Musisi Kota Palu Dalam Belenggu Keresahan yang Panjang

GUYUB - Diskusi serius dan gayeng menyoal seribu satu persoalan seniman di Kota Palu

TEKNOLOGI digital terus berkembang pesat. Inilah berkah jaman yang harus dimanfaatkan semampu mampunya agar kehadirannya memberi nilai tambah pada peradaban. Insting survival sebagai homo sapiens – mahluk tercerdas di muka bumi menjadi taruhan apakah predikat itu layak disematkan. Atau malah terkulai tak berdaya dilibas oleh kemajuan zaman ini.

Teknologi digital dengan segala kemewahan yang ditawarkannya memberi banyak pilihan. Industri musik termasuk yang diuntungkan oleh kehadiran teknologi ini. Dulu, di era 80 – 90-an, talenta musik di daerah bersesakan memenuhi ruang-ruang publik. Hingar bingar festival musik, ajang unjuk kebolehan talenta lokal tak pernah sepi. Namun jago-jago lokal itu tak mendapat kanal memadai untuk mengakses industri yang memberik kompensasi finansial secara memadai. Industri rekaman adalah kemewahan bagi musisi di era itu. Jika ada yang berhasil, jumlahnya tak seberapa. Paradoks dengan jumlah band yang begitu banyak. Nyaris di setiap lorong kota selalu dihuni grup band dengan ragam genrenya.

Tapi itu dulu.

Sekarang wajah jaman hadir dengan ramah. Menyodorkan kemudahan. Menawarkan peluang bagi siapa saja yang mau berjuang. Proses menggubah lagu dan merekamnya tak lagi butuh industri padat modal. Bisa diakses dimana saja. Oleh siapa saja. Tidak perlu di ruang khusus. Di rumah teman, di rumah tetangga atau di bilik kost, proses kreatif bisa lahir dengan mudah. Nan murah.

Jaman berubah. Perilaku penikmat musik pun berubah. Digitalisasi teknologi akhirnya mengubah aktivitas bisnis di bidang permusikan. Konsumen meninggalkan perangkat konvensional seperti kaset. Beralih mengandalkan platform pemutar musik digital.

Ternyata, kemewahan digital yang menawarkan kemudahan pun belum memberi peluang yang signifikan bagi seniman. Alih-alih mendapat nilai untung, digitalisasi ternyata melahirkan masalah baru yang tak kalah peliknya. Para musisi tak kunjung mampu meraih keuntungan finansial secara layak. Penyebabnya, bukan karena karyanya yang recehan. Atau tak layak jual. Konsumen nirmoral, secara sengaja menunggu di tikungan membajak karya tanpa ampun, diduga adalah salah satu penyebabnya. Keresahan panjang musisi di Kota Palu, setidaknya tergambar dari penampilan Joko Suryawijaya alias Joxin. Ia membawa serta kepingan compact disc disc tas kecilnya. Usai lagu Ku Pergi (2006) ia memanfaatkan panggung silaturahmi untuk menyampaikan kegundahannya.  Menurut dia, proses berkarya harus memeras ide, modal serta energi namun respons pasar musik lokal tak kunjung menggembirakan.

BAHAS NASIB SENIMAN – Para seniman Kota Palu membahas nasib mereka sendiri

Bagi Joxin masalah ini perlu dicarikan jalan keluarnya. Salah satunya, perlu intervensi pemerintah dengan menyiapkan fasilitas yang memadai untuk mewadahi kreasitivitas musisi di kota ini. Kulminasi dari kejengkelannya itu, ia meminta host membagikan kepingan CD di tas hitamnya. ”Dibagi saja, supaya tidak ada lagi yang saya bawa pulang. Ini menjadi beban saya selama puluhan tahun,” curhatnya. Dalam sekejap aksi beli CD bertitel, Album Dari Surga yang berisi lima lagu mengalir dari peserta diskusi. Album produksi Sangumanagamen  pun berpindah tangan.

Kegelisahan yang menggumpal selama bertahun-tahun dibenak para seniman inilah yang dicoba diurai dalam diskusi bertajuk, silaturahmi persatuan artis penyanyi, pencipta lagu dan pemusik ( PAPPRI) Sulawesi Tengah, di Bandsaw Cafe, 24 Juni 2022. Banyak soal dicoba diurai di sini. Diskusi yang digeber sejak pukul 15.00 hingga pukul 21.00 wita itu, merekam suasana kebatinan para pemain penting di industri musik Kota Palu. Salah satu yang mengemuka adalah melindungi hak cipta sebagai cara efektif melawan pembajakan. Pembajakan diyakini adalah senjata mematikan bagi para insan musik di Kota Palu. Kapitalisme bahkan tidak takut pada komunisme, konservatisme. Atau paham apa pun itu. Tapi ia akan bertekuk lutut pada pembajakan maupun plagiasi. Karena itu bisa membuatnya kolaps tak berdaya.

Diskusi ini dihadiri para tokoh kunci. Ada musisi, budayawan dan birokrasi berkumpul membincang akar permasalahan terpuruknya industri musik di Sulawesi Tengah yang konon sudah dimulai sejak lama itu.

Dengan nada retoris Ketua PAPPRI Sulawesi Tengah, Adi Tangkilisan mengatakan, bicara tentang musik bukan bicara individu pemusik. Tapi tentang industri musik yang menjadi satu sistem dalam kerangka mengangkat sektor lainnya. Diskusi perdana yang dilakukannya adalah mempertemukan semua sektor dan profesi agar saling menguatkan. Dalam kaitan itu, gitaris Culture Project ini berpendapat butuh forum khusus bersama lembaga yang otoritatif seperti Kemenkuham untuk mengurai benang kusut ini.

Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil kemenkumham Sulteng, Max Wambrauw yang hadir dalam diskusi ini, mengamini pernyataan Adi itu. Saat ini Kemenkumham mempunyai program Operator Kekayaan Intelektual (OKI) yang bisa menerbitkan sertifikat HAKI dalam hitungan menit. Sertifikat HAKI sangat penting karena menyangkut hak atas karya yang didalamnya melekat hak ekonomi.

Kemudahan akses OKI menurut dia harus dimanfaatkan sehingga hak ekonomi para seniman bisa dinikmati. Karena itu, masalah ini harus terus disuarakan ke publik secara luas. Dengan demikian para seniman yang karyanya rawan disalahgunakan bisa meraih nilai tambah secara komersial dari karya-karya mereka. ”Salah satunya adalah melindungi karyanya dengan mendaftarkannya ke Kemenkumham. Saat ini persoalan pembajakan karya cipta ini sudah emergency. Karenanya perlu didorong lahirnya regulasi untuk memproteksi soal karya cipta tersebut,” katanya menegaskan.

Wacana soal pentingnya regulasi itu didukung pula oleh Djamaludin Mariadjang. Dia adalah pemerhati seni di Sulawesi Tengah. Menurut dia, para seniman harus menyuarakan aspirasinya ke DPRD Sulteng untuk mendapat payung hukum. Regulasi itu untuk menjamin dua hal. Pertama, jaminan karya yang tidak mudah disalahgunakan. Kedua, nilai tambah ekonomi atas karya para seniman bisa lebih terjamin.

Sebagai budayawan, Mariadjang memandang ekosistem industri musik harus connect dengan ekosistem budaya. Tidak boleh jalan sendiri-sendiri. Ikhtiar kearah itu menurut dia sudah tampak tinggal dikongkretkan lagi oleh para aktor yang bekerja di baliknya. Bagi dia, seniman mempunyai tanggungjawab tak kalah penting dalam membentuk dan memperkuat entitas budaya. Salah satunya adalah eksplorasi musik tradisi dan kearifan lokal sehingga lebih familiar di masyarakat.

Soal kearifan lokal ini, musisi Rival Himran pengusung reggae akut sudah melakukannya melalui panggung-panggung megah di berbagai kota di Indonesia dan mancanegara. Grup lainnya, Culture Project – grup band idealis yang tidak tergoda dengan pop galau demi merangsek ke telinga generasi tiktok (milenial), selalu mengangkat tema lokal dalam setiap proses kreatifnya. Tak hanya keduanya, sejumlah musisi di Kota Palu, pun secara sadar selalu mengambil peran-peran ini.

Ihsan Basir, tokoh birokrat yang peduli pada isu seniman dan kebudayaan bilang, rasio musisi sangat tinggi sehingga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Tinggal sekarang bagaimana potensi itu dikembangkan, diberi ruang, dihargai secara wajar oleh penikmatnya. Caranya dengan tidak membajak karya. Bahkan Indeks Daya Saing Daerah yang terkait dengan kemiskinan dapat saja terhubung dengan dimensi musik sebagai pengungkit industri-industri lainnya. ”Ini bisa terwujud mengingat potensinya sangat besar,” katanya.

PERFORM – Rival Himran musisi asal Kota Palu sukses di blantika musik Indonesia, ia banyak memasukan tema lokal dalam karyanya

Problem terbesar soal seniman selain pembajakan yang menjadi momok menakutkan, hal lain adalah respek para pihak terhadap insan musik yang minim untuk tidak mengatakan nyaris tidak ada. Suara ini datang dari vokalis Culture Project Zhul Usman. Pemilik suara tebal nan empuk ini berharap, PAPPRI Sulteng tak sekadar lembaga dengan susunan bagan dan personalia di dalamnya. Lembaga ini bisa mengawal persoalan hukum tentang hak cipta Hasan Bahasyuan yang sekarang dalam proses hukum.

Bagi perempuan energik ini, hak Cipta Hasan Bahasyuan yang kasusnya sedang bergulir adalah gong yang menentukan hitam putihnya seperti apa perjuangan hak cipta kedepannya. ”Karya musisi berpengaruh sebesar Hasan Bahasyuan saja seenaknya dibajak, lalu bagaimana dengan yang lain-lainnya,” katanya dengan nada tinggi.

Minimnya penghargaan terhadap musisi di Sulteng bahkan Indonesia juga disoal oleh penanya lainnya. Negara tidak tahu cara menempatkan musisi dan seniman dalam lanskap kebudayaan moderen. Amerika mempunyai Kennedy Center Honors yang digelar setiap tahun. Sebuah lembaga penghargaan yang kredibel dari pemerintah negara tersebut dipersembahkan kepada musisi yang memberi kontribusi terhadap budaya kontemporer di Amerika. ”Dihadiri Presidennya dan tokoh kunci pemerintahan, musisi Amerika dihargai dan diperlakukan dengan penghormatan terbaik di hadapan publik dunia,” katanya.

Ia melanjutkan, kenapa musisi yang mengangkat tema lokal, seperti Rival, Culture Project maupun seniman lainnya tidak mendapat respek memadai dari negara. Ia menduga, karena seniman tidak seperti atlit yang mendapat medali di panggung PON atau Sea Games. Prestasinya cepat dan mudah diukur. Dengan demikian dengan mudah bisa diklaim sebagai buah kerja keras lalu kemudian dikapitalisasi untuk kepentingan politik elektoral. ”Beginilah jika madzhab negara lebih doyan membangun badannya tapi bukan membangun jiwanya,” katanya.

Di tengah sorotan atas minimnya dukungan otoritas, diskusi ini juga memancarkan optimisme yang datang dari pengusaha radio. Farid dan Michael Runtuwenh, keduanya dari SKIP FM dan MS Radio memberi dukungan penuh pada talenta lokal untuk mempromosikan karya mereka. Dukungan seperti yang disampaikan Farid telah dilakukannya bahkan sejak 2003. Radio dengan segmen anak muda ini, menyiapkan slot siaran khusus untuk musisi di Kota Palu.

Musik dan seniman kehadirannya begitu penting. Ia benar-benar dapat menghidupkan emosi. Baik itu cinta, kesedihan maupun kegembiraan. Tapi jika kita semua abai terhadap seniman, gemar konser gratisan, gemar menjiplak karya – maka persoalan musisi di Kota Palu tidak akan menemukan jalan keluarnya. Hari ini dan kedepannya, persoalan akan terus terulang bahkan sampai buaya di muara sungai Palu, kompak berkalung ban semua. ***

 

Penulis           : Zakiah
Penyunting    : Amanda
Foto-foto       : Culture Project

Tinggalkan Balasan