Mengetuk Nurani Tokoh Adat untuk Kekerasan Seksual yang Berperspektif Korban

DISKUSI - Yayasan Gemilang Sehat Indonesia mengadakan pertemuan pemangku kepentingan, mendiskusikan peran lembaga adat dalam pelaksanaan UU TPKS di Sulawesi Tengah, Palu 29 Mei 2024.

KEKERASAN perempuan dan anak menimbulkan daya rusak multidimensi. Mulai dari gangguan mental hingga trauma berkepanjangan. Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), membawa harapan baru untuk penyelesaian kekerasan seksual. Sayangnya, dalam dua tahun berlakunya UU tersebut, implementasi di lapangan masih menemukan kendala serius.

Pelibatan tokoh kultural diharapkan menjadi salah  satu kunci untuk suksesnya UU yang baru berusia dua tahun ini. Namun harapan untuk menjadikan tokoh adat sebagai elemen penting berjalannya UU ini, harus melalui jalan terjal. Pengadilan adat bahkan menjelma menjadi dinding penghalang, bagi para korban untuk mendapatkan keadilan.

Ely Sawitri Direktur Yayasan Gemilang Sehat (GenG) mengakui pelaksanaan undang undang ini masih menemui tantangan serius. Hukum adat sangat digdaya dalam penyelesaian kekerasan seksual, khususnya di pedesaan. Kecenderungan masyarakat yang masih menggunakan hukum adat maupun penyelesaian damai menjadi kendala tegaknya hukum bagi pelaku.

Pelibatan tokoh adat dalam penegakan UU TPKS adalah untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban terpenuhi, tidak dikalahkan oleh mahkamah adat yang tidak saja bias patriarki tapi juga menambah runyam derita korban. Sawitri mengaku, lembaga yang dipimpinnya, terlibat langsung dalam dalam advokasi peraturan turunannya dan mensosialisasikan kepada berbagai pihak guna  mendukung penerapan UU TPKS. Di Kota Palu, sosialisasi UU TPKS dilakukan di tingkat kota,  kelurahan dampingan dan melalui diskusi terbatas di lingkungan kampus maupun komunitas orang muda. Sosialisasi maupun diskusi-diskusi ini dilakukan untuk memastikan

Mengutip penelitian tentang norma sosial yang dilakukan oleh YGSI bersama Tulodo di tahun 2023, menunjukkan banyak kasus kekerasan seksual yang ditangani secara damai baik berdasarkan kesepakatan bersama antara keluarga maupun hukum adat yang berlaku. Ada beberapa alasan di balik penyelesaian secara damai ini antara lain menjaga kehormatan keluarga dan keharmonisan masyarakat serta layanan hukum yang jauh dari  lokasi tempat tinggal. Penyelesaian kasus kekerasan seksual secara damai ini akan merugikan korban/penyintas kekerasan seksual mengingat dampaknya terhadap korban maupun kepada keluarganya.

Keresahan Sawitri itu sepertinya belum berujung. Data yang disampaikan Pemerintah Kota Palu mengonfirmasi itu. Kekerasan perempuan dewasa di Kota Palu pada 2023, sebanyak 78 kasus. Terdiri kekerasan seksual 11 kasus, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 49 kasus, lainnya 11 kasus. Masih pada tahun yang sama, kekerasan pada anak sebanyak 85 kasus. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual sebanyak 59 kasus, persetubuhan anak 10 kasus dan aniaya 16 kasus.

Data yang disampaikan Sekretaris Kota Palu, Irmayanti Petalolo, tersebut mengindikasikan kekerasan seksual masih tinggi. Beberapa di antaranya, diselesaikan secara hukum. Fenomena penanganan hukum adat untuk kekerasan seksual yang masih tinggi menurut dia, penerapannya tidak bisa merugikan korban.

‘’Walaupun sanksi hukum adat berlaku dalam penanganan kekerasan seksual, tapi proses hukum positif negara tetap harus dilakukan agar pelaku mendapatkan efek jera, harapannya lembaga adat memiliki pemahaman yang sama terkait itu,’’ katanya di Palu, 29 Mei 2024. Penerapan hukum adat di Palu khususnys etnis Kaili menurut akademisi Nisbah Mariadjang, ada beberapa nilai dan norma dalam hukum adat masyarakat Lembah Palu memiliki potensi untuk berperan dalam melindungi perempuan. Misalnya dengan membedakan sumur (tempat mandi) antara perempuan dan laki-laki.

Perlakuan itu mengindikasikan nilai nilai etnis Kaili yang sangat tegas dalam mengatur relasi antar perempuan dan laki-laki. Di dalamnya, ada hirarki sanksi hukum adat yang dikenakan bagi yang melanggar nilai dan norma yang disepakati. Bagi pelanggarnya dikenakan sanksi hukum yang disebut givu. Gradasi hukuman givu diterapkan beragam sesuai jenis pelanggaran pelaku alias tosala.

Pelaksana UU TPKS, UPTD PPA Sulawesi Tengah, Zulfikar mengaku, dalam konteks hukum positif negara,  mandat UU TPKS didesain untuk melindungi korban kekerasan seksual. Dan memperoleh keadilan serta dukungan yang diperlukan oleh korban. Ia mengaku mendapatkan beberapa tantangan dalam penanganan kekerasan seksual. Salah satunya adalah perspektif terhadap nilai dan norma hukum adat, seperti penanganan kekerasan seksual diselesaikan dengan pelaku membayar denda seekor kambing atau sapi. Sanksi tersebut menurut dia menjadi prioritas dan penyelesaian akhir, padahal penyelesaian itu belum memenuhi hak-hak korban.

Ia kemudian menawarkan adanya dialog dan kolaborasi antara UPTD PPA dan lembaga adat terkait edukasi dan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan lembaga adat mengenai hukum positif Negara. Termasuk di dalamnya, memberikan pelatihan khusus peran lembaga adat dalam penanganan kasus sesuai dengan hukum positif negara, dan pendekatan sensitif budaya serta advokasi kebijakan.

Maya Safira dari Libu Perempuan, menyampaikan keluh kesahnya lembaga yang dipimpinnya, menghadapi tantangan selama proses pendampingan kasus kekerasan seksual. Salah satunya hukum adat yang masih menjadi prioritas di masyarakat dalam menyelesaikan kekerasan seksual. Namun kendala-kendala itu berusaha dilaluinya dengan pendekatan persuasif. ‘’Persuasi yang kami lakukan ada kalanya berhasil dengan diskusi yang intens,’’ katanya ditemui terpisah.

Pertemuan setengah hari bertujuan memastikan Pemenuhan Hak-hak Korban yang digelar  Yayasan Gemilang Sehat Indonesia untuk mendiskusikan peran lembaga adat dalam pelaksanaan UU TPKS, berhasil menelorkan beberapa rekomendasi.

Antara lain, peningkatan pemahaman bagi lembaga adat agar memiliki perspektifdalam penanganan kasus kekerasan seksual. Pelibatan perempuan dalam lembaga adat menjadi penting agar pengambilan keputusan berperspektif perempuan dan anak. Poin lainnya, menjunjung tinggi nilai dan norma adat budaya dengan tetap berlandaskan pada Hak Asasi Manusia. Khususnya membela kepentingan perempuan, anak dan korban kekerasan seksual. Serta perlunya, Standar Operasional Prosedur (SOP), yang terintegrasi untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di masing-masing unit kerja Pemerintah Kota Palu. Termasuk lembaga adat.

 

Kekerasan seksual adalah jenis kejahatan yang susah dihilangkan. Kejahatan itu terus ada di setiap kelindan pikiran, niat maupun keisengan belaka.  Penyebabnya, entah karena atmosfer patriarki yang begitu mengakar atau  infrastruktur hukum di pelosok yang belum merata, maupun dogma dan norma adat kepercayaan yang begitu dominan.

Karena itu, Butuh kolaborasi banyak pihak untuk mengatasinya.  Jika selama ini lembaga adat dengan hukum adatnya, cenderung melahirkan keputusan yang merugikan korban, maka forum yang digagas Yayasan Gemilang Sehat Indonesia bersama sejumlah aliansi sipil berusaha memutusnya. Setidaknya, begitu harapan Nining Rahayu dari LBH APIK yang memoderasi diskusi setengah hari itu.

Lembaga adat yang kuat dan bijaksana adalah penjaga nilai-nilai luhur masyarakat. Merangkul dan melindungi setiap anggotanya dari berbagai bentuk kekerasan. Termasuk kekerasan seksual. Dengan kekuatan tradisi dan kebijaksanaan yang diwariskan turun-temurun, lembaga adat dapat menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis. Di mana setiap individu dihormati dan dijaga kehormatannya.  Jika asa ini bisa diwujudkan, inilah bukti nyata bahwa tradisi yang dijalankan dengan hati nurani mampu menjadi perisai yang kokoh bagi keadilan dan martabat manusia. Sekaligus, menjadikan lembaga adat sebagai simbol harapan dan pelindung.

 Penulis          : Sazkiah Miftah
Penyunting : Yardin Hasan

Tinggalkan Balasan