ZIYA seperti gadis-gadis sepantarannya, menikmati hari-harinya. Ia menggambar masa depannya dalam kanvas kehidupan yang ia tulis sendiri. Senyum semringah menghiasi hari-harinya bersama keluarga kecilnya yang tak berhenti mengalirkan cinta padanya. Namun gempa yang disusul tsunami meluluhlantakan sebagian besar Teluk Palu, pada senja 28 September 2018, menghadirkan horor pada kehidupannya. Tiba-tiba kehidupan seolah tak berpihak padanya. Himpitan hidup pascagempa, bayangan orang-orang terkasih yang digulung tsunami hingga pelecehan seksual yang dialaminya – menjadikan kematian seolah sebagai cara ”terbaik” mengakhiri derita yang membelitnya.
Ikerniaty Sandili, mampu menggambarkan secara detail peristiwa kelabu 28 September 2018 dalam novel yang ditulisnya, berjudul Yang Lahir dan Berakhir di Teluk Palu. Novel yang mengangkat kisah nyata keluarga kecil di Pantai Mamboro, Palu Utara ini, pantas dibaca. Ini juga sebagai cara terbaik mengingat, mencatat dan memelihara ingatan tentang bencana termasuk penanganan pascagempa yang dalam prakteknya tak pernah benar-benar berpihak pada perempuan. Karakter Ziya terasa sangat hidup dalam novel setebal 149 halaman ini. Membaca novel ini, tak hanya menghadirkan kenangan pilu ribuan orang di kolong tenda, yang tak berhenti berharap kemanisan hati dermawan. Tapi Novel garapan mahasiswa jebolan Komunikasi Universitas Tadulako ini sukses menggedor sisi terdalam kemanusiaan kita, tentang relasi kemanusiaan yang mestinya harus hadir dalam wajah paling ramah – entah pada saat suka maupun duka.
Melalui sosok perempuan seperti Ziya banyak ditemui di barak-barak pengungsi di Palu, Donggala dan Sigi. Di barak pengungsi perempuan remaja dan dewasa menjadi objek kekerasan seksual. Iker, demikian gadis asal Banggai Laut ini diakrabi, tak hanya mampu merekam secara apik kisah mengharukan yang terjadi di tepi pantai Mamboro pada 5 tahun silam itu. Ia juga menggunakan karakater Ziya sebagai kritik terhadap negara yang abai pada problem mendasar perempuan di pengungsian. Barak pengungsi yang bias patriarki, dibangun seadanya membuat perempuan menjadi objek pelecehan seksual.
GEMAR MENULIS SEJAK DI BANGKU SMP
Yang Lahir dan Berakhir di Teluk Palu adalah novel terbit 2022. Novel ini meraih juara Harapan Dua oleh penerbit Basabasi. Pada Festival Sastra Banggai, Narasi Ketujuh yang berlangsung 6 – 9 September 2023, ia mendapat slot istimewa untuk meluncurkan karyanya di Pelataran Teluk Lalong, Banggai, 8 September 2023.
Sejumlah penulis muda yang datang dari seantero negeri, memberi komentar positif atas pencapaian, perempuan yang tercatat aktif di belasan organisasi ini.
Sebelumnya, gadis manis yang berulang tahun saban 29 Desember ini, telah menyelesaikan sejumlah tulisan. Di Ujung Desember (2017) prosa yang mengelobarasi pergulatan hidup, tentang keluarga, kehidupan, cinta dan perkoncoan. Pada 2018, Novel kedua terbit, Menggugat Purnama. Pengalaman menjadi guru di Sumatera menjadi basis utama cerita. Menjadikan Risa sebagai tokohnya, novel mengulas tantangan di kampung orang. Namun problem pelik yang dihadapi di negeri rantau, memberi makna besar dalam hidupnya. Hingga membawanya menjadi perempuan dengan kompetensi terbaik seperti saat ini.
Pada 2022, novel Musim yang Pergi juga terbit. Bergabung dalam Akademi Sastra Banggai, ia menulis kisah seorang anak yang bosan mengonsumsi ubi padahal orang tuanya adalah petani ubi. Novel ini mendapat komentar khusus dari Reza Nufa, seorang penulis kelahiran Bogor. Menurut dia, ia merasa perlu mengulang ulang tulisan itu, karena ide ceritanya sangat kuat dan relate dengan situasi kekinian. ”Saya merasa perlu untuk jeda membaca – dan balik lagi setelahnya. Biar saya objektif dan tidak terbawa plot cerita,” katanya kepada penulis muda lain. Iker sendiri belum mau memberi bocoran tentang proyek kedepannya. Ditanya soal proyeknya kedepan, ia tak banyak merespons. ”Belum tahu,” katanya sambil memperbaiki letak kaca mata beningnya. Namun dari sekondannya diketahui, diam-diam ia sedang menyiapkan proyek baru.
Iker sendiri seperti yang diakuinya saat peluncuran novelnya, hobi menulis sejak SMPN 1 Banggai. Insting menulisnya diasah dengan merangkai cerita fiksi atau menulis kelakuan teman-teman di kampungnya hingga cerita rakyat. Menginjak bangku SMA, ia menyadari kemampuan menulisnya semakin kuat. Saban hari teman sekelasnya menagih cerita yang ditulisnya untuk dibaca.
”Saya orang pertama yang kebagian membaca. Setelah itu baru digilir ke kawan lain,” ungkap Intan salah satu kawan karib di SMA hingga kuliah di Universitas Tadulako. Cerita yang ditulis temanya tentang konflik keluarga. ”Nyaris tidak ada cerita tentang romansa SMA,” katanya mengenang. Intan bilang, dengan kecerdarasannya, ia mestinya masuk kelas eksakta. Namun lebih memilih ilmu sosial. ”Mungkin supaya hobi menulisnya bisa keasah,” duga Intan.
Usai SMA di Banggai, anak ketiga dari empat bersaudara hijrah ke Palu. Ia mengambil jurusan komunikasi dengan konsentrasi jurnalistik. Pilihan ini, punya alasan kuat. Setidaknya dengan ilmu jurnalistik yang dipunyainya, ia bisa menjadi jurnalis lalu kemampuan menulisnya tersalur. Kini ia tercatat sebagai kontributor di Media AlKhairaat Palu. Walau jika mengamatinya dalam percakapan informal, menyimak tema diskusinya, mengamati gesturnya, mendengar diksinya, aura novelis lebih kental dari pada seorang jurnalis. Tulisan-tulisannya di Media AlKhairat, mayoritas bertema humaniora.
Di novel ini, Ikerniaty Sandili dalam kemampuan terbaiknya, telah menjadi bagian yang mengisi literasi kebencanaan. Novel ini tak semata mengeksploitasi haru biru Ziya dan keluarganya di hari naas maupun setelahnya. Di atas itu, karya ini telah mengisi lubang besar literasi kebencanaan di daerah ini, yang ditinggalkan para elit, karena sibuk berlomba membangun beton di zona terlarang.
Penulis : Amanda
Foto : Amanda