebatang kara di negeri seberang, bagi seorang perempuan ranum berusia 26 tahun, tentulah berisiko.
Tidak ada pekerjaan untuk menopang hidup. Tidak ada kenalan yang berbaik hati. Ada satu – dua yang menawarkan bantuan, namun ia bisa menerka, tentu itu tidak gratis. Seorang DON JUAN yang tiba-tiba berbaik hati, atau seorang PANGERAN TAMPAN mencoba bersimpati dengan bahasa standar khas pria penggombal, sudah bisa ditebak kemana muara dituju. Namun sikap keras tidak bisa bertahan lama. Tuntutan dan kebutuhan meminta harus dipenuhi.
Hingga akhirnya pengujung tahun 2000, Atiek menerima ajakan nikah pria beristri. Melalui taaruf yang terbilang singkat. Dengan perasaan limbung, Atiek menerima ajakan nikah siri dari seorang pria suplier barang di Batam.
Hawa sejuk di Kebun Raya Cibodas, menjadi saksi bagaimana komitmen Atiek dan calon suami berinisial RD itu diungkapkan dengan lugas. Dalam benak Atiek, pilihan nikah siri, paling masuk akal. Setidaknya untuk menyelamatkan dua hal. Pertama jaminan masa depan sekaligus bayangan hidup mapan. Kedua secara syari’at diselamatkan dari jebakan zinah.
Sebagai perempuan, sebenarnya Atiek ingin menjadi istri seperti halnya teman temannya di kampung. Dimana posisi dan eksistensinya diakui secara moral maupun hukum. Saya tidak ingin disebut perebut suami orang. Saya juga ingin hubungan ini sah secara hukum positif.
Saat mengatakan itu Atiek tak kuasa lagi menahan emosi. Matanya sembab. Namun tetap terlihat tegar. Pembicaraan tiba-tiba terhenti saat pesanan menu menyerbu meja. Sesaat setekah pelayan berlalu, Atiekmengenang pesan mendiang neneknya. ‘’Semua ini tidak terjadi, jika saya sedikit menurunkan ego dan tidak membantah nenek haji dan mama saya,’’ kenangnya. Matanya memerah namun tetap terlihat cantik.
Sebagai istri siri, Atik mengaku tak banyak keleluasaan yang diperoleh. Perasaan dan pengakuan sebagai pendamping sah, baru akan dinikmati, ketika ke Jakarta atau keluar negeri, Singapura dan Malaysia. Mereka kerap bepergian di dua negeri itu untuk urusan bisnis. Pernah juga sekali jalan ke Eropa lalu ke Nepal. Nepal adalah negeri yang sejak SMA diidamkannya.
Di Bandung, untuk jalan ke Mal atau pasar harus dilakukan hati-hati jika tidak ingin kepergok keluarga istri dan kerabat suaminya.
Suasana indah itu berlangsung singkat. Lima tahun pernikahan dengan satu anak. Pada awal 2006, suami mangkat. Sebagai istri dan anak yang diproduk dari nikah siri, keduanya tidak mempunyai legal standing untuk menuntut harta gono gini.
Harta tandas, modal melayang. Ludes untuk biaya perawatan ke Jakarta dan Singapura. Menginjak tahun berikutnya, setelah kepergian suami, giliran anak semata wayang meninggalkannya. Clara Ambarawaty, sang anak mangkat menyusul ayah tercinta.
Kondisi itu diakui, bak palu godam menghantam kepalanya. Ia limbung menghadapi realitas hidup yang tak disangka-sangka. Kebahagiaan yang susah payah diperjuangan, pergi secepat bayangan.
Hingga akhirnya, nasibnya terjerambab di titik dasar. Malu pulang kampung, malu pada keluarga besar, malu pada sahabat dan kolega. Hingga akhirnya, ia memilih jalan instan. ‘’Apa boleh buat. Apakah ini pilihan atau takdir?, saya tidak tahu.Yang pasti roda kehidupan harus diputar, entah dengan cara apa pun,’’. Dengan cara curang atau entah bagaimana. Hingga akhirnya, jalan paling “masuk akal” adalah menjual apa yang melekat pada dirinya. Atiek tak ingin lagi mengurai. Kenapa pilihan itu yang harus diambil.
Tak terasa dua jam dihabiskan dalam percakapan yang intim dan sentimentil. Sesaat, dari kejauhan pelayan rumah makan dengan gestur standar, menuju meja kami berdua, meletakkan billing di atas meja. ‘’Saya yang bayar,’’ ujarnya menyambar billing di atas meja.
KILAS BALIK
Pertemuan dengan Atiek sudah dirancang dua minggu silam, melalui kontak facebook, melalui chatting privat di aplikasi Line. ISN alias S sama- sama sama alumni SMP di salah satu sekolah swasta di kampung kami. Chemistry pada pertemuan virtual terasa akrab karena berasal sekolah yang sama. Kini, sekolah itu tutup. Tak lagi beroperasi. Selama chatting Atiek tidak membuka profesinya. Namun pada pertemuan dua jam lebih, di dua tempat berbeda, di cafe di PGM dan perjalanan mencari mobil rental – untuk pulang kampung, Atiek membeber profesinya.
Kalau dikatakan, ini pilihan, saya tidak tahu. Atau jika disebut takdir. Entahlah. Saya tidak punya deskripsi untuk pertanyaan seperti itu.
Mengendarai avanza hitam rental,menuju kampung, Atiek, tetap seorang sobat centil. Seorang adik kelas SMP pada puluhan tahun silam, itu masih tetap riang dan tentu saja menggemaskan. Saat membayar jasa rental, saya memandang jarinya yang lentik, seketika memori saya melayang jauh pada tiga dekade silam, ketika ISN, alias S alias Atiek memasuki gerbang sekolah. Menyempil di antara siswa baru lainnya, Atiek sungguh menyita pandangan kami – panitia penataran P4. Fisik dan wajahnya tampak menonjol. Menunjukan sisi eksotis seorang Putri Balantak.
Selama masa penataran P4, kami tentunya berusaha tak sekadar dekat secara fisik tapi juga menggodanya, menjahilinya. Sebagai kakak kelas, kami ‘’bebas’’ melakukan apa saja, pada siswa baru. Ya Atiek seorang anak pedagang ‘’Opsi’’ – sebutan pedagang pakaian/barang kelontong keliling pada tahun 80 an, memang teramat manis.Menurut ahli gestur, manis itu beda dengan cantik. Manis tidak bosan untuk dipandang, baik dari kejauhan apa lagi dalam posisi tak berjarak.
Mestinya, dengan kelebihannya ia dengan mudah mendapatkan pria ideal pendamping hidupnya- sama mudahnya dengan ia membobol iman para pria bermoral bobrok,menemaninya tidur saat petang hingga malam larut. Tapi Atiek tak melakukannya. Ia malah mengambil sebuah profesi yang ia sendiri tidak bisa menyimpulkannya, apakah itu takdir hidup atau sebuah pilihan. Padahal Atiek sendiri bukanlah gadis dari kalangan miskin papa.
Selamat Jalan Sobat, Selamat berkumpul dengan keluarga besar di Kampung kecil – kampung kita.
TAMAN RIA, 26 Desember 2016
Penulis: Amanda