BAK kitab yang membuka kisah bumi, perjalanan kali adalah menjajal warisan geologi di dua desa, Taripa dan Matialemba. Keduanya berada di Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso – Sulawesi Tengah. Bersama geolog muda Anugerah Stefandi, perjalanan menggunakan bus carteran dijejali rombongan Tim Ekspedisi Geopark Poso yang beranggotakan para praktisi dan ilmuwan. Seperti biolog, arkeolog dan ekonom. Misi kali ini untuk melihat dari dekat batuan Zeolit Pompangeo dan Foliasi di Desa Taripa serta Filit Pompangeo Matialemba di Desa Matialemba. Termasuk melihat kemungkinan pengembangan ekonomi desa termasuk geowisata di kawasan tersebut.
Desa Taripa tak hanya menyajikan madu hutan dengan kualitas terbaik. Perut bumi di desa yang terletak di timur Kota Tentena ini, menyimpan batuan dan mineral yang memberi manfaat besar pada kehidupan. Secara kasat mata, zeolit seperti abu sekam, berwarna putih dengan tekstur yang halus. Ketika palu geologi membentur permukaannya, debu halus sontak beterbangan, bagai sekam diterpa angin kecil. Menyaksikan itu, anggota rombongan sontak berkerumun, berebut menjamah merasakan sensasi mineral yang baru mereka lihat itu. Terik siang yang menghunjam kepala beradu dengan hawa aspal panas, tak lagi dianggap penghalang serius. Tebing menjulang yang ditopang oleh mineral yang rapuh, sukses membetot perhatian anggota rombongan. ‘’Mirip abu dapur tapi coraknya lebih putih,’’ begitu Anugerah Stefandi, menjelaskan kepada tim.
Pakar Geologi dari Nanyang Technologies Universtity Singapura (NTU) Dr Abang Mansyursyah S Nugraha, menjelaskan zeolit bukan hanya batuan purba yang merekam sejarah geologi. Mineral jenis ini adalah kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan manusia secara berkelanjutan. Salah satu manfaat zeolit adalah menyerap polutan dan bahan penyaring air di dalam perut bumi. Dengan pori-porinya yang lembut, zeolit mampu menyaring air, memeluk polutan dalam perut bumi termasuk menjaga keseimbangan tanpa henti. Masih di Desa Taripa, Tim Ekspedisi menyambangi foliasi Taripa. Memahami foliasi, publik khususnya geolog dapat menggali lebih dalam, tentang dinamika bumi, termasuk proses pembentukan pegunungan, aktivitas tektonik, dan sejarah metamorfisme batuan. Abang menambahan, zeolit Pompangeo Taripa, Folisasi Taripa dan Filit Pompangeo Matialemba, memberikan informasi usia terbentuknya tiga warisan geologi tersebut berkisar antara 27,6 hingga 3,1 juta tahun
Tak jauh dari Desa Taripa, alam indah Matialemba menyimpan batuan filit. Para ahli geologi menyebutnya Filit Matialemba. Dosen Pengampu Petrologi dan Geologi Ekonomi Universitas Tadulako Ir Riska Puspita M.Eng mengatakan, filit adalah batuan metamorf berfoliasi dengan tekstur halus. Batuan ini menurut dia, terbentuk dari perubahan batuan sedimen pada metamorfisme tingkat rendah hingga menengah. Filit bahkan mencerminkan dinamika geologi dan memberikan wawasan penting dalam memahami proses kebumian.
DISKUSI TERFOKUS BERSAMA WARGA
Usai menjelajah bebatuan di Taripa dan Desa Matialembah, malam harinya Tim Ekspedisi melakukan diskusi terfokus dengan warga Desa Taripa, Poleganyara dan Desa Matialemba. Dari warga, Tim Ekspedisi mendapatkan tentang informasi kawasan, cerita rakyat hingga catatan-catatan berkaitan dengan keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan di kawasan yang berbatasan dengan Kabupaten Morowali Utara tersebut. Salah satunya adalah terjadinya Danau Toju di Desa Tiu. Bagi warga Desa Taripa dan sekitarnya, Danau Toju adalah salah satu lumbung protein yang mampu memenuhi kebutuhan warga setempat.
Dalam hikayatnya, terbentuknya Danau Toju berasal dari kisah seorang ibu yang sedang menjahit pakaian dalam menstruasi. Saat sedang menjahit, jarum tiba-tiba jatuh dari pondok panggung yang mereka tempati. Sang ibu menyuruh kucing untuk mengambil jarum jatuh. Saat kucing naik kembali ke rumah, setiap satu langkah menaiki anak tangga selalu diikuti air di belakangnya. Air berhenti saat kucing menapaki tangga terakhir. Sejak itu air seolah enggan surut hingga membentuk menjadi danau seperti yang terlihat hingga kini. Namun sejak beroperasinya kebun sawit mengokupasi wilayah resapan air, Danau Toju kini tinggal bekasnya. Air mengering, sumber protein warga pun menjadi hilang. Salah satu tokoh perempuan yang tercatat pernah melakukan perlawanan terhadap perkebunan sawit adalah Ibu Helpin Samoli. Sayangnya, seperti yang sudah-sudah perlawanan itu tidak berhasil. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Bahrul Idrus/Institut Mosintuwu