TAKBIR dan tahmid membahana di atas langit Petobo. Kawasan ”mati” yang kini berubah menjadi pemukiman ramai. Suara takbir yang dipantulkan dari pengeras suara terdengar bersahutan di antara masjid yang letaknya tak seberapa jauh. Gemerlap bohlam tampak menghidupkan suasana di barak pengungsi alias hunian sementara (huntara) yang kini dihuni seribuan lebih jiwa itu.
Kemeriahan Anak-anak di kompleks barak pengungsi, tampak terlihat di sepanjang jalan sepanjang bangunan huntara. Mereka bergerombol di jalanan. Di tangannya menenteng tas belanjaan. Menandakan anak-anak penyintas ini baru saja dari pertokoan membeli busana baru. Beberapa di antaranya bahkan mengepas baju barunya di depan teman-temannya. Sebelum akhirnya dipanggil orang tuanya untuk makan malam.
Beberapa di antaranya, berkumpul di depan bilik huntara, menyalahkan puluhan lilin kecil berjejer memanjang di teras barak. Suasana yang semakin menambah kesyahduan malam 1 syawal tersebut. Sedangkan para orang tua, pun tak kalah sibuknya.
Suami istri bahu membahu menjaga perapian yang sengaja dibuat di depan bilik masing-masing. Sekilas terlihat mirip api unggun yang berjejer rapi. Malam itu, masing-masing penghuni huntara membuat dapur ekstra karena ada sajian spesial di hari kemenangan tersebut.
Ibu Aminah (41) mengaku, malam ini dia dan dua anaknya membuat burasa dan kalopa – dua jenis kuliner yang tidak boleh absen di setiap momentum lebaran. Untuk lauknya Ibu Aminah yang kehilangan suaminya pada musibah gempa lalu, membuat sajian kaledo dan Uve Mpoi. Keduanya adalah kuliner khas Kaili. Ini juga sajian wajib ”Kalo papanya masih hidup, sudah dia yang di dapur. Kalo saya bersih-bersih rumah,” ujarnya mengenang mendiang suami yang hilang di liquefaksi di Petobo.
Di Masjid Munzalan Mubarakan, terlihat perempuan seorang diri membersihkan sekeliling masjid. Di adalah Ibu Zubair (47) pegawai di Biro Ekonomi di Kantor Gubernur. Huntara yang ditempatinya, berdampingan dengan mesjid Al Hidayah. Ia mengaku bersih bersih masjid karena akan digunakan untuk salad id besok pagi.
Di tengah keceriaan menyambut Idul Fitri, beberapa warga Petobo termasuk Ibu Zubair merasa sedih karena harus menjalani Idul Fitri tanpa orang orang tersayang. Dimana kepergian orang orang itu, sangat tidak terduga dengan cara yang mengenaskan. ”Tapi mungkin sudah jalannya seperti itu,” ungkap Ibu Ariana (27) mencoba bersikap realistis.
Pemandangan kurang lebih sama terlihat pula permukiman Balaroa. Takbir terdengar bersahutan dari mesjid Al Hidayah dan mesjid Munzalan Mubakaran, Balaroa Atas yang berjarak 150-an meter. Beberapa remaja tampak memasang tenda untuk menaungi jamaah jika terjadi hujan. ”Ini lagi pasang tenda, buat jaga-jaga jangan sampai hujan,” ungkap salah seorang ta’mir mesjid Al Hidayah.
Suasana religius tampak terasa di hunian yang didominasi tenda bantuan dari Pemerintah Turki itu. Di setiap tenda terdengar alunan suara mengaji yang dipantulkan sound sistem milik warga. Salah seorang ibu dan anaknya yang sedang menjaga tungku burasa, terdengar menyetel lagu milik Nisya Saban dari telepon pintar milik anaknya.
Masih di tenda hunian Balaroa, Ibu Asti (41) terlihat khusuk menyimak lagunya Grup Band Ungu bertitel, Andai Kutahu yang diteruskan dengan lagu berikutnya, Surgamu dan Dengan Napasmu. Lagu lawas yang dibawakan Wakil Wali Kota Palu ini, Sigit Purnomo Said ini, bahkan diulang hingga dua kali.
Sambil mendengar lagu yang sarat makna itu, ia teringat anaknya yang hilang di Pantai Talise saat kawasan wisata itu dihajar ombak. Di dapur yang dipisah tirai kaku bergambar wajah caleg, tampak jejeran burasa, teratur rapi. Sedangkan di atas api kompor, mengeluarkan suara yang menggelegak serta aroma rempah wangi. Ibu Asti sedang memasak Uta Dada – untuk melengkapi sajian keluarga kecilnya pagi besok. ”Ini lebaran pertama tanpa anak saya,” katanya iba. Ia mengaku, nyaris saban hari selalu teringat wajah anaknya.
Dari sejumlah pengungsi yang ditemui, mayoritas mengaku momentum ramadan ini mereka cukup terbantu kebaikan hati para dermwan. Dengan itu, mereka bisa membeli beragam kebutuhan dasar menyambut hari kemenangan. Mulai dari baju baru untuk anak-anak, kue-kue, daging dan bahkan kasur busa tipis untuk alas tidur.
Namun seusai ramadan, para penyintas ini kembali dihantui kekurangan kebutuhan dasar, di saat para suami tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak untuk menghidupi keluarganya. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto: Yardin Hasan
artikel ini adalah republikasi dari web kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018