Saat Kokok Ayam Menjadi Penanda Bahaya

TOKOH ADAT - Tokoh adat perempuan Ngata Toro, Rukmini Toheke, menjelaskan, perempuan Ngata Toro, mempunyai peran yang kuat dalam penanganan bencana

BAGI perempuan di Ngata Toro atau yang lazim dikenal Desa Toro, musibah adalah peristiwa yang jamak dalam kehidupan mereka. Turun temurun beragam musibah skala kecil, menengah dan besar, pernah menjadi bagian dalam sejarah hidup mereka yang panjang.

Gempa bumi, tanah longsor hingga banjir adalah musibah yang pernah dialami warga di kampung ini. Karena itu, warga Ngata Toro, yang terletak di Kecamatan Kulawi – Kabupaten Sigi, mempunyai standar pencegahan dan penanganan bencana sendiri.

Tokoh adat perempuan Ngata Toro, Rukmini Toheke, menjelaskan, perempuan Ngata Toro, mempunyai peran yang kuat dalam penanganan bencana. Khususnya untuk urusan domestik.

Perempuan, kata dia, berperan mengontrol persediaan pangan agar tidak kewalahan jika sewaktu-waktu terjadi bencana. Mulai mengontrol paningku (lumbung) yakni penyimpanan padi gabah hingga penyediaan beras di dalam rumah.

“Misalnya, setiap saat akan menghadapi musim hujan yang berpotensi banjir atau longsor, beras yang tersedia sudah harus siap tanak. Ini akan memudahkan jika sewaktu waktu harus mengungsi ke tempat tertentu,” kata Rukmini, pada diskusi Perempuan Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana, di Halaman Kantor BTNLL, pekan lalu.

Tradisi tersebut masih terus terpelihara dengan baik bahkan sampai ke generasi muda Ngata Toro yang saat ini sedang menuntut ilmu di Palu. Rukmini, menuturkan, secara turun temurun perempuan Ngata Toro, mempunyai kebiasaan menyimak tanda-tanda dari hewan sebagai pertanda bahaya. Misalnya, pada seperdua malam pukul 24.00, jika terdengar kokok ayam bersahutan, ini tidak bisa dibaca sebagai hal biasa. Kokok ayam semacam itu sejatinya pada subuh hari menjelang fajar.

‘’Namun jika kokok ayam pukul 24.00, yang oleh tradisi Toro disebut Untongobengi. Bagi kami ini ada pesan alam yang harus diwaspadai,’’ katanya.

Pada peristiwa likuefaksi yang terjadi 28 September lalu, Rukmini dan keluarga sedang berada di Kelurahan Petobo, kokok ayam serupa ikut terdengar. Kepada anak perempuannya, Rukmini mengatakan, kokok ayam seperti itu, pada jam 12 malam, menandakan ada peristiwa alam yang bakal terjadi.

Pagi harinya, tanpa berpretensi akan terjadi sesuatu, ia dan anaknya mengemasi barang seadanya. Anak-anaknya ke rumah kerabat di Jalan Banteng, Palu Selatan. Sedangkan Rukmini sendiri ke kantor di Sekretariat AMAN untuk persiapan tampil di Festival Pesona Palu Nomoni 2018 di Anjungan Nusantara, Kampung Kaili, Teluk Palu.

‘’Dan pada sore harinya terjadilah peristiwa dahsyat itu,’’ katanya. Menurut dia, seandainya ia mengabaikan nasehat orang tuanya terdahulu, kemungkinan ia dan anak-anaknya termasuk salah satu yang menjadi korban likuefaksi di Petobo. ‘’Saat ini rumah kami sudah hilang,’’ katanya.

Rukmini Toheke adalah tokoh adat perempuan berjuluk Tina Ngata di desanya. Selain menjadi anggota dalam komposisi adat Ngata Toro, ia juga mendirikan sekolah alam di sana. Sekolah yang diasuhnya, mendidik anak usia SD pada sore hari.

Usai sekolah formal, Rukmini mengajarkan anak-anak soal kearifan lokal, bagaimana menjaga alam dengan pendekatan adat Ngata Toro. Misalnya, menjaga kelestarian air, mengenal nama-nama pohon atau belajar mengenal nama kawasan berdasar sejarahnya. Ngata Toro adalah satu satunya desa definitif yang diakui berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TMNL).

Penulis dan foto: Yardin Hasan
Editor: Ika Ningtyas

artikel ini ada republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi  AJI bekerjasama dengan Internews & Katadata

Tinggalkan Balasan