PADA MARARI, adalah cerita nyata tentang kisah purba yang tersimpan di lekuk bumi. Kawasan dengan legenda romansa yang berakhir mengenaskan ini, telah menjadi saksi bisu gerakan tektonik yang terjadi sekitar 5 juta tahun silam. Tarian tektonik yang mengangkat faset segitiga (triangular facet) ke muka bumi, telah berhasil membentuk bentang alam yang eksotik. Inilah legasi abadi yang dikirim oleh peradaban purba untuk dinikmati oleh manusia dari peradaban terkini. Pada Marari, tak cukup hanya dinikmati keindahannya. Ia adalah pelajaran penting. Tentang sejarah bumi hingga tentang cinta dua manusia yang berakhir tragis. Ahli geologi dari Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, Dr Abang Mansyursyah Surya Nugraha, mengatakan, penampakan triangular facet atau faset segitiga adalah bentukan bentang alam (geomorfologi) yang berbentuk segitiga. Bentukan semacam ini sangat sering ditemukan pada lereng di sepanjang tepi blok yang terangkat akibat sesar.
Menurut dia, faset di sepanjang pinggir danau Poso adalah bukti yang tak terbantahkan tentang aktivitas tektonik sesar Poso Barat jutaan tahun lalu. Aktivitas tektonik yang terus berlanjut di jaman itu menurutnya, telah mengangkat batuan hingga akhirnya menghasilkan bentukan segitiga. Berdiri di tengahnya dengan tetumbuhan sebatas lutut yang didominasi nepenthes maxima dan drosera burmanii sambil menyimak ilmu langka dari para geolog, terasa seperti menyeberang jembatan megah melintasi jurang ketidaktahuan. Penjelasan jebolan Teknik Geologi Universitas AKPRIND Yogyakarta, Ida Bagus Oka Agastya, meninggalkan kesan yang dalam, bahwa gerakan sesar di zaman purba bak tarian agung yang meninggalkan jejaknya di permukaan hingga membentuk wajah bumi yang eksotik. Sebuah mahakarya epik dari kekuatan yang tak pernah terlihat tetapi mewujud dalam keindahan abadi.
CINTA TAK BERBALAS YANG BERAKHIR DENGAN KUTUKAN
Di tepi danau yang tenang, Uduna seorang gadis cantik mematut diri pada cermin alam. Air bening menangkap kilau senyum dari bibirnya yang merekah. Tubuhnya makin sekal dan ranum memancarkan pesona yang muncul dari ketulusan hati. Saban hari Uduna berada di sana. Mematut diri memastikan kecantikannya. Para pemuda yang dilaluinya pada perjalanan pulang, terpukau memandang parasnya. Kecantikan yang tak semata soal paras, tetapi senyum yang melukiskan kehangatan dan sorot mata yang menghunjam ulu hati.
Pada suatu hari, di seberang danau seorang pria bernama Longkea menyaksikan Uduna dari kejauhan. Ia terpukau dengan gadis yang saban hari berada di sana. Dengan keberanian seorang laki-laki, ia mendayung perahu mendekat sang gadis. Tanpa ragu, sambil melawan kepak air yang menghadang perahu, Longkea mengayuh dengan segenap tenaga. Setidaknya, hari ini cintanya tak lagi menjadi rahasia. Apa pun jawabannya kelak, ia siap menghadapi, karena ia tahu perasaan tulus harus disampaikan, bukan disimpan. Ia menghampiri gadis misterius itu. Pada posisi yang nyaris tak berjarak, Longkea dengan jelas melihat paras sang gadis. Bola mata yang bening, alis bak semut berbaris, rambut seperti mayang bergantung, leher bak manekin hingga dagu lancip menggantung manja di wajah yang polos, membuat Longkea terdesak ingin mengajaknya bicara.
‘’Uduna’’..!!, jawab gadis itu singkat saat namanya ditanya. Longkea tidak puas dengan respons standar gadis itu, dan makin membuat harga dirinya tertantang. Ia mencari cara agar sang gadis membuka mulutnya, mendengar suara yang bening melompat keluar dari bibir yang tampak memerah. Ia ingin memanfaatkan momentum langka itu, untuk berbicara banyak hal. Keinginan itu buyar. Tiba-tiba ular muncul dari belakang Uduna. Longkea dengan sigap melompat menangkap ular, sebelum gigitannya melumat gadis yang baru dikenalnya beberapa saat lalu. Longkea mengerahkan kekuatannya bergulat di danau hingga akhirnya menaklukan ular ganas itu. Uduna mengucapkan terima kasih pada pria yang beberapa saat lalu tidak dihiraukannya. ‘’Namaku Longkea, aku ingin bertemu orang tuamu sebentar malam’’. Longkea berkata dengan lancar. Ia tidak kesulitan menyampaikan maksudnya hatinya – harkatnya sebagai pria sontak terangkat di hadapan gadis yang baru diselamatkannya. Peristiwa heroik itu, seketika tersiar ke seantero kampung. Di hadapan warga kampung, Longkea berterus terang ingin mempersunting Uduna.
Warga kaget mendengar keinginan yang tiba-tiba itu. Para pria tanggung yang kerap menggoda Uduna mulai kasak kusuk. Warga berembuk usai mendengar deklarasi pria dari kampung seberang itu. Dalam jamuan santap malam dengan menu utama ular yang ditaklukan tadi sore, Uduna diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil musyawarah. Dengan anggun dan intonasi yang terukur, sang gadis berkata pada pemuda di depannya. ‘’Aku terima permintaan Longkea dengan satu syarat. Laki-laki yang ingin aku menjadi istrinya harus mengolah ladang di ujung dekat tanjung dalam tempo satu hari satu malam. Dan hanya ditemani satu kelompok pemuda. Jika tidak selesai, perkawinan batal’’.
Bak palu godam menghantam kepalanya, Longkea terhenyak mendengar syarat itu. Ia seperti berlari melawan arus ketidakpastian. Ia seperti angin yang berusaha menyentuh air danau. Longkea berusaha mengejar cinta yang tampaknya susah untuk direngkuhnya. Namun untuk syarat berat yang berbau penolakan, ia menemukan kekuatan untuk terus melangkah. Bagi Longkea, kadang mencintai adalah tentang memberi tanpa harapan. Tidak ada kamus menyerah dalam hidupnya. Sebab baginya, memperjuangkan perasaan adalah kemenangan sejati.
‘’Terima kasih, tidak perlu satu kelompok pemuda. Aku sanggup melaksanakan syarat yang disampaikan Uduna tadi. Tapi aku akan kembali ke kampungku meminta restu dari orang tua’’ – sahut Longkea lantang. Pagi hari, Longkea pulang ke kampungnya dan kembali lagi pada sore harinya untuk menjalankan syarat yang disampaikan perempuan pujaannya. Malam hari, Longkea memulai misi pembuktian cintanya yang tak bertepi. Cinta Longkea melampaui waktu dan ruang. Menembus batas-batas dan mengisi setiap ruang kosong. Cintanya pada Uduna adalah perasaan yang abadi. Seperti langit yang tak pernah habis memancarkan bintang. Selalu ada. Selalu bersinar.
Pagi harinya, warga kampung terhenyak menyaksikan di kejauhan pohon bertumbangan. Semak rata dengan tak bersisa. ‘’Longkea ternyata bisa memenuhi syarat’’ – ucap Uduna pada orang tuanya. Hatinya gundah membayangkan bakal menjadi pendamping dari orang yang tak dicintainya. Baginya, cukuplah Longkea menjadi penyelamat tapi tidak harus berbalas dengan menjadi istrinya. Ayahnya menenangkan putrinya yang tampak gelisah. Siang hari, dari kejauhan asap terlihat membubung tinggi. Longkea mulai membakar semak. Selangkah lagi kebun mulai ditanami. Menjelang senja kebun menghijau dengan tanaman aneka rupa. Bagi pria seperti Longkea, cinta sejati bukanlah kata-kata manis yang hanya terucap dengan wacana kosong. Ia adalah tindakan yang tulus dan konkret. Longkea adalah simbol kegigihan, ia tetap bertahan di saat-saat sulit. Konsistensi pada misi perjuangan tak mudah tergoyahkan oleh waktu dan pengorbanan.
Senja memerah, malam segera tiba. Longkea berhasil memenuhi syarat yang diminta. Uduna merana. Hatinya tetap dingin – lebih dingin dari air danau tempatnya mematut diri. Sebagai gadis ia ingin berdaulat atas dirinya. Tidak ada boleh ada pemaksaan dalam sebuah relasi bahkan dalam cinta sekalipun. Uduna masih enggan menerima Longkea sebagai suaminya. Gadis itu kembali mengajukan syarat baru. Uduna masih perlu melihat 15 hari kedepan hingga tanaman tumbuh. Longkea kembali ke kampungnya – hasrat mempersunting sang perawan masih harus menunggu beberapa hari lagi. Waktu 15 hari pun tiba. Tanaman tumbuh subur, sesubur harapannya kepada sang gadis. Tapi Uduna tetap kukuh dan mengajukan syarat lainnya. Pria yang menyelamatkan nyawanya dari patukan ular harus mengisi tong dari air danau dengan menggunakan wadah anyaman dari daun sagu. Mengangkut air dengan keranjang adalah hal mustahil. Tapi bagi Longkea, syarat itu tetap dijalaninya. Bagi orang seperti Longkea, cinta bukan sekadar rasa yang tumbuh, tetapi perjalanan yang harus ditempuh, sesulit apa pun medannya. Cinta membutuhkan perjuangan untuk menjaga keindahannya sekaligus pembuktian untuk mengukuhkan ketulusannya. Seperti bunga yang mekar setelah badai, cinta hanya akan menjadi kuat jika dirawat dengan usaha, dan dibuktikan dengan tindakan. Sekali lagi, Longkea harus mampu memenuhi syarat yang panjang dan berkelok itu.
Syarat mengangkut air dengan wadah bocor pun berhasil. Kali ini, Uduna tak lagi mengajukan syarat lain. Walau tak ada cinta di hatinya, ia bersedia menerima pria itu sebagai pendamping hidupnya. Uduna bergumam, hati adalah tempat yang paling jujur. Hati tak bisa dipaksa untuk mencintai. Hati seperti bunga yang tak akan mekar hanya karena diperintah. Bagi Uduna, cinta sejati harus tumbuh dari ketulusan. Bukan dari paksaan. Pada usia yang belia, perspektifnya tentang cinta sudah sangat matang. Uduna meyakini, cinta hanya akan bersemi di tempat di mana hati merasa nyaman dan bebas untuk memilih.
Perasaan Longkea begitu bungah. Ia merasa sebagai pemenang, mempersunting Uduna – sang perawan. Persiapan prosesi adat pun dilangsungkan. Uduna mengajak calon suaminya makan bersama. ‘’Ini masakanku, untukmu calon suamiku’’ – ucap Uduna. Longkea menuruti suara manja dari calon istrinya. Hatinya seperti melayang mendengar suara renyah keluar dari mulut sang pujaan. Apa yang terjadi berikutnya – Longkea ambruk. Ia sekarat usai menelan racun bersama makanan yang diselipkan oleh orang di hadapannya. Orang yang sangat dicintainya. Tubuh kekarnya tersungkur tak berdaya. Longkea mati. Pada nafas terakhir, ia sempat berucap, beberapa kata tentang pengkhianatan dari orang yang pernah diselamatkannya dari kematian. Longkea telah menyerahkan segalanya. Bahkan nyawanya, demi cinta yang ia yakini suci. Cintanya tetap hidup bersama raga yang telah mati. Jika cinta Longkea bertemu dengan akhir yang tragis, itu bukan karena kurangnya rasa, tetapi takdir memilih jalan berbeda.
Uduna harus membayar mahal pengkhianatan itu. Uduna ambruk ke tanah. Ia terguling hingga tepi danau, tempat Longkea awal mula menyapanya. Di sana, ia berubah menjadi batu. Amarah menguncang kampung kediaman Uduna. Rumah-rumah terbakar. Ladang persembahan Longkea hangus. Rumah di kebun yang dibangun berubah menjadi batu – kini batu itu teronggok kaku di dekat Bancea. Sebagian warganya memillih pindah tinggal di desa yang kini dikenal Desa Taipa. Sebagiannya lagi memilih di tempat lain, yang dikenal Desa Panjo – Bancea. Kini, sebagian besar Pada Marari yang berarti padang gundul terlihat tandus. Itu adalah kampung Uduna yang dilalap api. Bahkan pohon pun seolah enggan tumbuh di sana. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto: Basrul Idrus/Mosintuwu Institut
Sumber: Disarikan dari Majalah Mosintuwu yang mengutip Jan Pieter Rantung – 2018