NYANYI burung bersahutan jauh di pucuk-pucuk pohon. Bersamaan dengan mentari pagi yang menerobos di sela daun, memaksa embun bening yang menggelantung manja di ujung rerumputan luruh ke bumi.
Suara burung endemik Lore Lindu terdengar bersahutan – seolah membangunkan alam dan seisinya untuk bergegas menjalankan aktivitas, memburu kehidupan di alam semesta.
Melangkah keluar dari kantong tidur yang membebat, seketika tubuh bergidik merasakan sensasi dingin embun yang tersapu di kulit kaki dari rerumputan yang menjulur tak beraturan. Dikejauhan, perempuan berkudung tampak bergerombol mengantre di depan dua mata keran air.
Menunggu giliran mengambil wudhu menunaikan kewajiban sujud dua rakaat. Tidak mengapa lambat beberapa saat daripada mengabaikannya. Setidaknya begitulah dibenak sejumlah perempuan dan beberapa pria good looking yang terus menempelkan dua lengan ke dada. Tak kuasa menahan cuaca pagi yang dingin.
Di sana sini kompor mungil yang menyangga ketel mungil mengeluarkan uap tipis. Seolah ingin menggantikan kabut di atas telaga yang pagi ini tak kunjung terlihat. Bersamaan dengan itu, aroma kopi menyeruak menyapa orang-orang yang masih terlelap di dalam tenda, yang bergelantungkan di tempat tidur gantung atau dibebat kantong tidur untuk secepatnya beranjak dari tidur lelapnya.
Matahari yang menyapa genit pagi ini seolah hendak mengajak seisi bumi perkemahan untuk menikmati awal pekan November dalam suasana keriangan. Duaratusan pasang kaki, dewasa, remaja dan anak-anak di kawasan seluas enam hektar itu sadar, tak akan mengabaikan keindahan yang tersaji indah di depan mereka. Dalam keriangan yang sama, orang orang itu, memilih aktivitasnya sendiri-sendiri.
Telaga Tambing pagi ini bergerak rancak dengan ratusan anak manusia yang menikmati alam indah. Suara daun oleh angin sepoi, nyanyian burung, gemericik air, keindahannya bahkan melebihi sonata indah dalam playlist gawai mereka. Karena itu, Ahmad Fauzi dan rekannya Salsabila pelajar swasta dari Kota Palu, memilih mencopot headset yang sedari awal menempel di telinga.
Arini Asnani (20) Mahasiswi Universitas Tadulako membiarkan betisnya belepotan tanah basah demi untuk menikmati sensasi alam liar Taman Nasional Lore Lindu. Pagi-pagi dengan hanya menyeruput teh, Arini dan tiga sekondannya beranjak meninggalkan tenda. Mengitari tiga perempat telaga. Arini bilang, perjalanannya tak hanya mencari spot untuk membidikan kamera kesayangannya ke sasaran terbaik.
Namun mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan alam liar adalah pengalaman yang diingininya. Bagi Arini, menjelalah alam walau sesaat, mampu memberikan pengalaman batin yang indah, sekalipun dibebat penat tak berperih.
Arini, Ahmad Fauzi, Salsabila – anak-anak milenial yang tak familiar dengan kehidupan alam liar, kali ini mengabaikan atribut sebagai generasi pop dan membiarkan dirinya dalam keliarannya bersama alam. Menyesap amis bau humus yang menyeruak dari semak belukar. Membiarkan rongga paru diisi aroma alam yang natural. Menggantikan polutan yang bertahun-tahun menyesaki paru-paru mereka semasa menjalani kehidupan di kota.
Tak hanya ketiganya. Hari ini, dengan cara masing masing orang-orang terlibat dalam kegembiraan yang sama. Novelis Ekka Kurniawan pernah bilang, seperti dendam rindu harus dibayar tuntas. Seolah, mereka ingin membayar tuntas rasa yang tertunda – setelah kawasan Bumi Perkemahan Telaga Tambing diisolasi karena pandemi.
Atikah dan empat kawannya dari Desa Pakuli – Sigi, lima gadis belia mengaku memilih hari terakhir libur panjang untuk menikmati keindahan alam di Bumi Sedoa itu. Belajar daring yang sekalipun dikerjakan dari rumah namun tidak bisa diisi dengan jalan-jalan. Kelimanya memilih memanfaatkan hari terakhir cuti bersama itu, berkemah semalam, sebelum pulang pagi harinya – bersiap-siap mengawali pekan November dengan pelajaran daring dari gurunya.
Pesona Telaga Tambing juga menggoda Ibu Mirandah. Warga Jalan Kedondong, Palu Barat ini memboyong suami dan tiga anaknya, menantu serta dua cucunya menghabiskan malam minggu dalam dua tenda. Mirip pindahan rumah, aneka konsumsi dan dua galon air minum serta timbunan camilan tampak teronggok di tenda besar. Pagi harinya, ia dan cucunya memilih berjalan ke anjungan. Puas cekrek-cekrek, kembali untuk rebahan, ternyata tenda kosong. Suami dan anak laki-lakinya masuk ke dalam hutan. Di sana tersedia spot-spot menawan yang instagramable untuk mengabadikan semua kebersamaan.
Tak ingin terlewat, Ibu Mirandah pun mengajak kembali anaknya menyusuri tempat-tempat berfoto suaminya. Menjelang siang keluarga ini berkemas pulang. Tentunya, setelah memori smartphone dipastikan sudah diisi dengan beragam pose terbaik. Ibu Mirandah mengaku sudah kedua kali ke Telaga Tambing. Berjanji akan kembali lagi suatu saat kelak.
”Saya kesini lagi. Nanti setelah jalan lingkar sudah selesai,” ucapnya.
Alam Telaga Tambing, membuat Ibu Mirandah selalu ingin kesini.
Virus yang bergulir dari Wuhan – China ini, memang momok menakutkan nyaris seantero manusia di kolong langit. Orang-orang begitu mudah disergap ketakutan yang disuplai dari gawai di genggamannya.
Pandemi Covid hadir dalam wajah yang tak tampak boleh saja menakuti banyak orang. Namun pesona Telaga Tambing selalu hadir menawarkan keramahan dirinya. Ia mampu menggerus rasa takut orang-orang untuk bepergian.
Ceruk telaga yang lonjong itu terlalu sulit hilang dari orang-orang yang pernah mengenalnya. Bahkan musuh seganas Covid pun, tak mampu menghalangi orang untuk datang menikmati keramahan alam Bumi Sedoa – Poso itu.
Renjana di Telaga Tambing.
Suara burungnya.
Gemericik airnya.
Lebat hutannya.
Ramah petugasnya.
Hingga harmoni alamnya.
Paduan orkestra nan apik yang selalu memanggil dan memaksa siapa pun untuk datang lagi. Dan lagi.***
Penulis : Amanda
Foto-foto : Amanda