PARA tokoh sepuh dalam kerentaan usia.
Dengan tingkat kearifan di atas rata-rata.
Dengan rasa yang tajam.
Dengan nurani yang bening.
Memilih berdiri bersama dalam satu barisan. Memperjuangkan apa yang mereka yakini – sebagai pilihan terbaik. Demi menyelamatkan setapak demi setapak tanah alam Danau Poso. Maka, dengan kerentaannya, para tokoh tua ini, mencoba mengencangkan kembali otot perlawanan terhadap perlakuan kepada alam, kepada manusia dan kepada tradisinya.
Sampai hari ini, narasi perlawanan itu terus membahana membelah langit Tentena. Mencoba terus menggugah hati bebal para tokoh untuk mengentas problem pelik yang membelit warga petani di sekitar Danau Poso.
Suara mereka makin tak terdengar. Bukan karena serak dan parau, setelah dua tahun terus berteriak. Suara yang tak dianggap itu, makin kalah nyaring oleh deru arus Sungai Poso yang saban hari menghasilkan arus deras hasil pengerukan puluhan alat berat.
‘’Kami terus mengingatkan mereka. Ada situs budaya yang hilang. Ada petani yang makin susah dan ada alam yang akan rusak. Kami terus mengatakan itu. Tapi diabaikan,’’ ucap Pendeta Yombu Wuri (66) dalam diskusi dengan wartawan Selasa, 13 September 2022 lalu.
Ia melanjutkan, kesolidan aliansi ini harus menemui ujiannya. Seiring berjalannya roda waktu ada beberapa anggotanya yang mulai pasif. Bahkan ada yang mulai terpengaruh. ‘’Biasa itu dalam siklus perjuangan. Menjaga suhu perlawanan dalam durasi yang panjang tidaklah gampang,’’ ujar tulis Yombu Wuri melalui watsshap Kamis, 16 September 2022 lalu.
Tergabung dalam Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP), para tokoh independen ini, membentuk aliansi untuk merespons perilaku korporasi yang mereka nilai ugal-ugalan. Korporasi dengan modal kuat serta back-up kekuasaan yang solid, menurut Kristian Bontinge (67) telah menerabas batas kepatutan. Menghilangkan kebudayaan serta memorakporandakan harapan dan masa depan orang banyak.
‘’Ada situs budaya yang punah. Ada wilayah dengan legenda rakyatnya lenyap. Tradisi waya yang dipaksa hilang. Hingga orang yang meninggalkan ladang pencahariannya,’’ ungkap Bontinge, pada diskusi dengan wartawan 13 September 2022 di Tentena.
Sebenarnya, lanjut Wuri, sumber kekuatan moral warga tak harus datang dari tokoh-tokoh kultural seperti mereka. Di luar mereka ada tokoh-tokoh non formal yang membawa gerbong umat di belakangnya. Tokoh-tokoh ini kata dia, amat efektif menjadi hub (penghubung) antara kepentingan umat dan korporasi bahkan pemerintah. Tapi peran mulia itu tidak dilakukan.
Di laman sosial media miliknya, tokoh yang pernah menjadi pengurus inti di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) – sebuah lembaga gereja paling berpengaruh di Poso, kerap mengritisi perilaku elit tokoh-tokoh umat yang abai terhadap kepentingan warga di tingkat akar rumput.
Menurut dia, berharap ada tokoh umat untuk membimbing akal sehat warga adalah harapan hampa. Bahkan tokoh-tokoh elit ini menjadikan dirinya sebagai komprador. Menyediakan diri mereka bak sekrup kecil sekadar menguatkan bangunan kokoh para pemodal. ‘’Itulah yang terjadi,’’ katanya pada sua pertama di Tentena, Kamis 22 Juli 2021.
Kristian Bontinge, tokoh tertua di antara mereka menukil hikayat sebuah kawasan yang saat ini secara perlahan dan pasti mulai hilang – kawasan Kompodongi. Bontinge tak tega jika Kompodongi di Kecamatan Tentena, kelak digunakan untuk tempat yang akan mengaburkan legenda kawasan itu. Dalam ceritanya, Kompodongi dulunya dikuasai oleh Napu.Warga Sawidago yang kelak menguasai kawasan ini masih berada di bagian pegunungan. Lalu orang Sawidago yang mengetahui ada tamu asing berada di kawasan itu datang dan merebutnya.
Sejak itulah terjadi perjanjian antara Napu dan Sawidago. Perjanjian itu berisi, mereka diperbolehkan jika kelak dikemudian hari datang untuk menangkap ikan di wilayah itu. ‘’Pesan penting dalam hikayat ini adalah perdamaian, rekonsiliasi dengan Kompodongi sebagai penandanya,’’ ulas Bontinge.
Iin Hokey (49) putri mendiang Yustinus Hokey, seorang maestro seni budaya Kabupaten Poso, dalam perbincangan dengan jurnalis di Tentena, menjelaskan, air Danau Poso yang tinggi rendahnya bisa disetel secara mekanis akan mengancam tradisi mosango. Tradisi menangkap ikan yang hanya bisa dilakukan saat air surut. Jika airnya sudah disetel mirip waduk, itu berarti sudah bukan sesuai mekanisme alam. ‘’Air tdak surut. Disetel pada ketinggian tertentu, maka mosango tidak bisa lagi dilakukan,’’ jelasnya.
Nasib yang sama juga akan menimpa perajin Waya Masapi yang saat ini jumlahnya menurun tajam. Dari sekitar 30-an, kini tertinggal 4 buah. Itupun kata dia mereka harus kuat-kuatan dengan alat berat milik PT Poso Energy. Padahal ungkap perempuan ramah ini, Waya Masapi atau pagar sogili memiliki filosopi yang agung. Misalnya, setiap satu ikatan pada bilah bambu harus ganjil. Pun begitu dalam kepemilikannya. Tidak dimiliki perseorangan tetapi berkelompok. Ganjil pula.
Makna bilangan ganjil pada wahana berbahan dasar bambu ini, adalah ejawantah dari eksistensi manusia yang tidak sempurna. ‘’Bilangan ganjil karena manusia itu tidak sempurna. Maka biarlah Tuhan yang menggenapkan,’’ begitu Iin menerangkan makna bilangan ganjil pada bangunan Waya Masapi.
Sedangkan kepemilikan berkelompok mengandung makna kebersamaan dan semangat berbagi. Setiap orang dalam kelompok itu, akan mengambil hasil tangkapan sogili saat giliran malam yang telah disepakati. Jika pada malam itu, nasibnya lagi apes tidak ada sogili yang masuk perangkap – maka dia harus menerimanya. Tidak ada yang keberatan. Semua menerima sesuai dengan yang disepakati.
Situs lain yang kini hilang adalah jembatan Yondo mPamona. Jembatan yang tak sekadar dimaknai tempat lalu lalang dari sisi satu ke sisi lainnya. Jembatan ini merekam denyut nadi warga Tentena dan Poso secara turun temurun. Hari ini, jembatan itu berubah bentuk. Dan berubah fungsi. Oleh warga setempat dinamai Jembatan Bukaka. Walau di sisi jembatan dalam tatakan mencolok, tertulis Yondo mPamona.
Dikutip dari situs Mosintuwu.com, jembatan Yondo mPamona dibangun pertamakali secara gotong royong pada era duapuluhan, untuk kebutuhan menyeberangi Sungai Poso. Semua orang datang membawa kayu dan bambu. Dengan bahan yang sederhana itu, warga membuat jembatan untuk pergerakan orang dan barang yang dimuat di gerobak.
Sepuluh tahun kemudian, bangunan jembatan diperbaharui. Sekaligus diberi atap. Pun masih dikerjakan secara gotong royong. Jadilah jembatan kayu beratap rumbia. Sehingga, jembatan itu bukan saja berfungsi sebagai sarana penyeberangan. Tetapi juga sebagai tempat berteduh jika hujan, tempat tidur jika kemalaman di perjalanan. Atau sebagai penanda, jika orang baru datang di Tentena akan minta dijemput di jembatan ikonik itu.
Yuser Bujalemba (63) Anggota APDP yang lain bilang, mengajarkan gotong royong pada anak-anak tidak perlu dijelaskan dengan teori. Cukup bawa mereka ke jembatan Tentena. Ceritakan bagaimana jembatan itu dibuat – maka anak-anak akan mengerti. Anak-anak katanya tidak hanya mengerti konsep gotong royong tapi juga mengerti sejarah. ‘’Sekarang pelajaran dari tempat-tempat bersejarah seperti itu tidak ada lagi,’’ ucapnya.
Syair lagu yang dinyanyikan saat peresmian jembatan Yondo mPamona pada 1983 menggambarkan kuatnya persatuan yang dilambangkan pada jembatan ikonik ini.
Sekecematan Pamona wujudkan semangat wajahnya
Sluruh rakyatnya sadari panggilan Ibu Pertiwi
Membangun Guna Negara menegakkan wilayahnya
Buktinya kini dinikmati oleh rakyat seluruhnya
Pu”umboto, Onda’e dan Tentena dulunya satu-satu sekarang jadi satu
Sebagai bukti Jembatan Puselemba membujur dengan Mega
Wujud persatuan klak dikenang angkatan Masa Depan
Jadi perhatian pupuk persatuan
Semogalah jembatan Puselemba bayangan kemakmuran kecamatan Pamona.
Seperti yang diungkapkan Yombu Wuri pada perbincangan dengan wartawan di Tentena, baru-baru ini. Mereka sedang dan akan terus melakukan apa yang mereka yakini benar. Sekuatnya. Sebisanya.
Legasi dan tindakan para tokoh sepuh ini, dalam mempertahankan dignity (harga diri), menjaga budaya dan menghindarkan kerusakan alam, setidaknya menjadi dalil kuat bagi eksistensi alam Bumi Poso di tengah kepungan para pemodal bebal. ***
Penulis : Amanda
Foto-foto : Ray Rarea