DI KAKI Gunung Biru, Desa Pantangolemba – Poso, 62 orang mantan narapidana teroris (napiter) dan keluarganya berdiri tegap. Mereka menggenggam erat bendera merah putih sebagai tekad untuk menebus kesalahan masa lalu. Diiringi lagu Indonesia Pusaka tiga stanza, kibaran bendera berukuran 15 x 20 meter itu, bukan lagi simbol kebencian. Melainkan bukti tentang tekad untuk mencintai negeri ini tanpa syarat. Jumat 16 Agustus 2024, para eks napi teroris mengangkat dwi warna, mengikrarkan diri untuk setia kepada ibu pertiwi hingga akhir hayat.
Mengenakan kaos putih dengan tatakan aksara yang mencolok, ‘’Napak Tilas kembali ke NKRI’’, para eks napiter mengakui khilaf dan mereka bertekad menjadi warga negara yang baik, dan mengabdi pada NKRI. Indra Garusu, adalah salah satu eks napiter asal Desa Ratolene, Poso Pesisir. Indra yang mengaku dari Faksi Mujahidin Indonesia, mendekam di penjara khusus napiter sejak 2006 dan baru bebas Mei 2024. Kehadirannya untuk menerima bendera merah putih, bukan semata karena mobilisasi eks napiter. Melainkan karena kesadarannya untuk kembali sebagai warga bangsa, menikmati kehidupan yang merdeka sebagaimana kawannya yang lain di desanya Ratolene.
Napak Tilas Menyusuri Persinggahan Mantan Napiter
Pembentangan bendera di kaki Gunung Biru, adalah salah satu agenda peringatan HUT ke-79 RI bertajuk Napak Tilas Kembali ke NKRI yang digagas Polda Sulteng, berlangsung tiga hari 15 – 17 Agustus 2024. Kapolda Sulteng Irjen Pol Dr Agus Nugroho, mengatakan, agenda menapaktilasi jalur persinggahan teroris, semata-mata untuk mengingatkan para pihak, bahwa di Poso pernah ada kelompok masyarakat yang tidak berkenan dengan NKRI. Sebuah noktah merah dalam sejarah perjalanan bangsa yang tidak perlu diulang lagi.
Komandan Satgas Operasi Madago Raya, Kombes Boy F Samola, mengatakan, menyusuri jejak teroris adalah mengenal lebih dekat jejak kekerasan yang pernah terjadi di Bumi Sintuwu Maroso. Napak tilas jejak teroris merupakan perjalanan untuk menyusuri bayang-bayang kelam masa lalu. Namun, di balik jejak yang kelam itu, tersembunyi kisah kebangkitan dan harapan. Karena itulah, sebut Boy Samola, perjalanan menyisir jejak eks napiter, adalah perjalanan untuk membangkitkan semangat kebangsaan dan persatuan yang ditandai dengan penyerahan bendera merah putih yang dipancang di halaman rumah, pembagian bibit tanaman serta bingkisan kepada warga eks napiter di sepanjang jalur yang dilalui.
Dimulai di kediaman Fitrah Larata (40) dan Iswadi (45) keduanya di Desa Tiwaa, menyusul di kediaman Muhrin Uke di Desa Maranda – Kecamatan Poso Pesisir, mereka adalah mantan napiter yang kini kembali berbaur dengan masyarakat luas, menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga desa dan setia pada NKRI dan Pancasila. Seperti yang dikemukakan pada wartawan, mereka kini, adalah bagian dari Indonesia, tanah air sejati, berikrar setia untuk mengabdi dan menjaga kedamaian yang dulu sempat direnggutnya. Dalam pelukan Ibu Pertiwi, mereka menemukan makna sejati dari kebebasan dan kemerdekaan.
Mengamati jejak persinggahan para mantan napiter dengan medan yang sulit, tergambar betapa keinginan kuat untuk mewujudkan visi ideologi membutuhkan pengorbanan jiwa dan harta serta waktu yang panjang. Memandang kaki Gunung Biru, yang menjadi basis pergerakan dengan vegetasi yang rapat, tebing terjal, seolah tak ada celah kehidupan yang ditawarkan dari medan berat seperti itu. Namun bagi para pejuang ideologi, perjuangan adalah hasrat untuk mewujudkan nilai dan ideologi yang dianut . ‘’Sayang, ideologi kekerasan yang diusung dan diperjuangkan tidak akan pernah mendapat tempat sejengkalpun di Bumi Indonesia,’’ begitu ungkap Boy Samola kepada wartawan, yang memimpin ekspedisi susur jejak napiter di sejumlah wilayah di Poso Pesisir. Menurutnya, ideologi kekerasan adalah duri dalam tubuh bangsa yang mengancam keutuhan dan kedamaian yang telah susah payah diperjuangkan.
Tentang Mushola Santoso
Tersembunyi diantara rimbunnya pepohonan, berdiri sebuah bangunan sederhana. Bangunan itu, diperuntukkan bagi ritual sakral untuk komitmen dan ketaatan pada ideologi yang diperjuangkan. Setiap sudutnya memancarkan aura kesederhanaan yang menyimpan sejumlah kisah dan kesaksian. Waktu seolah berhenti ketika langkah menapaki lantainya yang sunyi. Beberapa bagiannya mulai keropos, namun itu tidak menghilangkan imajinasi untuk meraba tentang lakon apa saja yang tersaji saat mushola kecil ini, sibuk dengan aktivitas orang di dalamnya. Dalam keheningan hutan, bangunan ini menjadi suaka, tempat dimana komitmen diucapkan dan ketaatan pada imamah dilantunkan oleh jiwa-jiwa yang berontak. Mereka menyatu dengan suasana hutan perawan sebagai rumah besar mereka.
Tim wartawan dan off roader yang ikut ambil bagian dalam ekspedisi kali ini, menyambangi, mushola yang terletak di tengah hutan lebat. Bangunan berdinding kayu, ditempuh tak sampai sejam dari Desa Kawende, Poso Pesisir. Mushola ini sebut Boy Samola adalah tempat pembaiatan bagi anggota Santoso. Dilihat dari fisiknya, mushola berukuran sekira 5 x 5 meter persegi itu, dikerjakan dengan dengan tehnik terbaik. Walau berdinding papan dengan model seperti mushola kebanyakan, tapi papannya diambil dari kayu pilihan. Dikerjakan dengan rapi, permukaannya diserut halus. Mengindikasikan bahwa bangunan ini tak semata untuk fungsi dasarnya, tapi diniatkan untuk ritual sakral. ‘’Kira-kira ada ratusan yang dibaiat di sini,’’ ungkap Andi Ipong, salah satu satu pentolan napiter yang telah lama bebas.
Menurut Ipong, mushola didirikan sekira tahun 2015, seiring dengan datangnya Abu Tholut Zakir dari Afganistan. Ia bahkan pernah mengutus 15 anggotanya dari Tamanjeka bergabung dengan Santoso di mushola ini. Masih di Pegunungan Kawende, tak jauh dari mushola, terdapat tanah datar dengan pemandangan eksotis, sawah hijau dan perkampungan terhampar di kejauhan. Kawasan ini adalah tempat latihan perang bagi Santoso dan kelompoknya. Aparat keamanan beberapa kali terlibat konfrontasi senjata di kawasan ini. Namun tambah penggemar olah raga offroad itu, pada tahun 2017 seiring aliran logistik dari simpatisan yang makin seret, kawasan ini akhirnya dikuasai aparat. Pada saat Santoso kehilangan kontrol di kawasan Pegunungan Kawende, ia melebarkan sayap perlawanan di kawasan lain di Gunung Biru.
Tentang Tamanjeka dan Gunung Biru
Dusun Tamanjeka Desa Masani, tiba-tiba mencuat ke permukaan. Dusun ini, tidak saja membetot perhatian warga Sulawesi Tengah dan Poso, melainkan dibincangkan secara nasional. Menurut AKP Krisno H Songko, Kasi Ops Madago Raya, Tamanjeka mulai dikenal luas dengan stereotype negatifnya, pasca tewasnya dua anggota Polres Poso, Bripka (Anumerta) Sudirman dan Brigpol (Anumerta) Andi Sapa di dusun ini. Sejak saat itu, Tamanjeka mulai distempel miring sebagai basis pergerakan pengusung ideologi kekerasan. Perburuan aparat pada kelompok ini sangat gencar di kawasan ini. Begitu krusialnya wilayah ini, Satgas Madago Raya, bahkan mendirikan satu unit pos jaga, yang terus dijaga aparat 1 x 24 jam.
Gunung Biru, adalah sebutan lain untuk dusun ini. Tidak ada penjelasan yang valid soal asal usul julukan ini. Namun tempatnya yang di ketinggian dengan latarbelakang gugusan pegunungan dengan vegetasi hijau kebiruan, membuat sebutan Gunung Biru menjadi lekat dengan kawasan ini. Mendatangi Dusun Tamanjeka kini, berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya yang minim infrastruktur dan jalan berbatu serta suasana genting dan warga yang tak gampang akrab. Setidaknya, begitu penuturan jurnalis TV One, Abdullah K Mari, yang bolak-balik melakukan liputan di tempat ini.
Ibu Alma, warga Dusun Tamanjeka menuturkan dusunnya tempat ia mengais nafkah sebenarnya negeri damai. Ditanya lebih jauh, ia enggan mengulik kisah kelam yang terjadi di desanya. ‘’Tidak perlu saya cerita, tapi ini adalah pengalaman berharga buat kami,’’ elaknya. Kini, ia bersama 200 jiwa warga Dusun Tamanjeka, bercocok tanam kakao, cengkeh dan durian. Tamanjeka menurut dia, bukan tanah kutukan yang harus dijauhi. Tanah ini menawarkan keindahan alam dan menjanjikan kemakmuran bagi warganya. Ibu Alma kini bahkan mempunyai rumah permanen yang kokoh tempat ia dan keluarga kecilnya menata hari-hari indah di dusun kecil itu.
Di balik nama kawasan yang tercemar sebagai basis bersemayamnya paham radikal, tersimpan luka dan harapan yang saling bersilang. Pepohonan yang dulu menjadi saksi bisu kegelisahan, kini merindukan damai yang pernah hilang. Meski cap kelam itu menodai keindahannya, kawasan ini juga menjadi ladang perjuangan bagi mereka yang gigih menyemai benih-benih perdamaian dan kebijaksanaan. Di antara bayang-bayang radikalisme, ada tekad untuk memulihkan harmoni, mengembalikan cahaya kebenaran yang sempat meredup. Ibu Alma adalah salah satunya. Ia menaruh harapan besar, untuk menata hidup di Tamanjeka.
Tentang Dusun Uwe Lempe dan Persinggahan lainnya
Daerah persinggahan lain yang penting adalah Dusun Uwe Lempe, Desa Towu. Akses ke tempat ini dari desa induk cukup lancar. Walau jalan belum diaspal, namun bisa dilalui kendaraan roda empat. Dusun ini berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang hanya diantarai oleh jembatan kayu. Di kawasan hutan terdapat perkebunan kakao milik warga. Sejak Santoso alias Abu Wardah cs mengokupasi kawasan itu sebagai basis pergerakan, warga tak ada lagi yang berani mengambil hasil kebunnya. Akibatnya banyak warga yang memilih balik kampung, karena hasil kebun tidak bisa dipanen.
Selbi Marubi warga Dusun Uwe Lempe, menyaksikan langsung teroris yang ditembak aparat diletakkan di halaman rumahnya. ‘’Saya liat langsung ditaruh di situ,’’ katanya sambil menunjuk halaman rumahnya. Dari rumah panggung yang ditempatinya, ia menceritakan sejak teroris menguasai kawasan hutan tempat orang tuanya berkebun, mereka tidak ada yang berani memanen kakao. Pernah katanya, warga di dusunnya tiba-tiba ditodong oleh orang bersenjata. Orang itu tidak meminta sesuatu. Hanya mengajak bicara. Pernah juga kejadian warga yang jadi korban dan tidak ditemukan sampai saat ini. Sejak saat itu, tidak ada lagi yan berani pergi ke kebun. Malah, ada yang balik kampung ke Sulawesi Selatan.
Sunyi ladang yang seharusnya penuh dengan tawa karena panen yang melimpah, berubah menjadi ketakutan. Rasa takut menggantikan riuhnya suara petani di Dusun Uwe Lempe. Hasil kebun yang melimpah menjadi saksi bisu dari nyali yang tertahan oleh bayang-bayang ancaman. Sementara orang-orang bersenjata merenggut hak paling dasar, yakni rasa aman di tanah sendiri. AKP Krisno H Songko, mengaku Dusun Uwe Lempe, adalah titik paling krusial selama operasi. Jika berada di tempat itu, tidak boleh ada yang tidur. Senjata dalam keadaan siap tembak. Personel bersiap merespons setiap pergerakan yang mencurigakan dari arah hutan. Sampai saat ini, jejak operasi masih terlihat. Bangunan berkelir hjiau lumut bertuliskan, Brigade Pesut Etam, bisa menceritakan sisa-sisa ketegangan di dusun sunyi itu. Kini, pos yang mempunyai peran vital di masanya berubah menjadi penampungan pupuk bagi warga setempat.
Tak hanya Dusun Lempe, Tim Ekspedisi, menyambangi tempat-tempat penting yang menjadi kawasan Santoso cs, mengonsolidasi gerakannya. Di antaranya, adalah air terjun di Desa Kilo, Dusun Gayatri, Kampung Maros dan lainnya.
Kesaksian Para Mantan Narapidana Teroris
Dalam kesadarannya, para mantan narapidana teroris menatap cakrawala Tanah Poso dengan mata yang kini terbuka. Mereka telah meninggalkan jalan yang keliru. Kembali kepada pelukan tanah air yang pernah dikhianati. Dengan tekad kuat, mereka mengikrarkan cinta kepada Indonesia. Menyadari bahwa tanah air inilah tempat dimana jiwa yang insaf menemukan kedamaian.
Setidaknya, itulah benang merah dari kesaksian dari para mantan napiter di beberapa desa, seperti Fitra Larata, Iswadi di Desa Tiwaa dan Muhrin Uke di Desa Maranda Kecamatan Poso Pesisir. Fitra bergabung dengan Jamaah Islamiah (JI) sejak awal 2000-an. Ia direkrut ustadnya. Fitra tampak enggan merinci identitas ustad yang dimaksudnya. Dalam kegiatan bersama JI, ia terlibat berbagai kegiatan hingga akhirnya ditangkap pada 2004 dan bebas pada 2007. Ia ditangkap karena melakukan fa’i (perampokan) di Sausu. Kini, ia menyadari kekeliruannya dan tobat. Ia bertekad kembali berbaur dengan masyarakat dan berbuat untuk negara.
Ia bersyukur, kehadirannya kembali di masyarakat diterima dengan baik, walau sempat merasakan relasi yang berjarak dengan warga lainnya. Bapak dua anak itu, saat ini berkebun kakao. Fitra mengaku, masuknya ia dalam barisan JI, tidak terlepas dari situasi Kota Poso sebagai daerah konflik. Konsekwensi itulah yang membuat dirinya terlibat dalam kelompok kekerasan. ‘’Poso kan daerah konflik mau tidak mau kita pasti kesitu,’’ katanya membeber alasannya. Jumaida sang istri mengatakan, saat masih aktif dalam kelompok JI, ia belum bertemu dengan pria yang kini menjadi suaminya. Tapi kini ia bersyukur, suaminya kembali menjadi warga biasa. Tidak lagi dikejar-kejar seperti dulu. Ia tak ingin mengulik lebih dalam tentang aktivitas suaminya terdahulu. ‘’Sekarang ini lebih baik, bisa bebas bekerja,’’ ungkap Jumaida yang aktif dalam kegiatan di desanya.
Iswadi (45) napiter lainnya tampak kalem. Bicaranya terukur, intonasinya datar. Ia tampak terbuka merespons setiap pertanyaan yang diajukan. Usai menancapkan merah putih di halaman rumahnya, Iswadi menjawab wartawan yang mengerubunginya. ‘’Saya sebagai mantan teroris, hari ini saya menyadari kemerdekaan adalah hal penting bagi kita semua,’’ katanya lugas. Iswadi masuk dalam kelompok N11 pada tahun 2002. Seiring dengan kekebasannya pada 2007, bapak lima anak itu pun hengkang dari kelompok tersebut. Senada dengan Fitrah, ia masuk bergabung di N11 adalah pilihan pribadi, sebagai respons situasi wilayah Poso yang dilanda konflik horizontal.
Momentum titik balik yang membuat dirinya keluar dari N11, selain perenungan pribadi juga diskusi intens dengan petinggi kepolisian. Pada momentum kemerdekaan, ia mengeluarkan imbaunan kepada koleganya untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang lebih bermakna. Di Desa Maranda, Muhrin Uke, menyatakan tekad yang sama untuk kembali ke masyarakat serta mengisi hari-harinya dengan pengabdian kepada negara dan bangsa. Dalam kegelapan yang pernah membutakan nurani, cahaya akhirnya menembus hati yang lama tersesat. Muhrin Uke, kini telah mengubur amarah dan menyemai benih damai di atas puing-puing masa lalu. Mengakhiri wawancaranya, ia berharap setiap langkahnya kini membawa berkah bagi dunia yang dulu dilukainya.
Detik-Detik Proklamasi di Desa Tabalo
Puluhan mantan napiter berbaris rapi dalam balutan busana dominan putih dan ikat kepala pita dwi warna, merah putih. Panas yang menghunjam, tak mengurangi kekhusukan mereka mengikuti HUT ke-79 RI yang berlangsung di Lapangan Desa Tabalo, Poso Pesisirir. Mereka lantang membaca lafal teks Pancasila, khusuk menyimak naskah Proklamasi yang dibacakan Anggota DPRD Poso dan bersemangat menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Mereka para mantan narapidana teroris tetap berdiri tegak menengadah ke pucuk tiang, tempat merah putih dikibarkan. Mereka meresapi setiap bait lagu kebangsaan. Di mata yang dulu penuh ketidakpercayaan, kini memancar harapan baru, sembari memberi hormat pada inspektur upacara Kapolda Sulteng, Irjen Pol Agus Nugroho. Mereka berjanji setia pada Merah Putih, meninggalkan masa lalu yang keliru dan meniti jalan damai dengan penuh sukacita.
Usai upacara, Irjen Pol Agus Nugroho mengajak peserta upacara mengabadikan momen bersejarah itu. Thoyib Fauzi alias Ibnu Kaldun salah satu pentolan eks napiter mengaku bersyukur dilibatkan dalam HUT Proklamasi RI. Momen ini diakuinya sangat berkesan bagi dia, karena ia dan mayoritas teman-temannya, baru kali ini melaksanakan HUT Proklamasi. Ia berharap, apa yang dilakukannya adalah kontribusi kecil terhadap kemerdekaan bangsa yang direbut oleh para ulama dan santri dari penjajah.
Thoyib Fauzi ditangkap pada 2014 di Indramayu Jaba Barat. Ia pernah terlibat pelatihan di Moro Filipina Selatan dan terlibat terror bom di Poso. Bebas dari penjara, ia kini tinggal di Poso. Mantan napiter lainnya Syafrudin Lako alias Iin Brur, mengaku HUT kali ini sebagai hajatan luar biasa, karena menjadi ajang reuni bagi ia dan kawan-kawannya. Ia memaknai kemerdekaan tidak hanya bebas dari cengkeraman penjajah, tapi harus merdeka dari bangsa sendiri. Terpenting adalah merdeka dari ketidakadilan. Pemerintah harus mengayomi semua warga masyarakat, tanpa kecuali. Arifudin Lako masuk menjadii anggota JI, pada tahun 2000. Jejak kekerasannya bisa dilihat pada aksi di Tanah Runtuh dan penembakan Jaksa Fery pada tahu 2004 di Palu. Ia menyerahkan diri pada 2009 dan bebas pada 2015. Kini, ia menjadi pebisnis sukses di Desa Lape, Poso Pesisir. Ia juga aktif membuat fim-film pendek bertema perdamaian.
Pada momen HUT Proklamasi itu, mereka menyelami makna kebebasan yang sesungguhnya. Di tengah barisan rapi peserta upacara, mereka merasakan hangatnya penerimaan, menyatukan dirinya dalam semangat kemerdekaan, menukar masa lalu yang kelam dengan tekad baru untuk membela negeri sepenuh hati.
Penanganan Terorisme yang Maskulin
Sejumlah bocah di Desa Tabalo, bermain bola tak jauh dari lapangan upacara. Mereka tampak abai dengan kesibukan di lapangan yang berjarak beberapa puluh meter. Keasyikan bocah-bocah itu mengocek bola plastik membuat mereka tidak tergoda dengan lengkingan suara Komandan Upacara, atau nada heroik yang melalui lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saat dihampiri, salah satu anak bertubuh bongsor mengaku tidak tertarik. Ia hanya tertarik menjadi anggota kelompok Mujahidin. Anak ini tidak sendiri. Sore harinya, saat rombongan melakukan perjalanan terakhir di Tamanjeka, salah satu anggota polisi, bertanya cita-citanya kepada bocah kelas 5 SD. Dengan santai ia menjawab, ingin menjadi Mujahidin seperti ayahnya. Sontak beberapa wartawan termasuk polisi yang menanyainya kaget dengan spontanitas bocah tersebut.
Ibu Irmawati warga Desa Ueralulu, mengatakan, pola asuhan para ibu di rumah memberi pengaruh besar terhadap perspektif anak-anak. Para ibu yang terpapar ideologi kekerasan cenderung mewariskan pengetahuan yang sama. ‘’Ingat dalam soal parenting, ibu sangat dekat kepada anak-anak. Setiap nilai dan pengetahuan yang dianut ibunya, akan diwariskan kepada anaknya,’’ katanya. Sayangnya, menurut Ibu Irmawati moderasi pada ibu-ibu cenderung tidak berjalan. Isu-isu terorisme masih didekati dengan pola yang sangat maskulin. ‘’Mungkin karena framing terorisme adalah kekerasan senjata jadi pendekatannya selalu maskulin,’’ kritiknya. Padahal, kekerasan dalam bentuk yang lain, bisa pula diwariskan oleh ibu-ibu kepada anaknya.
Saat hal ini ditanyakan kepada Kapolda di Tamanjeka, Sabtu 17 Agustus 2024, ia mengatakan, saat ini Operasi Madago Raya memasuki fase pemeliharaan keamanan. Di fase ini, operasi menitikberatkan pada pendekatan persuasif, sambaing atau tatap muka serta pembinaan dan kepada keluarga yang mash terpapar ideologi kekerasan. Sejauh ini, hasil evaluasi cukup bagus, mayoritas para napiter sudah insyaf dan menyatakan kembali ke NKRI
Ideologi Tetap Hidup, Tidak Pernah Mati
Usai upacara HUT ke-79 RI, para eks napiter diboyong ke sekolah milik Yayasan Amanatul Umat pimpinan Yusrin Ichtiawan. Duduk sebagai pembinanya, Tokoh Umat Islam Poso, ustad Adnan Arsal. Di hadapan ratusan warga dan eks napiter yang memadati tenda pertemuan, Kapolda Sulteng, Agus Nugroho mengurai banyak hal tentang hakekat kemerdekaan bagi sebuah bangsa dan kemerdekaan bagi setiap individu. Amanat atau lebih tepatnya orasi kebangsaan juga menyentil tentang keberagaman sebagai sebuah keniscayaan bagi sebuah bangsa.
Dalam orasi kebangsaan yang menggema, ia mencoba menjangkau hati terdalam para mantan napiter tentang makna kemerdekaan dan keberagaman. Ia mengajak semua yang hadir, termasuk mantan narapidana teroris, merajut kembali cita-cita bangsa. Dengan tegas, ia menyerukan semangat persatuan, mengingatkan bahwa di balik setiap kesalahan ada peluang untuk memperbaiki, dan di setiap jiwa yang bertobat ada tempat untuk berbakti pada tanah air tercinta.
Tentang keberagaman, Kapolda menyebutnya sebagai sebuah keniscayaan. Keberagaman adalah jembatan perbedaan sekaligus menyulam kebhinekaan. Inilah saatnya kata dia, untuk melihat dunia dengan perspektif yang lebih luas. ‘’Di sinilah kita menemukan makna sejati dari kebebasan, di mana setiap keyakinan dan budaya saling menghormati. Dan di dalam keberagaman ini, kita bisa menemukan tempat yang damai,’’ seru Kapolda yang disambut anggukan hadirin.
Usai amanat, Kapolda dan Pembina Yayasan Amanatul Umah, Ustad Adnan Arsal, melayani pertanyaan wartawan. Keduanya ditanya tentang apakah ada jaminan ideologi kekerasan yang dibungkus sentiment primordial, bakal lenyap mengingat ideologi selalu hidup di benak penganutnya. Menurut Kapolda, harus ada upaya yang berkesinambungan. ‘’Tidak boleh hanya selesai pada satu kegiatan saja, harus terus menerus, melakukan dialog tanpa sekat kepada mereka, kapan dan dimanapun,’’ tegasnya. Sejak kembali ke masyarakat para eks napiter telah insyaf akan kekeliruan yang pernah dilakukan. Tapi itu harus dibarengi dengan melakukan pembinaan tanpa henti, mendatangi dan mengajak dialog. Mereka jangan ditinggalkan, tapi dirangkul karena mereka adalah bagian dari masyarakat yang harus mendapat hak yang sama dengan warga lainnya.
Ustad Adnan Arsal, menjawab dengan lugas pertanyaan ini. Di Negara RI, kita menganut ideologi Pancasila. Dalam ideologi Pancasila mensyaratkan kebersamaan dengan orang-orang yang berbeda. Kebersamaan itu memberikan ruang bagi orang yang berbeda agama, berbeda ras dan berbeda daerah untuk hidup berdampingan. Ada pun sikap resisten terhadap kelompok lain yang pernah terjadi di Poso, itu semata untuk membela diri. ‘’Itu sangat situasional, sebagai respons atas dinamika yang terjadi,’’ katanya.
Namun ia menambahkan, sejak rentetan pertemuan sejumlah faksi di Poso yang dilakukan oleh aparat kepolisian, dan sejak deklarasi pembubaran Jamaah Islamiah (JI) di Jawa Tengah, maka rumah yang kecil itu sudah tidak ada. Sekarang masuk ke rumah besar bernama NKRI. ‘’Di sinilah ideologi kita bekerja, bernegara, berbangsa tidak lagi melihat perbedaan. Saat ini kita harus melihat kedepan untuk menuju kebaikan bersama,’’ ulasnya rinci.
Keberagaman menurut dia adalah fondasi bagi sebuah bangsa. Syarat mutlak yang menjadikannya utuh dan berdaya. Seperti anyaman kain yang saling terkait, tiap benang perbedaan memperkuat persatuan. Menjadikannya indah dan tangguh. Tanpa keberagaman, sebuah bangsa hanya akan menjadi bayangan kosong. Dengan keberagaman, tumbuh menjadi cerminan kebijaksanaan, tempat di mana setiap suara didengar dan setiap warga dihargai.
Berdoa di Pusara
Perjalanan menyusuri persinggahan terorisme di Kabupaten Poso, juga melewati tempat terbunuhnya dua prajurit Bripka (Anumerta) Sudirman dan Brigpol (Anumerta) Andi Sapa yang tewas terbunuh di Dusun Tamanjeka. Keduanya ditemukan pada Selasa, 16 Oktober 2012, terkubur dalam satu lubang. Mereka terluka di bagian leher karena senjata tajam. Menurut Kapolda dua prajurit terbaik itu, tewas karena menjalankan tugas negara. ‘’Kita yang ditinggalkan mempunyai kewajiban untuk meneruskan perjuangan beliau berdua,’’ ucapnya. Usai mengucap itu, Kapolda mengajak seluruh yang hadir memanjatkan doa atas pengorbanan dua prajurit terbaik itu.
“Di bawah langit Tamanjeka yang tenang, pusara dua prajurit yang gugur hadir sebagai saksi bisu atas keberanian mereka. Setiap butir tanah yang menutupi jasad mereka adalah cerita tentang pengorbanan nyawa yang dipertaruhkan demi melawan kegelapan terorisme. Di sana, di antara bunga-bunga hutan yang mekar dalam hening, semangat mereka terus hidup. Menginspirasi prajurit Bhayangkara untuk tetap teguh menjaga kedamaian yang mereka wariskan. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Yardin, Amar Sakti