DI bawah sinar lampu yang berpendar dan musik religi Maher Zein yang mengalun merasuk kalbu, tersembunyi cerita gemilang tentang sosok yang dengan penuh dedikasi membawa sinar harapan bagi perempuan-perempuan di desa. Ia mengubah dan menyalakan bara semangat di setiap hati perempuan di sudut terjauh perkampungan. Meninggalkan pekerjaannya. Mengabaikan pendapatan dua digit yang digenggamnya saban bulan. Dan memilih menapak jalan curam. Mendatangi kaum perempuan di kampung kampung sunyi. Mengajak mereka membincang banyak hal.
Dia adalah Mardiyah, seorang profesional di sebuah BUMN terbesar tanah air, yang memilih meninggalkan zona nyamannya, demi mewujudkan obsesinya. Yakni, memberdayakan perempuan di di tanah kelahirannya. Kemudian melunasi harapan mendiang Ibu serta hasrat menjalankan ekonomi yang tak semata menumpuk keuntungan modal pada satu orang. Tapi ekonomi yang dirancang untuk tumbuh dan berkembang bersama.
Seusai dengan keilmuannya di industri keuangan, Mardiyah mengaku risau dengan fakta yang didapatinya. Tentang lemahnya pemahaman literasi keuangan di kalangan keluarga di Indonesia. Realitas yang terus menghantui hari-hari di kehidupannya yang nyaman saat menjabat sebagai Customer Relationship Manager, di sebuah lembaga keuangan terkemuka tanah air.
Dengan pengalaman menangani portofolio kekayaan nasabah Prioritas dengan total AUM (Asset Under Management) dikisaranRp5 hingga Rp15 miliar, Mardiyah mengaku aset-aset yang superjumbo itu tetap harus dikelola dengan managamen yang baik sehingga bisa mendatangkan maslahat pada kehidupan. Sesuatu yang jika tidak dijalankan dengan baik – akan menghadirkan horor bagi kehidupan keluarga di masa depan. Contohnya sudah banyak. Korbannya pun sudah terlihat. Sayang orang-orang tak menyadarinya. ‘’Makanya literasi keuangan bagi perempuan sangat penting,’’ ungkapnya mempertegas argumennya.
Mengapa harus perempuan, bukan pria atau para suami yang disasar? ‘’Iya saya merasa perempuan sebagai ‘’bendahara keluarga’’ harus yang pertama paham soal isu ini. Dia yang megang uang. Jika dia punya pengetahuan yang baik tentang keuangan rumah tangga, setidaknya pengeluaran akan tertata dengan baik,’’ ujar Itje sapaan akrabnya sambil memperlihatkan senyum terbaiknya. ‘’Bukankah problem rumah tangga dominan dipicu oleh persoalan keuangan,’’ ujarnya dengan mimik serius. Baginya, penataan keuangan yang baik akan membuat kehidupan masa depan sebuah keluarga makin terarah dan terencana. Sayangnya, persoalan ini tidak disadari atau bahkan tidak dipedulikan bahkan dianggap bukan sesuatu yang harus diketahui.
Dari pengalamannya berinteraksi dengan perempuan-perempuan di desa, mereka akhirnya bersyukur mendapat pengetahuan baru tentang managemen keuangan keluarga. ‘’Syukur saya dapat pengetahuan begini, terima kasih Bu,’’ ucap Itje menirukan testimoni para perempuan binaannya. Bagi perempuan di desa, ilmu mengelola keuangan keluarga bak cahaya yang tersembunyi. Ketidaktahuan mereka tentang literasi keuangan adalah sebuah misteri. Namun, di balik selubung itu tersimpan kekuatan yang tak terduga, menunggu untuk ditemukan dan menjelma menjadi kebijaksanaan yang kelak membebaskan masa depan keuangan rumah tangga mereka.
Itje melanjutkan, setidaknya ada lima hal elementer yang harus diketahui dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Jika mau menuju financial freedom, piramidanya mulai yang terbawah adalah emergency fund atau dana darurat, pengelolaan utang dengan kemampuan bayar 35 persen dari pendapatan. Lalu, asuransi kemudian investasi dan dana pensiun serta yang terakhir adalah warisan. Mengelola keuangan ini adalah basic skill yang sejatinya semua orang harus mengetahuinya. ‘’Seperti misalnya kita hidup di lautan maka berenang itu adalah sesuatu yang wajib. Sama juga dengan literasi keuangan wajib diketahui dan diterapkan,’’ katanya bertamsil. Soal keuangan keluarga erat kaitannya dengan financial stress lalu efeknya ke mental health. Misalnya setiap menjelang akhir bulan timbul rasa cemas karena berbagai kewajiban yang harus dibayar sementara uang tidak ada lagi di tangan.
Jika terjadi seperti itu, maka yang pertama adalah, harus memperbesar pendapatan utama. Atau jika pendapatan utama tidak didapatkan, maka berusaha mendapatkan pendapatan sampingan sehingga rasa cemas dipertengahan bulan bisa diatasi. ‘’Dan pengalaman saya sejak 2001 hingga 2021, keliling berbagai tempat dan hasil riset saya, rata-rata kena financial stress. Karena pengeluaran lebih besar dari pendapatan,’’ jelasnya.
Maka ia menyarankan, pertama yang harus diperbaiki dari masyarakat adalah mindset (cara berfikir) tentang bagaimana mengelola pendapatan. Ia bilang, jika seseorang gagal merencanakan keuangannya, sebenarnya orang itu sedang merancang kegagalannya. Komposisi ideal yang bisa digunakan untuk financial planning, polanya, 50 – 30 -20. Alokasi terbesar biaya hidup sebesar 50 persen, 30 untuk simpanan dan 20 kebutuhan ke kafe, nonton dan kosmetik. Dalam kebanyakan masyarakat, polanya dibalik. ‘’Ini jelas salah total,’’ katanya serius. Munculnya fenomena sandwich generation, salah satunya dipicu dari pengelolaan keuangan keluarga yang tidak tepat.
DISAMBUT ANTUSIAS
Pertama bertatap muka dengan para ibu di desa, Itje mengaku terharu. Sambutan ibu-ibu yang bergerak di sektor ultra mikro UKM sangat luarbiasa. ‘’Ooh ternyata ada ilmu begini ya Bu Itje,’’ begitu rata-rata pengakuan peserta pelatihan. Dari sana mereka paham cara menghitung harga pokok produksi (HPP) sesuatu yang selama ini tidak pernah mereka dengar. Kelompok usaha yang mendapatkan pelatihan beragam. Mulai dari kerajinan kulit kayu, pangan olahan berbasis sumber daya lokal hingga hasil laut. Saat ini kelompok perempuan yang sudah mendapat pelatihan adalah di Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso dan Banggai Laut. Sambutan antusias kelompok binaan itu menurut dia belum sejalan dengan sambutan pemerintah. ‘’Kita sudah bertatap muka dengan sejumlah pemda, tapi memang belum ada kesempatan untuk kerjasama,’’ katanya diplomatis. Saat ini mereka sedang kerjasama dengan Balai Perhutanan Sosial dan kehutanan Sulawesi (BPSKL) yang berkantor pusat di Gowa – Sulawesi Selatan. Disamping itu masih terus menjajaki kerjasama dengan para pihak.
MENJAGA LEGASI ALMARHUM IBU
Usaha yang sedang digalakkan kini tak terlepas dari mendiang sang Ibu Hannah. Ia ingin apa yang dirintisnya kini menjadi legasi sekaligus sebagai ladang amal jariah almarhumah. Terkait sosok mendiang ibunya, Itje bilang begini, ia punya kewajiban menjaga legasi ibunya. Itu adalah amanat sekaligus tanggungjawab spiritual yang tak berkesudahan. Dalam setiap langkah yang diambilnya, setiap doa yang terucap, dan setiap tindakan yang dilakukan, adalah buah dari kebijaksanaan dan cinta yang telah ditanamkan sejak ia anak-anak. Karenanya ia berusaha, setiap upaya yang dilakukannya setidaknya menjadi benih kebaikan yang akan terus tumbuh dan memberi manfaat kepada generasi nanti. Ia melanjutkan, dengan kemampuan dan sumber daya yang dimilikinya, terus bertekad meneruskan jejak langkah almarhum dengan menjadikan setiap momen sebagai peluang untuk mengukir nilai-nilai kebajikan yang akan menerangi jalan menuju keabadian.
TEROBSESI DENGAN EKONOMI ISLAM
Wawancara yang dilakukan usai buka puasa bersama dengan belasan jurnalis, di kompleks Hannah Homestay miliknya, Jumat 15 Maret 2024, berlangsung gayeng tapi serius. Ia menghabiskan waktu 41:36 menit untuk menjawab pertanyaan tentang ikhtiar melakukan literasi keuangan kepada warga di tingkat tapak. Di tengah sumber daya perempuan desa yang minim, upayanya itu bak mendaki jalan terjal, demi menyulam asa bagi perempuan di desa. Tapi bagi Itje itu bukan soal serius yang harus diratapi. ‘’Sedikit langkah konkret itu jauh lebih bermakna daripada segudang ide kreatif yang tidak dijalankan,’’ ucapnya dengan senyum yang merekah.
Dalam interview itu, Itje tampak terobsesi dengan ekonomi syariah. ‘’Iya itu ada ceritanya tersendiri,’’ sahutnya. Ketika dirinya dalam perjalanan kembali ke Palu banyak melakukan perenungan tentang dunia yang digelutinya kini. Dalam perenungan itu, ia berfikir, ternyata ekonomi islam sudah mengingatkan tentang bagaimana menyiapkan dana darurat lewat Surat Yusuf. ‘’Ini yang membuat saya berfikir ulang. Saya jauh jauh sekolah soal ekonomi konvensional. Keliling ke belasan negara di dunia, ternyata apa yang saya pelajari ada di dalam alquran,’’ katanya. Tragedi 28 September 2018, ia membuat janji pada dirinya sendiri, akan melakukan kerja-kerja yang tak hanya bermakna untuk dirinya tapi juga membawa maslahat pada orang banyak. ‘’Karena itu saya memilih jalan ini,’’ ucapnya.
Itje, perempuan dengan pengetahuan ekonomi konvensional yang mumpuni telah mengantarkan dirinya pada karir professional terbaiknya. Tapi ia masih terobsesi dengan ekonomi syariah yang baru diketahuinya belakangan. Baginya, ekonomi islam seperti pemandu yang mengarahkan manusia yang terjebak jauh dalam arus berliku kapitalisme. Bak bintang di malam gelap, ekonomi syariah menerangi labirin gelap menuju kesadaran finansial yang sejati. Kesuksesan finansal yang tidak hanya diukur oleh kekayaan materi, tetapi juga oleh keberkahan dan kedamaian batin dan tumbuh bersama.
Itje alias Mardiyah, kini bertranformasi menjadi sosok yang memperjuangkan pemahaman tentang literasi keuangan bagi perempuan desa. Kini ia sedang menyalakan harapan di tengah ketidaktahuan itu. Seperti matahari yang memancarkan kehangatan, keberadaannya membawa harapan bagi perempuan desa untuk menggapai kemandirian dan keberhasilan finansial. Kelak di tangan perempuan-perempuan desa itu, bukan hanya uang yang bertambah nilainya. Tetapi juga masa depan yang makin bermakna. ***
Penulis: Amanda
Foto: Amanda