PENYIAR radio masih dianggap sebagai profesi kelas dua. Ia tidak bisa dijadikan profesi untuk sandaran hidup. Setidaknya, itulah kesan yang tertangkap dari dua sosok ini atas profesi yang sedang mereka jalani saat ini. Dengan usia yang masih belia, Arya dan Unggie (SKIP FM) berbagi cerita soal profesi penyiar radio sebagai sebuah pilihan. Atau hanya sasaran antara.
Apa yang membuat Anda enjoy menjadi penyiar radio?
Arya: yang pasti banyak nilai-nilai yang membuat kita merasa enjoy. Menjalin silaturahmi sudah pasti, banyak teman, nambah income juga oke, banyak deh pokoknya.
Unggy: dari menyiar banyak yang bisa didapatkan. Mandiri dan dikenal banyak orang..he..he..dan dukungan orang tersayang, teman, ortu dan semuanya
Menurut Anda, menjadi penyiar radio apakah profesi pilihan atau hanya sasaran antara?
Arya: awalnya, masuk di dunia broadcast untuk penyaluran hobi. Lama-kelamaan saya berfikir ini bisa menjadi pilihan yang menjanjikan. Di kota besar, penyiar selain untuk nambah income juga tiket untuk jenjang berikutnya dari profesi ini. Tapi untuk Palu, profesi ini bagi masyarakat masih sulit diterima sebagai sebuah pilihan, ketika mindset warganya, cenderung menganggap PNS atau pegawai bank adalah profesi yang menjanjikan. Penyiar sekadar side job dulu, ikut prototype warga Palu lah..
Unggy: Saya sih berharap penyiar radio bisa menjadi suatu profesi yang menjamin masa depan kita. Tapi sepertinya saya harus realistis, bahwa untuk saat ini profesi ini cukup dulu untuk sasaran antara. Namun bukan berarti menjadikan ini sebagai loncatan. Karena faktanya dari sini kita bisa dapat banyak manfaat
Sampai kapan menjadi penyiar?
Arya: Sampai saya tidak terpakai lagi oleh pendengar radio di Palu. Kalau mereka yang bergerak di dunia ini tidak menerima saya lagi, saat itulah saya menarik diri
Unggy: sampai kapan ya…sampai tidak mampu lagi he..he…tapi saat ini belum berfikir meninggalkan radio
Persaingan dunia broadcast sangat dinamis, lalu apa yang dilakukan agar Anda tidak ditinggalkan pendengar Anda?
Arya: Pada prinsipnya seorang penyiar mempunyai karakter masing-masing. Tapi bagi saya itu tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana saya membawakan acara dengan bagus dan pendengar betah mendengar siaran saya. Salah satunya adalah bermain dengan intonasi. Terus harus smart dan harus lebih pintar. Tidak bodoh-bodoh amatlah dari pendengar.
Unggy: pada dasarnya pendengar radio lebih suka dengar musik daripada cuap-cuap. Karenanya kita mencoba menyampaikan sesuatu secara singkat tapi mengandung nilai informasi yang tinggi buat pendengar buat para skiffer (sebutan pendengar SKIP FM). Jadi jangan asal ngomong, tapi tidak jelas kemana arahnya.
Sebagai penyiar pasti ada yang senang dengan Anda. Apakah pernah mendapat telepon untuk ke jenjang yang lebih serius?
Arya: yang begini-begini sudah sering bahkan sejak aktif menyiar di Makassar hingga di Palu. Banyak yang mengejar-ngejar hingga ke kehidupan pribadi. Padahal seorang Arya, tidak ganteng-ganteng amat. Tapi inilah nilai plus kita, itu berarti kita berhasil membawakan sebuah acara yang tidak saja menghibur tapi juga bernilai edukatif.
Unggy: wah yang gitu-gitu banyak. Terus terang saya tidak menutup pintu untuk hal-hal seperti ini. Toh bukan sesuatu yang tabu. Tapi saya sepakat dengan Dita, profesionalisme harus dipisahkan dengan urusan hati.
Yang terakhir, soal local content. Seberapa pentingkah nilai-nilai lokal menjadi tema utama dalam siaran radio Anda?
Arya: saya ingin mengklarifikasi soal ini. Apalagi SKIP sempat mendapat stigma radio namango karena agak kejakarta-jakartaan. Tapi pertanyaannya, adalah bagaimana kalau kami tampil dengan radio yang kurang lebih sama. Akhirnya pendengar tidak punya pilihan karena setiap hari dicekoki dengan siaran yang seragam. Managemen juga tidak mewajibkan bahwa saat menyiar harus ala penyiar Jakarta. Prinsipnya begini, kita ingin mengangkat persoalan lokal Palu dengan kemasan dan penyampaian yang berbeda. Kalau hanya persoalan komitmen daerah, tidak usah diragukan saya kira komitmen kami di radio ini sama juga dengan teman-teman lain di daerah ini.
Unggy: iya, kami juga sering mendapatkan kritikan soal ini. Tapi bagi radio yang masih baru, ini barangkali hal yang wajar. Apalagi ketika SKIP FM muncul dengan format yang berbeda di tengah dominasi dominasi siaran yang katanya Palu banget. Jadi wajar jika ada pertanyaan kritis terhadap kami yang katanya sama sekali tidak berbau Palu. SKIP yang nyembul dengan ciri khasnya sendiri akhirnya menjadi radio alternatif di tengah mainstream yang sudah ada.
Penulis: Amanda
Artikel ini tayang di Harian Radar Sulteng 3 Oktober 2010