Paket Komplet dalam Novel Gadis Kretek : Kisah Keluarga, Sejarah, Politik, Bisnis, dan Romansa

Sampul Gadis Kretek yang menggoda

MELIHAT betapa bagusnya Novel dari Ratih Kumala ini, juga seriesnya di Netflix yang menggandeng aktris/aktor yang juga keren, akan sayang jika saya lewatkan. Apalagi ketika menengok blurb di sampul belakang dan membaca beberapa ulasan. Mengetahui sejarah kretek di Indonesia, jatuh bangun bisnis ini, sungguh sebuah pengalaman baru.

Novel yang pertama kali terbit tahun 2012 ini, yang telah diadaptasi ke dalam medium film, mampu menyasar banyak orang. Terbukti sudah cetakan ke-15 dari novel di tangan saya ini. Tahun 2023 saja Gadis Kretek cetak 6 kali. Beberapa cetakan setelah cetakan ke-11, sampul Gadis Kretek dengan perempuan berkebaya hijau dan memegang sebatang kretek, diganti dengan perempuan berkebaya hitam, elegan dan nampak mewah edisi series Netflix.

Sebelum menyaksikan Dasiyah dalam rupa Dian Sastro di Netflix yang digarap dalam lima episode, saya melahap terlebih dahulu novelnya. Kalau kamu, menikmati cerita Gadis Kretek dengan media film atau novel? Atau keduanya?

Meski lebih menyukai Gadis Kretek dalam medium novel, tidak saya pungkiri bahwa yang membawa saya membaca novel tersebut adalah trailer Gadis Kretek yang disutradarai Kamila Andini dan Ifa Isfansyah. Saya kemudian melihat buku itu dalam satu toko buku di Makassar, di pajang di bagian tengah lemari, menonjol diantara buku-buku lain. Saya belum meminangnya, tetapi memasukkannya dalam keranjang kuning. Butuh waktu sedikit lebih lama untuk saya bertemu dengan Jeng Yah, karena saya mencari Dasiyah bukan dalam sosok Dian Sastro, meski kemudian saya tidak mampu memisahkan keduanya.

Bagi saya, Dian Sastro adalah Dasiyah, dan Dasiyah adalah Dian Sastro, perempuan yang kecerdasannya memancar dari setiap bagian tubuhnya dan perilakunya.
Satu aturan yang saya berlakukan ketika membaca Gadis Kretek adalah, menyiapkan kopi. Saya menyeduh kopi, begitu kopi siap, saya mulai membaca. Aroma kopi yang memenuhi kamar kos saya mampu menyamarkan aroma tembakau yang menguar dari halaman demi halaman novel.
Meski sebagai tokoh utama, cerita tidak bertumpu pada karakter Dasiyah atau Jeng Yah saja. Cerita justru terjalin dari satu tokoh ke tokoh lain dengan karakter yang sama kuat. Misalnya kisah Idroes Moeria dan Roemaisa, awal mula usaha kretek muncul. Bahkan serupa kisah cinta Jeng Yah, kisah romansa telah dimulai dari zaman orang tua Dasiyah. Peran tokoh yang berimbang, membuat sejarah kretek di Indonesia mendapatkan jalan yang utuh untuk ditelusuri dengan cerita keluarga pengusaha kretek sebagai kendaraan.

Terasahnya keterampilan Dasiyah dalam mengelola bisnis mulai dari meracik saos, pengelolaan keuangan, hingga pemasaran, tidak lepas dari ruang yang diberikan Idroes Moeria, ayahnya (dalam serial Netflix, Dasiyah sembunyi-sembunyi masuk ke ruang saos).
Kepiawaiannya dalam berbisnis, membuat Jeng Yah memiliki peran besar dari usaha kretek ayahnya. Cara Dasiyah berpikir, merencanakan strategi pemasaran, itu menarik sekali mulai dari perencanaan produksi hingga penjualan. Muncul para SPG (Sales Promotion Girls) yang menawarkan kretek di pasar malam. Mungkin saja konsep pemasaran dengan SPG ini (terutama rokok) masih konsep yang sama dari masa lalu. Bedanya ada pada cara berpakaian. Di masa Dasiyah, para SPG memakai kebaya.

Masa-masa kejayaan keluarga Dasiyah ini runtuh ketika Jepang menduduki Indonesia. Masa ini Soeraja sudah hadir, membantu Dasiyah mengelola pabrik kretek. Sebagai calon suami Jeng Yah, Soeraja bisa diharapkan dan sangat membantu. Perjalanan asmara Soeraja dan Dasiyah juga bisa dikatakan mulus, tidak ada yang menentang. Tetapi keinginan untuk menjadi setara dengan Dasiyah, mendorong Soeraja membuka bisnis kretek serupa dengan merk berbeda. Semuanya berjalan baik, ia mendapatkan pemodal. Namun kehadiran Jepang yang dianggap sebagai keluarga lama Indonesia, dan disambut dengan suka cita setelah Belanda mundur, justru tidak lebih baik.
Rakyat Indonesia menyambut peralihan penjajahan, dari Belanda ke Jepang dengan kegembiraan. Karena merasa terbebas dari penjajahan itu. Eh ternyata kena prank. Di masa penjajahan Jepang, rakyat Indonesia menderita tiada habis. Isu G-30 S/PKI merebak. Orang-orang diburu, termasuk Soeraja yang dituduh komunis karena usahanya memakai logo palu arit. Usaha kretek Idris Moeria juga tutup, ia dan putri sulungnya ditangkap karena memiliki hubungan dengan Soeraja.
Segalanya berubah dari sini. Soeraja menikahi Purwanti, putri Djagat. Namun di hatinya, nama Jeng Yah masih terpatri. Menurut saya, abadinya nama Jeng Yah di hati Soeraja ini bukan karena cinta semata. Melainkan perasaan bersalah karena mencuri resep saos kretek. Itu mengapa Dasiyah marah setelah menghisap rokok Djagat Raja daripada saat menerima kabar Raja akan menikahi Purwanti. Relevansi dengan masa kini adalah dicurinya resep masakan, resep kue, karya tulis, ide tulisan. Hal ini yang membuat Dasiyah jengkel setengah mati kepada kekasihnya itu – mantan kekasih.

Bertahun-tahun kemudian, Pak Raja yang sekarat menanti ajal dan ia kerap menyebut nama ‘Jeng Yah’ yang kemudian menjadi satu permintaan terakhir darinya sebelum Malaikat maut menjemputnya. Raja atau Soeraja dalam ejaan lama, meminta kepada ketiga putranya, pewaris Kretek Djagad, Lebas, Karim dan Tegar untuk mencari keberadaan Jeng Yah. Perjalanan mencari cinta pertama Sang Ayah. Bisa dikatakan demikian. Tetapi perjalanan itu bukan sekadar perjalanan mencari tahu kisah cinta yang biasa. Melainkan ketiganya justru sedang menyusuri sejarah keluarga mereka, sejarah Kretek Djagad.
Mengikuti perjalanan mereka, memberikan saya pengalaman membaca yang berbeda. Membaca kisah cinta, dengan aroma tembakau, amis darah para korban pelanggran HAM, ketakutan, juga kejengkelan. Point yang saya tandai selain kisah cinta Dasiyah dan Soeraja ini adalah, tentu saja tentang kretek, tentang tembakau. Sekarang hanya beberapa orang yang menghisap tembakau, prosesnya yang lama mungkin menjadi salah satu alasan ia ditinggalkan dan beralih ke rokok filter berbagai merk di pasaran. Tetapi saya yakin, kehadiran rokok filter sekarang ini, tidak berlepas dari proses panjang peracikan saos tembakau dahulu. Beberapa orang tua yang saya temui dan masih merokok dengan melinting bilang, lebih enak ngelinting daripada rokok yang sekarang.

Membahas rokok, baik rokok filter atau pun kretek, dalam lingkungan saya, perempuan perokok memiliki stigma perempuan ‘nakal’. Dahulu saya turut punya pemikiran demikian, ini dulu sekali ketika masih remaja, pandangan yang sama dengan melihat para PSK di Komplek Bebang, Boneaka. Dan kebetulan, perempuan yang saya lihat merokok, adalah para PSK. Naïf sekali saya. Tapi sekarang tidak lagi. Saya hanya tidak suka asap rokok sampai ke saya, siapa pun yang merokok.
Stigma perempuan merokok adalah perempuan yang tidak baik dibantah dalam novel ini. Lihatlah betapa bermartabat dan cerdasnya Jeng Yah, juga anggun. Dari saos dan rasa kretek, Jeng Yah menunjukan kemampuannya. Didukung keluarganya, Dasiyah atau Jeng Yah mampu berada di mana pun, di ruang saos (aktivitas laki-laki), di ruang-ruang publik lainnya.
Masa kemerdekaan, pemerintahan orde baru, G-30 S/PKI menjadi penanda waktu. Sisi sejarah ini mendukung cerita. Pas sudah novel ini dikatakan novel sejarah. Bayangkan jika sejarah tembakau hadir di pemerintahan Jokowi, tentu tidak menarik. Agak kreki, membahas tembakau di tengah kretek filter yang menguasai pasar atau bahkan vape yang bak menunjukkan kelas sosial dan ekonomi.

Sebagai penutup saya ingin bilang, Dasiyah ini, kalau di kehidupan nyata adalah perempuan ‘mahal’ yang mementingkan prestasi atau karya dibandingkan cinta – yang menyakitkan. Itu mengapa ia marah dan memaki setelah mencoba kretek dari Soeraja dibandingkan mendapatkan undangan pernikahan. Sementara itu saya kasihan pada Purwanti, dia bersama dengan seseorang yang tidak pernah selesai dengan masa lalunya.*

Penulis : ikerniaty Sandili, Aktivis Literasi dan Penulis Novel, yang Lahir dan Berakhir di Teluk Palu.

Tinggalkan Balasan