DI KAKI tebing curam. Di tengah hilir mudik kendaraan poros Jalan Palu – Kulawi. Seratusan orang berdiri melingkar, mengelilingi jalan beraspal. Angin sepoi menyapu halus. Membawa lirik lagu perlawanan, Darah Juang, membelah langit cerah Desa Sadaunta sore itu. Lirik lagu yang lugas menghunjam ulu hati kekuasaan yang songong dan angkuh, memecah sunyi suasana desa yang berjarak 20 kilometer dari lokasi PLTA Lindu yang akhirnya batal itu.
Darah Juang, tentu bukanlah senandung pengantar tidur. Ia tercipta di masa-masa gelap dan pembungkaman atas ketidakadilan di era Orde Baru. Liriknya adalah suara kolektif yang bergema di hati banyak orang. Memori perlawanan itulah yang ingin kembali diendus oleh aktivis 90-an melalui hajatan bertitel Napak Tilas To Lindu Menolak Pindah. Sebuah hajatan mengenang kembali kisah indah, jerih lelah dan aksi-aksi heroisme melawan wajah bengis kekuasaan kepada warga kecil tak berdaya di tepi Danau Lindu, medio 1989 – 1996.
Perlawanan yang kelak dikenang sebagai milestone dalam sejarah advokasi di Sulawesi Tengah. Perlawanan terhadap proyek PLTA Lindu, menjadi begitu memorable bagi pelakunya. Kelak dari sinilah perlawanan terhadap negara menemui momentumnya. Sekaligus memberi efek luas pada gerakan perlawanan rakyat sesudahnya.
Prosesi sederhana yang didahului lantunan, Indonesia Raya dan Darah Juang, menandai perjalanan Napak Tilas To Lindu Menolak Pindah. Koor yang dipimpin Ista Nur Masyithah, nada suara terdengar tak benar-benar padu, karena ada beberapa yang memulainya dengan nada ketinggian. Namun itu bukan soal. Ketua Panitia Eva Susianti Bande, bahkan terlihat begitu bergairah membawakan dua lagu wajib tersebut. Hajatan napak tilas makin terasa istimewa karena diikuti tokoh-tokoh pergerakan sipil sekelas Arianto Sangadji dan Efendi Kindangen, Nanang Baddong, Ismet Khaerudin, Ibrahim hafid, Yahdi Basma dan lain-lain. Kehadiran tokoh-tokoh kunci seperti Arianto Sangadji dan Efendi Kindangen membuat peserta muda terlecut. Dan bertekad menuntaskan napak tilas dengan finish di tujuan akhir.
Eva Susianti Bande yang terus memegang kendali peserta, merasa perlu meminta maaf kepada 84 peserta napak tilas. Sejatinya, jalan kaki digeber pada Sabtu 12 Juni pukul 09-00 wita. Pagi hari setelah registrasi di Sadaunta dan peserta dipastikan mendapat masker dan handsanitizer, perjalanan dimulai yang titik starnya hanya 50 meter dari tempat registrasi. Namun rencana ini urung. Longsor yang menahan rombongan dari Palu di Desa Salua membuat rencana keberangkatan molor hingga siang menjelang sore. Proses menunggu karena harus menjemput satu persatu peserta dari titik longosor ke tempat registrasi membuat rencana keberangkatan pagi batal. Perjalanan akhirnya baru dimulai pukul 14.30 wita, bersamaan ketika peserta mengamini bait-bait doa yang dibawakan Yahdi Basma.
Start awal dengan elevasi tanjakan sekitar 30 derajat semua masih terlihat kompak dan kuat. Suara saling menyemangati tampak terdengar dari sesama peserta. Tak sampai 30 menit, 84 peserta napak tilas mulai mengelompok sesuai ketangguhan dan daya tahan fisik masing-masing. Diah Nurislami (13) dan empat rekannya seusianya bergerak lincah. Di tengah rintik hujan anak-anak ini berlari kecil menyibak iring-iringan ibu-ibu yang mulai terlihat gontai. Energi mereka seolah tak ada habisnya.
Gemericik air hujan yang jatuh di atas beton rabat, membuat sepatu dan outfit kekinian yang mereka kenakan terlihat lusuh dan kotor. Tapi anak-anak ini tak peduli. Mereka terlihat sangat menikmati perjalanan langka kali ini. Mereka tampak bahagia. Wajahnya berbinar, menyesap aroma humus yang menyeruak dari semak belukar. Mereka beruntung mendapat pengalaman perjalanan heroik yang dilakukan ayah-ibu mereka tempo dulu, melawan aktor-aktor negara yang miskin empati.
Tak sampai 30 menit perjalanan, Ketua Panitia Eva Susianti Bande, dengan suara trail yang memekakkan telinga datang dari arah belakang. Ia terus menyemangati peserta yang mulai kepayahan. ”Ayo kita jalan lagi. Ini belum seberapa. Dulu senior senior kita perjuangannya malah lebih berat dari ini,” ujar Eva sambil melompat dari sadel motor. Ia tak berhenti memompa semangat peserta. Pun sama halnya dengan Rizal. Pekerja kemanusiaan di Relawan Orang dan Alam (ROA) ini, berbekal megaphone di tangannya tak henti-hentinya memberi semangat peserta yang mulai lunglai. Khususnya ibu-ibu.
Yuliastri Makaranu seorang ASN berlatarbelakang Mapala STIE Palu, memberi tip. Tidak boleh banyak berbicara karena bisa menguras tenaga. ”Pelan-pelan saja tidak usah ngotot,” katanya. Tipnya ini terbukti manjur. Ibu satu anak yang sudah pernah menjajal sejumlah gunung di Indonesia, termasuk salah satu peserta yang menuntaskan napak tilasnya hingga hingga di Desa Puroo.
Ennintje Tentenabi warga Tomado yang telah bermukim lama di Palu, tampak ikut dalam napak tilas ini. Di tengah hujan yang mengguyur tubuhnya, ia tetap berusaha menyeret langkahnya di antara bebatuan licin dan tajam. Walau tampak kepayahan, namun perempuan yang mengaku mengikuti detail aksi penolakan PLTA Lindu sejak tahun 90-an, tetap mau diajak berbincang.
Bagi Ennintje tak butuh waktu lama, untuk mempertimbangkan apalah ikut aksi ini atau tidak. Penolakan warga lokal karena tidak ingin tercerabut dari akar budayanya jika PLTA ini dibangun tak direken oleh kekuasaan. ”Makanya harus dilawan,” ungkapnya. Tubuhnya tampak terus condong kedepan melawan gravitasi pada jalan menanjak yang licin dan berlumpur.
Itulah alasan salah satu kenapa ia ingin ambil bagian dari aksi jalan kaki ini. Keterlibatannya itu karena bersolidaritas terhadap para pelaku penolakan PLTA – karena merekalah, ia dan saudara-saudaranya tetap berada di tanah leluhur mereka Desa Tomado. ”Mungkin kalau PLTA itu berhasil dibangun, saat ini kerabatnya sudah tak lagi berada di Tomado. Mungkin sudah di Lalundu,” ungkapnya. Gubernur Sulteng Azis Lamadjido menjadikan Desa Lalundu yang terletak di Kecamatan Rio Pakava, Donggala untuk pemukiman baru warga asal desa-desa di sekitar Danau Lindu sebagai dampak dibangunnya PLTA berkapasitas 76 MW tersebut. Semangat penolakan inilah yang membuat Ennintje dan sejumlah ibu-ibu lainnya, tampak bertekad menuntaskan agenda perjalanan walau dengan energi yang makin terkuras habis.
Pemandangan lainnya, Arianto Sangadji dengan usia yang tak muda lagi, terus melangkahkan kakinya. Langkahnya tampak tegap, seolah tak mengesankan tubuhnya yang makin dikerat usia. Sepanjang perjalanan ia bahkan asyik melayani pertanyaan dari yunior-yunironya soal lika liku perjuangan advokasi PLTA di Danau Lindu 25 tahun silam.
Dalam kesempatan tertentu, Kak Anto – demikian ia diakrabi terdengar sekilas membahas soal situasi negara terkini. ”Bukan main Kak Anto, saat perjalanan begini masih bisa diskusi. Temanya juga berat soal negara,” ujar Yuyun yang kebetulan berjalan tak jauh dari rombongan kecil ini.
Efendi Kindangen pun sama. Tak terlihat wajah kecapekan dari aktivis senior yang satu ini. Rekan Anto Sangadji ini, selalu bergegas cepat demi mengabadikan momen-momen indah dari kamera ponselnya. Beruntung, hujan yang mengguyur jalan yang terdapat di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) sejak awal, membuat langkah terasa ringan. Setidaknya begitu celetukan yang terdengar beberapa peserta. Walau di bawah guyuran hujan, peserta tak pernah berhenti menenggak air mineral dan menambah asupan dengan roti dengan bahan dasar gandum. Di mobil pikap tersedia minuman aneka rasa. Plus penganan untuk menambah energi yang disiapkan panitia.
Mobil-mobil pikap double cabbin dan satu unit ambulans dengan tenaga kesehatan milik Pemkab Sigi, lalu lalang di antara peserta memastikan tidak ada peserta yang kolaps. Di ujung paling belakang, tersisa rombongan kecil. Mereka berjalan pelan memastikan tidak ada peserta yang tertinggal.
Dalam dua jam perjalanan, mobil pikap yang tadinya hanya bermuatan logistik, mulai terisi dengan peserta. Menandakan seleksi alami mulai berjalan. Jalan yang menanjak, bongkahan batu tak beraturan mengadang langka, permukaan tanah yang licin memang tak bisa diajak kompromi. Medan yang sulit, ternyata tidak bisa ditaklukan hanya dengan tekad membaja, jika tidak dibarengi ketahanan fisik yang mumpuni. Sebagian besar ibu-ibu hebat ini akhirnya menyerah. Mereka memilih menyudahi perjalanannya. Dengan santai mereka membiarkan tubuh-tubuh penatnya nangkring di atas mobil pikap – membawanya ke tujuan akhir di Desa Tomado.
Namun senior seperti Anto Sangadji dan Efendi Kindangen masih terus berjalan. Selain sibuk memotret, Efendi bahkan menjanjikan akan menunjukkan spot berbahaya saat ia dan istrinya terjatuh, sepulang dari Danau Lindu beberapa waktu lalu.
Dua jam setengah perjalanan menempuh atau pukul 05.01 wita, rombongan tertahan. Mobil penumpang Toyota Kijang terjebak lumpur. Sembari menunggu mobil yang terjebak kubangan maut, rombongan mulai menambah asupan. Peserta napak tilas lainnya, bahu membahu mengeluarkan mobil kijang berkelir biru yang memuat penumpang dan aneka perabotan. Peserta napak tilas, tak hanya mendorong, tapi ikut mengeluarkan muatan ubin dari mobil sehingga membuat mobil ringan saat didorong. Namun lagi-lagi itu tak mempan. Rizal yang terus mengeluarkan aba-aba dari megaphone tak cukup membantu mobil tersebut keluar.
Eva Bande pun terus memompa koleganya agar mengeluarkan energi tambahan dengan harapan mobil secepatnya selamat dari lumatan lumpur liat. ”Ayo panjang umur solidaritas,” teriak Eva tak kalah semangat. Lagi-lagi belum berhasil. Maka pilihan terakhir, mengerahkan mobil ambulans dobel kabin. Upaya ini berhasil. Seterusnya tidak ada lagi kendala berarti. Mobil milik panitia berjalan lancar melaju di atas kubangan maut itu.
Saat rombongan tertahan sekitar 1,5 jam. Di sini, Efendi Kindangen lagi-lagi yang terlihat sibuk. Ia tak lagi sekadar memotret. Tapi turun langsung menggaruk kerikil dengan dua tangannya. Memasukan material apa saja untuk membuat mobil secepatnya keluar. Ia juga ikut mendorong mobil yang tak kunjung beranjak itu. ”Bukan main Kak Fendy,” begitu celetukan peserta lainnya.
Medan Sadaunta – Danau Lindu memang jalur maut. Beberapa ruas jalan nyaris putus dikikis erosi. Rukmini Toheke Tokoh Perempuan Ngata Adat Toro, yang ikut pada napak tilas kali ini, berharap perhatian pemerintah pada kondisi jalan tersebut. ”Mudah-mudahan Pak Gubernur yang baru memberi perhatian pada jalan kami ini,” ujarnya penuh harap.
Napak tilas kali ini tak hanya diikuti oleh aktivis penolak PLTA Lindu era 90-an. Selain Mapala, relawan kemanusiaan, tokoh adat perempuan, juga ada penyintas liquefaksi Petobo yang menolak pindah. Keikutsertaan mereka ingin mewarisi semangat perlawanan terhadap negara yang semena-mena terhadap hak-hak mereka. Sedikitnya ada 10 warga penyintas ikut dalam iring-iringan “To Lindu Menolak Pindah 1989-1996. Ketua Forum Korban Likuefaksi Petobo, Yahdi Basma, menjelaskan, keikutsertaan mereka adalah untuk menyerap semangat para pejuang yang berhasil menolak hadirnya PLTA Lindu di sana.
”Ini sebagai bahan ajar bagi warga yang sedang consern menolak relokasi huntap di luar area Kelurahan Petobo. Hak Dasar berupa hunian layak bagi mereka di Petobo lebih 1.300 KK, adalah hak konstitusional yang harusnya telah kelar diselesaikan negara setelah hampir 3 tahun pasca bencana,” tegasnya.
Tertahan 1,5 jam, rombongan akhirnya bisa meneruskan perjalanan menuju desa pertama Desa Puroo. Dari sini banyak peserta napak tilas yang memilih melanjutkan perjalanan dengan mobil. Padahal kondisi jalan sudah landai dan menurun. Tercatat hanya sembilan peserta yang tetap jalan kaki. Mereka mencapai finish di pintu gerbang Desa Puroo pukul 19.11 wita. Mereka antara lain, dua jurnalis, satu ASN, dua Mapala dan empat dari relawan kemanusiaan dengan basic pencinta alam.
Usai melintasi gerbang Desa Puroo, beberapa mengeluh pegal kaki. Namun salah satunya menimpali, ini tidak seberapa. Perjalanan napak tilas kali ini dilakukan sambil menyeruput teh kotak dan ngemil aneka camilan. Juga tidak tidak ada ketakutan. Tidak ada bayang-bayang bakal dipersekusi alat negara. Atau distempel anti pembangunan. Atau subversif – terminologi yang kerap dipakai Orde Baru mengkriminalkan lawan politiknya.
Bandingkan dengan yang dilakukan Arianto Sangadji, Natsir Abast, Efendi Kindangen dan angkatan terdahulu yang jalan kaki atau naik kuda di atas jalan setapak antara Sadaunta dan Danau Lindu. Sesaat kemudian, pinggul yang terasa seperti dibebani besi, sudah di atas pikap menuju tujuan akhir di Desa Tomado persis di tepi Danau Lindu.
Seperti yang disampaikan Eva Susianti, napak tilas untuk mengenang tiga tokoh lain dibalik suksesnya perlawanan PLTA. Mereka adalah, George Junus Aditjondro, Hedar Laudjeng dan Dedeng Alwi. Di samping itu masih ada tokoh-tokoh desa di Puroo, Langko, Tomado dan Anca, mereka layak mendapat penghormatan sama penting dan sama tingginya pada masa-masa perlawanan saat itu.
Napak tilas dengan menyertakan peserta dari generasi di belakangnya, punya maksud lain, mewariskan nilai dan ghirah perlawanan terhadap negara yang bebal dan kering empati. Negara yang mengangkangi hak-hak warga kecil. Terlebih ketika banyak problem sosial yang mengakibatkan konflik struktural rakyat versus negara, kelindan oligarki dan kekuasaan yang nyaris sempurna, pada titik ini perlawanan rakyat menjadi penting dan perlu.
”Kak Anto, Kan Efendi, mendiang Hedar Laudjeng, George Aditjondro, Dedeng Alwi, sudah meletakkan fondasi nilai-nilai itu. Jangan diabaikan. Mari teruskan,” tutup Eva.
Penulis : Amanda
Foto-Foto : Amanda, Yahdi Basma