WARGA Poso mampu menemukan solidaritas terindah pada jejak kuliner. Namanya inuyu. Kuliner khas yang sudah familiar nyaris pada seluruh warga di Sulawesi Tengah bahkan Indonesia itu, adalah penganan yang kerap disajikan pada hari-hari perayaan tertentu.
Namun bagi warga di Kabupaten Poso, inuyu, nasi jaha atau lemang tak sekadar soal beras ketan dengan racikan bumbu rampai yang dimasukan ke bambu muda berdiameter sekitar 10 mili dan panjang antara 60 hingga 70 sentimeter. Bagi warga Poso, inuyu adalah simbol kekeratan antarwarga. Sebagai negeri yang pernah dikoyak angkara murka, warga di Bumi Sintuwu Maroso punya memori buruk pada urusan kohesi sosial ini. Maka tradisi inuyu menjadi cara lain untuk merawat kekerabatan dan kehangatan sesama warga.
Maka, ketika Panitia Festival Danau Poso 2022, memasukan pembuatan inuyu massal untuk memecahkan rekor MURI (Musium Rekor Indonesia), warga menyambut ide ini dengan antusias. Puluhan warga perempuan dan laki-laki dari tujuh desa di Kabupaten Poso berjibaku menyukseskan hajatan besar ini.
Pagi Jumat 21 Oktober 2022, di Kompleks FDP 2022, sejak dinihari di bawah tenda biru, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang memeras santan, merendam beras ketan, menghaluskan daun pandan hingga menggulung lembar demi lembar daun pisang dan memasukannya kedalam bambu.
Aktivitas harus rampung sebelum pukul. 06.00 wita. Prosesi pembakaran harus dimulai pukul 06.00 wita. Dengan asumsi proses pematangan membutuhkan waktu antara dua hingga tiga jam, maka pukul 11.00 wita sebagai waktu untuk penyerahan sertifikat dapat dilakukan tepat waktu.
Direktur Pelaksana MURI Yusuf Ngadri dan timnya sejak pagi sudah berada di lokasi pembakaran inuyu. Mengenakan hem putih dipadu celana panjang hitam, ia mondar mandir di sela jejeran inuyu membelah kepulan asap sambil mengarahkan smartphone sambil sesekali berbincang dengan warga.
Kepada wartawan yang menemuinya, Yusuf mengatakan kuliner serupa sudah jamak ditemukan di masyarakat. Misalnya, bahan dan rempah yang nyaris sama, sebutannya berbeda sesuai bahasa daerah setempat. Misalnya, nasi jaha di Minahasa dan lemang di Sumatera Barat.
Walau demikian, di Poso khususnya Kota Tentena ada kekhasan otentik yang membuatnya berbeda dengan daerah lain. Inuyu di Tentena dikerjakan bersama-sama sehingga menimbulkan kohesi yang kuat antarwarga. Berdasar itu maka MURI merasa perlu untuk memasukannya dalam musium rekor sebagai pembuatan inuyu terbanyak dalam sejarah sebanyak 7.000 bambu.
Tepat pukul 11.00 rekor pembakaran inuyu terbanyak berhasil dipecahkan. Sebelumnya, rekor itu dipegang Minahasa sebanyak 6.000 bambu. Bersamaan dengan itu, Yusuf menyerahkan sertifikat rekor MURI kepada Bupati Poso Verna Inkiriwang didampingi Gubernur Sulteng, Rusdi Mastura, Kepala Dinas Pariwisata Sulteng, Diah Agustiningsih serta Ketua Tim Penggerak PKK Sulteng, Vera Rompas Mastura.
TIAP DESA KEBAGIAN SERIBU BAMBU
Untuk memecahkan rekor MURI, pembuatan inuyu dikerjakan oleh warga di desa berbeda. Tiap desa kebagian kuota seribu bambu. Ada tujuh desa yang dipercaya mengambil tantangan itu. Antara lain, Desa Soe, Maya Keli, Pamona, Petirodongi, Saojo dan Sulewana serta Desa Dulumai. Karno (41) asal Desa Petirodongi menjelaskan, inuyu adalah kuliner populer dengan bahan dasar beras ketan. Untuk pembuatannya membutuhkan santan kelapa, minyak kelapa, daun pandan bawang merah dan garam. Kemudian daun kelapa pisang muda serta bambu untuk wadahnya.
J Taluneo (61) warga Desa Dulumai mengatakan, setiap desa terdiri 10 orang dengan pembagian kerja yang merata. Untuk membuat 1.000 bambu inuyu, membutuhkan sedikitnya 6 karung beras dan 300 hingga 400 butir kelapa. Dengan pembagian kerja yang merata, ia dan kawan-kawannya mampu merampungkan pekerjaan sesuai yang ditetapkan panitia. ”Tadi jam 6 sudah disandar di tempat pembakaran,” jelasnya.
Peserta lainnya, Yus (36) dari Desa Soe Kecamatan Pamona Puselembah, menjelaskan di desanya diambil dari anggota jemaat di gerejanya. Ia menduga, kemungkinan peserta dari desa lainnya pun seperti itu. Ditanya apakah pihaknya disubsidi oleh panitia untuk membeli bahan, Yus mengaku pembuatannya dilakukan secara swadaya.
Namun setiap inuyu yang matang akan dibeli oleh panitia sebesar Rp25 ribu per bambu. ”Nanti ini dibeli oleh panitia. Harganya sebesar Rp25 ribu setiap bambu,” ujarnya menjelaskan. Pengakuan Yos ini berbeda dengan rekannya Karno dari Desa Petirodongi yang dihargai sebesar Rp20 ribu setiap bambu.
Baik Karno, Taluneo maupun Yus mengaku, pengerjaan inuyu dikerjakan berkelompok. Cara ini dilakukan tak hanya dilakukan saat memecahkan rekor MURI. Hari-hari lain pun demikian. Karena itu, bagi warga Poso, mengerjakan inuyu adalah cara mereka merawat kekerabatan antarsesama. Ia juga menambahkan, sebenarnya tradisi kuliner menggunakan wadah bambu yang asli Pamona adalah ituwu. Kuliner khas itu bisa berupa campuran daging dan daun ibu dan aneka jenis makanan lainnya. ”Kalo yang khas Pamona ya itu, ituwu,” katanya.
Di negeri dengan jejak konflik dan jejak rekonsiliasi yang nyaris sama kuatnya, cara memelihara perbedaan dan kegotongroyongan jejaknya bisa dilacak melalui kuliner, bernama inuyu alias nasi bambu, alias nasi jaha alias lemang. Namanya boleh berbeda sesuai budaya setempat. Tapi bahan dasarnya tetaplah satu. Beras. Dengan rasa yang enak. Pun sama halnya, warga Kabupate Poso dari suku, ras, suku dan agama yang berbeda. Tapi dalam kesejatiannya mereka bisa seia sekata dalam perbedaan itu. Dengan rasa persaudaran yang kian kokoh ***
Penulis : Amanda
Foto : Amanda & Ray Rarea