HIDUP harus memilih. Termasuk soal pilihan terhadap profesi tertentu. Maksud hati ingin menjadikan profesi broadcast sebagai sandaran hidup, namun realitas berkata lain. Di kota Palu, setidaknya untuk saat ini, broadcaster bukan pilihan yang bisa menjamin masa depan. Itulah pengkuan blak-blakan empat penyiar radio dari dua stasiun berbeda dalam bincang-bincang ringan kemarin.
Lalu apa yang membuat empat broadcaster muda ini begitu antusias dan seolah tenggelam dalam dunianya?
Empat broadcaster muda ini sepertinya mempunyai kesimpulan yang sama terhadap dunia yang sedang mereka geluti saat ini. Walau tidak menaruh harapan besar terhadap profesi tersebut namun mereka merasa nyaman berada di dalamnya. ‘’Pokoknya asyik. Bisa nambah temen, trus nambah income juga,’’ cerocos Dita (16) penyiar paling muda saat wawancara.
Dita siswi SMA Negeri 1 Palu ini mengaku, mencoba menjajal kemampuannya, cuap-cuap di bilik siar, bukan semata-mata karena motif ekonomi tetapi ingin melatih dirinya untuk tampil lebih mandiri, professional namun tidak kehilangan dunia remaja yang fun, smart and gaul.
Dewi yang di Best fm dipercaya mengawal acara Most Wanted 2, ini mengaku dukungan dari orang tua dan teman-teman serta lingkungan kerja yang sangat familiar membuat dirinya semakin betah duduk berjam-jam di balik bilik siar. Baginya, asalkan happy, tidak menyusahkan diri sendiri dan orang lain, maka tidak alasan untuk menanggalkan profesi yang satu ini.
Demikian halnya dengan Unggy, mahasiswa jurusan Akuntasi Fakultas Ekonomi Untad ini, mengaku, ada sebagian yang menganggap menjadi penyiar adalah pilihan hidup. Menurut langganan MC konser-konser besar di Palu ini, pemikiran ini tidak salah jika di kota-kota besar, yang industri hiburannya sudah sangat maju. Seperti Makassar atau Surabaya dan Jakarta. Tapi untuk kota Palu, setidaknya untuk saat ini, pegiat broadcaste harus berfikir dua kali untuk menjadikan profesi ini sebagai profesi yang menjamin masa depan. ‘’Gak tau kalo empat, lima tahun kedepan. Saat ini saya harus realistis, memang belum bisa. Tapi gimana ya, saya telanjur jatuh hati sama profesi ini,’’ katanya tersenyum.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia penyiaran, Unggy berharap profesi ini tidak sekadar side job alias nyambi atau pelarian dari rutinitas kehidupan. Tapi harus punya prospek masa depan yang bisa memberikan bisa memberikan jaminan masa depan. ‘’Jadi apa boleh buat, untuk saat ini saya menempatkannya sebagai sasaran antara,’’ ujarnya menambahkan.
Sangat disayangkan katanya, jika profesi yang membutuhkan skill serta kualitas SDM tinggi ini kemudian menjadi priotitas kedua atau ketiga dan seterusnya hanya karena dianggap tidak prospektif. Unggy yang konon memiliki bayaran cukup tinggi untuk sekali MC ini, berharap pada saatnya nanti industri hiburan di kota Palu dan Sulawesi Tengah mampu mengikuti provinsi tetangganya – Sulawesi Selatan. ‘’Saya kira ini tidak hanya obsesi saya sendiri tapi juga masyarakat radio di daerah ini,’’ ujar penggemar Indy Barens, mantan penyiar Radio Prambors Jakarta ini.
Sedangkan Adit, tandem Dita di Radio Best FM ini, mengaku bersyukur masuk dalam lingkungan ini. Mahasiswa Fakultas MIPA Jurusan Matematika Untad ini mengaku, sangat menikmati perannya. Di sela-sela kuliah, dengan menjadi penyiar, satu hal yang pasti bisa mempunyai penghasilan sendiri. Sebagai mahasiswa ia juga merasa terbantu dengan profesi ini. Ia dituntut untuk terus mengetahui informasi sebagai bahan siaran. ‘’Harus diupdate terus biar menyiarnya enak dan tidak kehabisan bahan. Kak Arya bilang penyiar gak boleh bodoh-bodoh amat,’’ urai Adit yang disambut tawa lepas tiga rekannya.
Pandangan yang agak filosofis di kemukakan Arya alias Anca. Penyiar yang mengawal acara Chart (tangga lagu Mix Max Mild Top 20), Special new singles (BOKIS/ Bola KriStal), di radio Skif FM ini, mengaku saat aktif di menyiar di salah satu radio di Makassar semata-mata sebagai hobi. Seiring dengan perjalanan waktu, dari sekadar hobi Arya berkesimpulan bahwa profesi ini bisa menjadi sebuah pilihan untuk menjamin masa depan. Terlebih setelah melihat para pesohor negeri ini seperti, Indy Barens, Farhan dan Indra Bekti merintis karirnya dari penyiar radio. ‘’Saat itu saya berfikir profesi ini bisa menjadi pintu masuk ke level berikutnya dari profesi ini.
Asalkan dijalani serius pasti bisa,’’ katanya mengenang. Lepas dari Prambors Makassar lalu balik pulang kampung ke Palu mendapati paradigma berfikir yang sepertinya tidak mendukung obsesinya tersebut. ‘’Saya kaget juga mendapati prototype masyarakat Palu sepertinya masih menempatkan profesi penyiar bukan apa-apa. Ini juga membuat saya down. Akhirnya motivasi itu kendur lagi dari obsesi untuk menjalani secara serius menjadi cukup menyalurkan bakat saja,’’ kisahnya. Bagi masyarakat umum ujar Arya yang bisa menjamin masa depan hanya dua. PNS atau pegawai bank.
Walaupun sudah mengubur dalam-dalam impian sukses di dunia penyiaran seperti halnya Indy Barens dan kawan-kawan, pria yang masih betah melajang ini mengaku akan terus eksis di dunia yang sudah kadung dicintainya itu. Sampai kapan? ‘’Sampai masyarakat penikmat radio tidak membutuhkan saya lagi,’’ pungkasnya.
‘’Realitas kadang tidak seiring sejalan dengan obsesi kita. Kadang terdapat jurang antara harapan dan kenyataan. Inilah realitas hidup yang harus dihadapi dan dilalui,’’ imbuh Unggy. (yardin hasan)
Penulis: Amanda
Artikel ini tayang di Harian Radar Sulteng 3 Oktober 2010