DENGAN kruk yang menopang beban tubuhnya, ibu dua anak ini terus menyeret kakinya menyeberang sungai, menyusuri jalan berlubang. Langkahnya yang pelan tapi pasti, menemui para korban pemerkosaan yang tak berdaya. Mengajak korban berdialog dari hati ke hati. Memberi suport mental. Hingga mendampingi dan memastikan hak hukum korban tidak berakhir di mahkamah hukum adat yang putusan-putusannya kerap merugikan korban.
Velmariri Bambari alias Velma (42), seorang perempuan difabel asal Desa Gintu – Lore Selatan, Kabupaten Poso, mengisi sebagian hari-harinya untuk melawan kemapanan di daerahnya di Lembah Bada – Poso. Dengan kekuatan narasi, ketegasan sikap dan keanggunan seorang perempuan Bada, ia menerabas nilai-nilai mapan yang sudah menguratakar dalam kehidupan masyarakat setempat. Ia tidak anti lembaga adat. Pun tidak menentang sistem nilai adat.
Namun dalam kasus perkosaan, keputusan hukum adat tidak boleh merugikan korban. Menurut Velma, jika hukum adat merugikan korban, maka hukum pidana adalah jalan keluar yang harus diambil. Untuk itu, ia meyakinkan pemerintah desa. Ia membuka dialog ke pemuka adat di kampung-kampung. Meminta agar pelaku pemerkosaan digiring dengan hukum pidana. Jika tidak, maka kasus pemerkosaan terus berulang. Kehidupan perempuan dan anak-anak di bawah umur di Lembah Bada tidak akan aman. Mereka terus menerus dalam intaian predator seksual yang datang setiap saat. Kapan pun. Dimana pun.
Velma mengaku batinnya berontak. Menyaksikan realitas sosial di lingkungannya. Korban perkosaan anak-anak maupun perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, tidak mendapat perlindungan hukum yang memadai. Mereka bahkan dirugikan oleh tradisi adat di masyarakat. Ia mencari celah, bagaimana tradisi yang sudah menguratakar ini disudahi. Para korban yang sudah disanksi masih saja mengulangi perbuatannya pada korban yang sama. ”Saya harus melawan,” gumamnya dalam hati.
Sejarah perlawanan dimulainya pada 2018. Pertama yang dilakukannya adalah mengajak diskusi para kepala desa dan pemangku adat. Ia melakukan road show menemui para tokoh-tokoh kharismatik di sejumlah desa, di Kecamatan Lore Selatan maupun Lore Barat. Ia memberi pemahaman agar kasus pemerkosaan tak semata menggunakan hukum adat. Tapi harus menggunakan UU Perlindungan Perempuan dan Anak. Di hadapan para tokoh sepuh itu, ia mengaku sebisa mungkin berdiskusi dengan frasa yang mudah dimengerti. Tidak boleh frontal serta intonasi selalu terjaga. Ia juga meminta diberi akses penuh untuk mengikuti proses sidang. Velma ingin memastikan hak-hak korban diperhatikan dan dipenuhi. Dan saat waktu yang sama, di hadapan pemuka adat, ia tak segan mengirim narasi bernuansa gertakan. ”Saya bisa mengambil jalur pidana jika bapak-bapak tidak menggunakan UU Perlindungan anak untuk korban pemerkosaan,” ucapnya setengah mengancam.
Upaya itu membuahkan hasil. Pada Muswil Adat 2019, pemerkosaan termasuk kasus yang dikecualikan. Kasus perkosaan diselesaikan dengan hukum positif. Dari sana keterlibatannya mendampingi korban perkosaan mulai menemukan bentuknya. Sambil terus mengapit kruk, ia terus menjelajah seantero dataran Lembah Bada. Mendatangi keluarga korban. Mengajak korban diskusi. Berkoordinasi dengan pemuka adat dan pemerintah desa. Menjalin komunikasi ke Polsek-polsek. Hingga mengawal korban ke rumah sakit untuk keperluan visum.
Aktivitas itu dilakukannya sendiri dengan mengendarai kendaraan roda dua. Jika jaraknya cukup jauh di atas 10 kilometer dari kediamannya, ia meminta suami mengantarkannya. Selama ini, kasus pemerkosaan paling jauh, di Desa Lelea yang berjarak 11 kilometer. Di Desa Lelea, kasusnya kompleks. Sehari bisa 3-4 kali ia bolak balik. ”Waktu pendampingan di Desa Lelea saya diantar suami. Saya takut naik motor, karena melintas di jembatan gantung,” katanya.
Kasus pertama yang ditanganinya adalah, pemerkosaan anak usia 15 tahun. Pelakunya warga trans asal Kabupaten Morowali. Sang pria membawa lari gadis. Dalam proses pelarian itulah kasus pemerkosaan terjadi. Kasus kedua pada 2019, korbannya anak kelas V SD berusia 11 tahun. Pemerkosaan terjadi dua kali. Pertama pada bulan April. Kejadian kedua pada bulan Juli dan baru terungkap November 2019. Belum selesai kasus yang satu – menyusul lagi kasus berikutnya. Dari delapan kasus yang ditanganinya, tujuh diantaranya adalah pemerkosaan – sisanya KDRT. Kasus yang menimpa korban berusia 11 tahun, menurut dia paling menggedor nuraninya. Korban mengalami pendarahan parah hingga terkulai lemas. Tatapannya hampa dan terus meringis kesakitan. ”Saya ini suka anak. Hati saya trenyuh, melihat anak sekecil itu mengalami siksa berat,” katanya mengenang peristiwa itu. Maka, jarak rumah sejauh delapan kilo dengan kondisi jalan yang tidak cukup baik, bukan lagi kendala serius. Naik motor, tongkat kruk diletakkan di depan. Ia pun memacu kendaraannya menuju rumah korban yang terbaring lunglai. Di hadapan korban, ia memosisikan diri sebagai ibu kandung yang melayani semua kebutuhannya dari A hingga Z. Pendekatan macam itu membuat korban nyaman dan mau terbuka kepadanya. ”Korban memanggil saya mama,” ungkap jebolan SMEA Negeri Poso tahun 1999 ini. Menurut dia, keterbukaan komunikasi sangat penting untuk memahami psikologis korban sekaligus memudahkan proses BAP di kepolisian.
Untuk membangun komunikasi yang intens dengan korban, pertama yang harus dilakukan adalah ”menaklukan” keluarganya. Untuk bisa diterima sebagai pendamping, katanya tak cukup dengan bermodal atribusi relawan pendamping korban kekerasan perempuan dan anak.
Keluarga selalu bertanya banyak hal. Misalnya, kenapa harus didampingi. Apa tujuan pendampingan. Dan sampai kapan didampingi. Ini perlu dijelaskan dengan hati-hati. Jika keluarga paham, dari sana terbuka ruang mendampingi korban seterusnya. Situasi macam ini dialaminya saat awal-awal mendampingi korban. Selanjutnya, ketika warga mulai melihat hasilnya – mereka sudah sangat terbuka bahkan meminta untuk diadvokasi.
Totalitasnya itu ditunjukan dengan terjun langsung ke rumah sakit melakukan visum. Mendampingi korban di kantor Polisi untuk menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Di Polsek Lore Selatan dan Lore Barat, belum ada Polisi Wanita (Polwan). Maka dirinya selalu ditunjuk polisi mendampingi korban selama proses BAP.
Untuk kasus pemerkosaan anak usia 11 tahun misalnya, awalnya BAP akan dilakukan di Polsek Lore Selatan. Namun karena pertimbangan emosi massa – karena pelakunya adalah orang berpengaruh di desa itu, maka BAP nya dilakukan di Kota Poso. Maka pada malam hari ia harus mengemasi barangnya menuju Kota Poso. ”Pelakunya ditangkap malam hari, saat itu juga harus di BAP, maka saya diminta segera Polres Poso,” katanya.
Di Lembah Bada, dengan 14 desa didalamnya kasus pemerkosaan tergolong tinggi. Pada rentang waktu 2018 – 2021, delapan desa pernah terjadi kasus pemerkosaan. Desa-desa itu antara lain, Desa Badangkaia 1 kasus, Desa Runde 1 kasus dan Desa Bomba 1 kasus serta Desa Lengkeka 2 kasus. Kemudian Desa Tomisi 1 kasus dan Desa Lelio yang merupakan desa terjauh dari rumahnya sebanyak 1 kasus. Sisanya adalah kasus KDRT 1 kasus. Di Desa Lelio, karena termasuk kasus pelik, sehari empat kali bolak balik. Beruntung, suami dan kedua anaknya mendukung pilihannya. Sehingga tidak ada protes di dalam rumah.
Walau berhasil mengirim para pelaku ke bilik penjara, Velma mengaku kurang puas dengan vonis yang dijatuhkan. Vonis tergolong ringan berkisar antara 7 – 9 tahun. Hanya satu kasus yang menurutnya memenuhi keinginannya, yakni kasus pemerkosaan anak 11 tahun yang divonis 13 tahun penjara. Ada vonis yang rendah yakni 7 tahun, karena antara pelaku dan korban membuat surat perjanjian damai. Hal itu menjadi pertimbangan hakim menjatuhkan vonis ringan.
MENGALAMI PERCOBAAN SUAP
Dalam perbincangan dengan perempuan ramah ini, di Dodoha 25 Maret 2022, di sela-sela pelatihan jurnalistik yang digelar Mosintuwu Institut, Velma bilang, dua hal yang menyebabkan dirinya terjun total dalam pendampingan korban. Pertama, sanksi adat tidak pernah berpihak pada perempuan sebagai korban. Kedua, sanksi adat tidak memberi efek jera pada pelaku pemerkosaan.
Dari pengalamannya, ada satu kasus yang kejadiannya berulang pada korban yang sama oleh pelaku yang sama pula. Pelaku mengulangi perbuatannya – justru saat sanksi adat pada pelanggaran pertama belum ditunaikan. Kemudian, sanksi berupa tanah/kebun dan hewan atau uang, tidak diberikan kepada korban. Melainkan kepada pemangku adat. Malah ada kasus yang ditemuinya, korban masih harus menanggung beban denda penyucian kampung.
”Bagi saya ini tidak adil. Harus dihilangkan. Tidak boleh lagi terjadi,” tekadnya. Sebagai warga yang besar dalam nuansa adat yang kental, Velma mengaku tidak anti atau menentang hukum adat. Namun dalam kasus pemerkosaan hukum adat harus sejalan dengan kepentingan para korban. Jika tidak, sebaiknya diarahkan ke hukum pidana.
Lima tahun melakukan pendampingan – pernah sekali mentalnya jebol. Ia sampai menangis. Ia tak mengira jika sebagai relawan harus berhadapan dengan situasi yang menguras emosi. Kejadiannya di Desa Tomehipi Kecamatan Lore Barat. Pelaku memerkosa gadis berusia 13 tahun. Istri pelaku masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayahnya. Karena merasa kerabat dekat itulah, pelaku selalu mendekatinya dengan berbagai cara. Intinya, meminta agar kasus ini, tidak dibawa ke ranah pidana. Pelaku datang bersama keluarganya beberapa kali. Terus mendesak dengan menawarkan sejumlah uang.
Selama ini, percobaan suap sudah sering dialaminya. Namun pada kasus ini, ia merasa sangat berat. Pelaku tiga kali membawa uang sebesar Rp20 juta. Uang itu masih harus dibagi dengan pihak lain yang terkait langsung dalam penanganan kasus ini. Saat mereka datang kepala mereka sontak mendongak ke atas. Melihat-lihat rumahnya yang masih terbuka lengang menembus langit. ”Untuk kamu selain uang saya berjanji akan membeli atap untuk rumah,” ungkapnya menirukan tawaran kerabatnya itu.
Menurut dia, uang Rp20 juta ditambah biaya atap rumah, jumlahnya tidak seberapa. Namun yang membuatnya galau karena tawaran itu datang dari kerabat sendiri. Saat pamit pukul 12.00 malam mereka terus mengulangi tawarannya. ”Khusus untuk Velma rumahnya kami pasang atap asal kasusnya dihentikan,” ucapan itu terus diingatnya. Tak hanya dirinya, suaminya pun berusaha dipengaruhi.
Pada situasi seperti itu, saat deposit mentalnya nyaris jebol, ia kemudian diskusi dengan ayahnya. Seorang pensiunan Polisi. Nasehat ayahnya singkat. Jika kamu berdiri di atas keyakinan berdasar hukum yang kamu yakini kebenarannya – mestinya kamu tidak goyah dengan tawaran seperti itu.
Ia juga bertukar fikiran dengan Ketua Institut Mosintuwu Lian Gogali sekaligus mentornya. Dalam diskusi yang panjang, Lian memintanya tidak gentar. Godaan semacam itu adalah konsekwensi atas sebuah pilihan yang diambil. ”Ibu Velma jangan goyah. Dalam perjuangan ini, Ibu Velma tidak sendiri. Semua orang yang berfikiran seperti kita akan mendukung dari berbagai sisi. Ibu Velma harus kuat, jangan mundur,” suport Lian dari balik telepon.
Sebagai pelapor, kasus yang melibatkan keluarga high profil di Desa Tomehipi itu, sepenuhnya berada di tangan Velma sendiri. Setidaknya begitu, keterangan yang diperolehnya dari Polsek. Polsek Lore Barat yang didatangi pelaku, memilih menyerahkan kasus ini ke dirinya. Dilema bagi dia adalah, jika tawaran tidak diterima padahal mereka adalah keluarga yang dalam relasi keseharian relatif dekat. Pun jika diterima maka, baginya itu adalah kesalahan yang tidak bisa dimaafkan. Karena berkompromi dengan sesuatu yang secara hukum dan moral telah salah.
Mendapat suntikan moral dari ayah dan mentornya Lian Gogali – ia mantap meneruskan kasus ini. Hasilnya, pelaku divonis selama 7 tahun. Kini pelaku sedang meringkuk di penjara Poso. ”Saya merasa plong,” katanya singkat. Ketika kasus sudah dilimpahkan ke Kejaksaan. Kapolsek Lore Barat memanggil dirinya. Keduanya curhat-curhatan. Kasus ini menurut keduanya termasuk paling berat yang pernah mereka ditangani. Pelakunya keluarg hartawan. Mereka orang terpandang dan berpengaruh di wilayah itu. Marganya tidak mau tercoreng, sehingga berusaha agar kasus ini tidak mencuat dengan menawarkan sejumlah uang.
MENDAPAT MUSIBAH SAAT POSO MASIH BERKECAMUK
Velma mengalami cacat saat mengalami tabrakan pada 1999 di Kota Poso. ketika usia menginjak 18 tahun. Kota Poso yang masih mencekam saat itu, tak memungkinkan bagi dia untuk melakukan pengobatan di rumah sakit. Ia tidak bisa berobat di rumah sakit untuk mendapat tindakan medis yang memadai. Situasi Kota Poso yang mencekam dan amuk massa yang kerap terjadi di jalanan kota, membuatnya harus mendekam di rumah menanti keajaiban berpihak padanya. Cacat itu menyebabkannya harus menggunakan alat bantu tongkat untuk menopang aktivitasnya. Ia mengaku, saat itu kepercayaan dirinya jatuh. Ia tidak mempunyai kepercayaan diri. Saat orang memandang dirinya, ia kadang menangis dan pingsan. Ia belum sanggup menerima takdir yang terjadi atas dirinya.
Upaya meraih kembali kepercayaan dirinya terus dilakukan. Namun selalu gagal. Pada 2014 ia bergabung di Mosintuwu Institut. Di lembaga ini ia menempa diri dengan berbagai pengetahuan. Dari lima pelatihan yang ditawarkan, Velma memilih Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA). Pilihan itu tidak terlepas dari keinginannya yang gemar dengan dunia anak. Pilihan itu juga tak terlepas dari kegusarannya, karena peran perempuan yang diabaikan. Selain di pelatihan, ia memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku korespondensi RA Kartini dan pejuang perempuan dari NTT. Mendapat pengetahuan seperti itu, semakin menguatkan perspektifnya dalam isu-isu kesetaraan yang menurutnya amat timpang.
Velma mengaku beruntung dikaruniai pria yang mendampinginya hingga kini. Pacaran saat kondisi fisiknya masih sempurna. Jalinan kasih itu bahkan berujung di pelaminan saat fisiknya sudah cedera. ”Inilah cinta yang tak bersyarat itu,” katanya tersenyum. Menjalani hari-hari indah bersama dua buah hatinya di Desa Gintu, sang suami tetap menjadi pendukung utama. Membantunya mengunjungi korban di kampung-kampung paling jauh sekalipun.
Musibah kecelakaan telah membuat kepercayaan dirinya nyaris menyentuh titik nadir. Tapi kini ia telah bangkit. Velma menjadi perempuan kuat. Bersama Mosintuwu Institut yang menggembleng kesadarannya dan keluarga yang selalu mendukung serta kecintaan tak berpamrih pada ceruk alam Lembah Bada yang eksotik, Velma menenggelamkan dirinya pada aktivitas kemanusiaan. ”Saya sedang menemukan dunia saya di sini,” katanya. Tujuh pelaku pemerkosaan yang dikirimnya ke penjara Poso dengan mulus, baginya bukan tujuan. Cita-cita tertingginya adalah bagaimana perempuan di Lembah Bada, mendapat tempat dan hak yang sama sebagai insan merdeka. Kehidupan sosial perempuan tidak boleh diabaikan hanya karena gendernya.
Sosok Velma, dengan alat bantu jalan. Dengan kruk yang menyanggah beban tubuhnya, dengan keterbatasannya telah melakukan banyak hal tak hanya untuk sesamanya. Di atas semuanya itu, adalah untuk kemanusiaan. Apa yang telah dilakukannya bahkan melampaui pencapaian orang kebanyakan yang ditakdirkan dengan anggota tubuh yang sempurna. ***
Penulis : Amanda
Foto-Foto : Ray Rarea & Dok pribadi