AWAL pandemi, kerabat kontributor wartawan nasional, di Group WA berkabar tentang kondisi terakhir perusahaan tempatnya bekerja. Gaji bulan Mei 2020 tidak bisa dibayar.
Wartawan diminta tidak mengirimkan berita secara kontinyu. Sampai covid 19 berlalu yang entah kapan. THR pun dikorting 50 persen.
Itu penerbitan besar skala nasional – segrup dengan salah satu koran besar pula. Kuat SDM nya. Kuat pula uangnya.
Dihajar musuh tak terlihat virus berukuran 400-500 mikrometer, akhirnya limbung juga. Fenomena yang nyaris dihadapi semua media. Entah online, televisi. Apalagi media cetak – salah satu platform media pemakan uang paling rakus.
Kesaksian praktisi media, di webinar, obrolan santai daring yang membahas nasib media di tengah pandemi, berhasil menguak fakta, realitas yang dihadapi ternyata nyaris sama. Media kini, hidup susah. Mati pun enggan.
Di awal pandemi saat mengharuskan kerja dari rumah (work from home), sejatinya warga mengalihkan perhatiannya pada meanstream media untuk memenuhi kebutuhan informasinya.
Dan ini terbukti. Di sejumlah obrolan daring terungkap, clickbait media online meningkat tajam. Fakta yang patut disyukuri. Lonjakan viewer adalah jualan yang penting kepada mitra. Rumus bisnisnya memang seperti itu.
Bagi media cetak, jumlah tiras adalah penting.
Bagi media online, clickbait adalah raja.
Bagi Televisi, rating adalah capaian yang bagus.
Lonjakan pengunjung media daring kurang diikuti penonton TV, yang lebih senang siaran streaming. Atau siaran di IG.
Media print. Heemmmh, tidak usah dibahas. Jauh sebelum covid, ia sudah memasuki senjakala. Walaupun di beberapa negara konon media cetak mulai bangun dari tidurnya. Bahkan makin kuat. (mudah-mudahan berimbas ke Indonesia).
Dalam bisnis media, logika bisnis ini mestinya berjalan.
Makin tinggi clickbait, makin mudah meraih kue iklan.
Makin tinggi rating makin deras pengiklan masuk.
Makin besar tiras, produk komersial makin mengalir. Dan memungkinkan karyawan mendapat gaji layak (bukan upah minimum)
Tapi apa yang terjadi?
Lonjakan clickbait
Lonjakan rating, atau
lonjakan tiras (kalau masih ada).
Tak diikuti oleh datangnya kolega mitra bisnis untuk mempromosikan produknya. Alih alih berpromosi, perusahaan perusahaan dengan valuasi besar, malah merumahkan karyawannya. Perusahaan-perusahaan memotong gaji buruh dan merevisi target bisnisnya.
Bagi koran di daerah, kue iklan pemerintah dengan beragam variannya, sebenarnya masih bisa menutup lubang arus kas (cash flow) perusahaan. Kini, buang jauh jauh harapan itu. Kebijakan refocusing anggaran untuk penangananan covid 19, membuyarkan harapan itu. Termasuk mungkin, anggaran untuk langganan koran TA 2020, jangan kangan sudah dialihkan untuk penanganan wabah.
Di pandemi ini, kita terpuruk berjamaah. Namun dalam kadar yang berbeda.
Ada harapan agar perusahaan pers dan asosiasi jurnalis meminta pemerintah memberikan insentif pajak bagi perusahaan pers. Belakangan, perusahaan pers memang mendapat hak istimewa ini. Di kalangan asosiasi jurnalis ide pemerintah ini memicu diskusi tajam.
Ada pro, ada pula yang tak setuju. Tapi jika akhirnya perusahaan pers mendapatkan privelege itu, apakah efektif? Di tengah orang-orang tak lagi melihat belanja koran sebagai sesuatu yang prioritas. Atau saat daya beli sedang di titik terendah.
Lalu, pada titik tertentu. Munculah pemikiran ini. Wartawan bisa menerima bansos. Dan itu halal. Sebagai warga negara pembayar pajak, bekerja di institusi bisnis yang taat membayar pajak, apa salahnya saat-saat terpuruk seperti ini, wartawan masuk dalam listing Dinas Sosial sebagai penerima BLT.
Ada yang kontra. Yang setuju pun banyak. Lalu muncullah jalan tengah. Tidak masalah wartawan menerima BLT, karena bencana nonalam ini harus dilihat dari persektif kebencanaan. Berarti ada langkah kedaruratan. Lalu, karena darurat wartawan pun bisa menerimanya.
Sebagai penyintas dan ”alumni” gempa 7,4 SR, kita tentu sudah merasakannya. Menerima dana jaminan hidup (jadup) saat infrastruktur redaksi kolaps selama beberapa waktu.
Tapi, jika seorang wartawan harus menerima BLT, maka posisinya bukan karena profesi wartawannya. Melainkan sebagai warga negara yang sedang kesusahan dan wajib mendapat intervensi negara.
Jika statusnya wartawan, maka tetap menjadi tanggungjawab perusahaan pers tempatnya bekerja. Wartawan tak berhak mendapatkan hak istimewa dari negara untuk mendapatkan fasilitas BLT. Di sisi lain, penggunaan profesi wartawan harus dihindari. Agar tidak ada oknum wartawan yang menggunakan atribusi ini untuk mendapatkan prioritas pelayanan dari otoritas setempat. Argumentasi yang berkembang di diskusi online AJI ini tampaknya masuk akal.
Kini, Memasuki bulan ketujuh – sejak covid ditetapkan sebagai ancaman global, sejumlah media masih tetap menyetel alarm kematiannya. Saat diskusi daring marak pada awal-awal covid terungkap, ada yang mengaku bertahan hanya sebulan kedepan. Ada bisa jalan hingga Juni. Namun ada juga yang dengan penghematan sana sini bisa menghela napas setidaknya hingga Desember tahun ini.
Setelah itu entah seperti apa. Sementara, virus ini masih terus menebar teror. Tak hanya menekan mental. Tapi juga merenggut nyawa secara acak.
Tapi prediksi mengerikan kematian media akibat covid, belum terlihat. Setidaknya di Sulawesi Tengah sampai Agustus belum ada laporan soal ini. Pekerja pers masih wara-wiri melakukan peliputan. Belum ada yang terdengar di PHK atau dirumahkan – sebagai dampak covid ini.
Media-media yang sudah ada tentunya tidak mau mati konyol oleh virus ini. Maka langkah adaptasi pun dilakukan. Yang dilakukan adalah migrasi dari platform konvensional berbasis print ke format PDF. Salah satu yang melakukan ini adalah Harian Palu Ekspres – media dibawah holding Fajar Group Makassar ini migrasi ke PDF sebagai kuda- kuda menuju ke e-paper.
Harian Radar Sulteng pun, terpantau membagikan format PDF. Apakah sinyal koran di bawah bendera Jawa Pos Group ini akan meninggalkan format print ke digital? Belum ada kejelasan soal ini.
Harian Mercusuar tetap dengan basis cetaknya. Namun versi e-paper pun sudah tersebar dimana-mana. Dan bisa dinikmati dengan gratis – walau kontennya dibuat tak lagi yang teraktual. Untuk mendapatkan informasi terbaru, pembaca masih harus membeli versi print. Sedangkan Koran MAL beberapa waktu sebelum Covid 19 menyapa dunia, koran ini telah berubah ke jalur full online. Harian Metro Sulawesi, tetap konsisten dengan basis cetaknya. Namun rajin pula mengupdate artikelnya di versi online.
PEMASUKAN FATAMORGANA
Covid 19 membuat perusahaan media yang berskala besar, menengah maupun media UMKM, kepayahan. Begitu pula di Sulawesi Tengah. AJI Palu maupun organisasi wartawan lain di Palu, belum mempunyai riset soal seberapa besar dampak virus ini memengaruhi pendapatan media. Namun yang pasti pengaruh itu tetap ada. Setidaknya, perubahan format dari cetak ke PDF/e-paper media mengonfirmasi pengaruh itu.
Penelusuran yang dilakukan pada beberapa jurnalis di Kota Palu membuktikan jika penurunan itu memang terasa. Tunjangan Hari Raya Idul Fitri yang menjadi hak jurnalis dan kewajiban perusahaan untuk membayarkannya, dibayar bervariasi. Mulai yang full sebulan gaji, ada yang dicicil ada yang dibayar hanya 50 persen atau 40 persen dari gaji. Malah ada yang sekadar tutup botol minuman saja tidak ada. Alias nihil. Salah satu, yang masih full memberikan gaji plus THR adalah Harian Metro Sulawesi.
Padahal, pos pengeluaran khususnya bagi media cetak, tak terbayangkan besarnya. Komponen pembiayaan yang besar, seperti kertas, listrik dan gaji pegawai adalah problem serius yang membuat bos-bos di perusahaan media berfikir keras. Ekosistem bisnis terganggu. Patner komersial yang secara rutin mengirimkan iklan pun merevisi belanja iklannya akibat iklim bisnisnya terganggu.
Pemasukan yang ditarget masih fatamorgana. Saat ini Indonesia sedang dalam bayang-bayang resesi. Ini akan memengaruhi bisnis media. Sebagai kekuatan demokrasi di urutan keempat, iklim yang tidak sehat ini adalah tantangan serius. Sejauh mana pers dan jurnalisme tetap kuat menyangga perjalanan demokrasi di negeri.
Di tengah iklim yang sedang susah ini, AJI Palu dalam sikap-sikap publiknya terus berusaha dan memastikan pers di Sulawesi Tengah tetap tegak lurus menjalankan fungsinya. Sambil meminta perusahaan pers memberikan perhatian lebih pada karyawannya. AJI menuntut wartawannya menjalankan tugasnya dengan integritas tinggi.
Menyetor berita maksimal walau dengan imbalan minimal memang berat. Tapi inilah jalan pedang yang telah kita pilih bersama. Jangan mundur.***
Penulis: Amanda