KELAHIRAN adalah kesempatan kehidupan pertama. Lolos dari maut adalah kesempatan hidup kedua. Walau dalam situasi yang berbeda, keduanya punya makna sama. Marlina (33) mengawali kesempatan hidup kedua, saat lolos dari maut di malam naas 14 Januari 2021. Saat gempa berkekuatan 6,2 skala richter memaksanya menyelamatkan diri – dengan kondisi hamil besar.
Beberapa jam usai peristiwa horor di subuh hari itu, putra keempatnya lahir mengawali kehidupannya di dunia. Tangis kebahagian ibu dan anak pun pecah – sebuah repleksi yang manusiawi mengawali kehidupannya masing-masing di dunia.
Marlina tak kuasa menahan haru tatkala memastikan putra keempatnya lahir dengan selamat – dalam situasi kritis ketika beberpa jam sebelumya berusaha menyelamatkan diri saat bumi dalam goncangan hebat. Nyaris bersamaan, tangis sang bayi pecah menandai awal kehidupannya dalam suasana yang tidak ideal. Ia lahir di tempat asing di teras rumah milik orang lain. Di rumah yang kedua orang tuanya tak mengenal pemilik rumah dengan baik.
Seperti hari hari biasa, suasana kawasan Tambi pada Jumat 14 Januari itu berlangsung landai. Tidak ada tanda-tanda yang dikirimkan oleh alam – bakal terjadi sebuah peristiwa besar yang mengguncang seisi bumi Mamuju. Beberapa jam sebelum guncangan hebat, langit di atas Pantai Tambi cerah. Burung pantai bertengger di bebatuan mengantar mentari yang sebentar lagi hilang di balik bebukitan. Marlina menuturkan, sama sekali tidak ada firasat dalam dirinya akan ada peristiwa besar – tentang alam yang sedang menata dirinya dengan caranya sendiri.
Peristiwa yang bahkan di jaman sains moderen kewalahan mendeteksi secara tepat terjadinya peristiwa mengerikan ini. Malam itu, ungkap Marlina dijalaninya dengan rutinitas yang sama – sebagaimana hari-hari yang dihabiskannya dalam 16 tahun perjalanan biduk rumah tangga mereka.
Satu-satunya bayangan dalam benaknya adalah soal kepastian – kelahiran anak keempatnya. Dalam beberapa jam kedepan atau paling dalam waktu yang sudah sangat dekat, anak bungsunya segera lahir. Dalam hitungannya, pertengahan Januari adalah usia tua bagi kehamilannya. Sore pukul 16.00 wita, perutnya terasa mulai sakit.
Ia menyadari hari bahagia yang dinanti sembilan bulan lalu, segera tiba dalam waktu yang sudah sangat dekat. Sakit yang mendera dihadapinya dengan sabar. Sesekali ia menghubungi bidan berkonsultasi tentang kondisinya. ”Kebetulan bidannya sedang tidak sehat. Konsultasinya kebanyakan lewat handphone,” katanya. Menjelang malam, gerakan jabang bayi di dalam perut makin terasa, seolah mendesak ingin segera hadir ke dunia secepatnya.
Berbekal konsultasi dengan bidan, malam itu dilalui Marlina dengan tenang. Kediaman pasangan muda di Tombi, Kecamatan Momunyu, Mamuju ini, di sempadan pantai. Pecahan ombak terdengar jelas dari bilik kamar pasangan ini. Malam yang merayap perlahan mengantarkan Marlina, suami dan ketiga anaknya terlelap. Namun sesekali ia terjaga, merasakan desakan kecil dinding perut. ”Mungkin waktunya akan sebentar lagi,” katanya dalam hati.
Memasuki separuh malam, ia pun terlelap. Sakit perut diabaikannya. Jarum jam terus bergulir jauh mengiringi tidur anggota keluarga kecil ini. Marlina mengaku, saat sedang terlelap itu tiba-tiba bumi bergemuruh. Ia yang belum lama tertidur merasakan guncangan hebat. Suami dan anak-anaknya sontak bangun. Rumah kontrakan yang didiaminya tergoncang.
Perabotan rumah berjatuhan. Menyadari ancaman serius, Marlina yang tidak sadar sedang hamil menarik lengan anak bungsunya berlari keluar rumah. Ia berbagi dengan suaminya menyelamatkan anaknya. Dua anaknya diserahkannya dengan suami. Sedangkan bungsu berusia tiga tahun tetap bersamanya.
Mereka berlari sekencangnya keluar rumah. Beruntung, ia mendapat tumpangan mobil tetangga menyelamatkan diri di tempat yang dianggap aman. Akhirnya mereka tiba di tempat ketinggian di Jalan Juanda. Oleh warga setempat kawasan ini disebut Jalur Dua, merujuk kontur jalan menanjak ini terdiri dari dua ruas jalan.
Saat di ketinggian itulah, Marisa menyadari dirinya sedang hamil. Gerakan jabang bayi di dalam perut mengingatkannya, kondisinya yang sedang hamil tua. Merasa tak aman di tempat terbuka, Marlina dan suaminya kemudian memilih bernaung sementara di salah satu rumah berkelir putih cokelat dengan teras yang agak lapang.
Perasaan was-was terus menghantuinya. Ia takut jika terjadi gempa susulan lalu orang-orang berlari meninggalkan dirinya sendirian di rumah orang. Ia bersyukur kekhawatirannya itu tidak terbukti. Orang orang terdekatnya, ayah ibu, saudara dan suami serta tiga anaknya tetap didekatnya.
Di kelilingi orang-orang terdekat yang dipercayainya, membuat moralnya kembali kuat. Pun, seandainya harus melahirkan saat itu juga, Marlina merasa sudah siap. Apa lagi bidan tempatnya berkonsultasi sudah berada di sampingnya. ”Padahal Ibu bidannya sedang tidak sehat,” katanya.
Seharian penuh di pengungsian, Marlina terus didera sakit yang tak pernah berhenti. Di hadapan suami, anak dan keluarganya dan bidan yang tak sempat membawa peralatan medis, Marlina mengaku sudah siap lahir batin melahirkan. Jumat, pukul 22.00 wita, Marlina melahirkan anaknya yang keempat di teras rumah dengan lancar. Selesai proses melahirkan, urusan berikutnya adalah dengan tuan rumah.
Menurutnya, sejak semalam tuan rumah belum menyadari kehadiran ia dan keluarga di beranda rumahnya. Saat keluar dari rumah, barulah tuan rumah mengetahui ada belasan orang memenuhi terasnya. Bahkan di situ meringkuk seorang bayi yang masih merah-baru saja lahir beberapa jam lalu.
Menurut Marlina, ekspresi pemilik rumah saat menyadari kehadiran tamu tak diundang tampak biasa saja. Tidak ada kemarahan atau sekadar menunjukan ekspresi tidak senang. ”Pemilik rumah ngobrol dan bincang dengan kami di sini. Masuk kedalam lalu keluar lagi menyapa kami di sini,” ulasnya.
Seusai melahirkan istri dari Murgan (37) ini masih enggan kembali ke rumahnya di Tambi. Kekhawatiran munculnya gempa susulan yang diikuti oleh gelombang tsunami memaksanya memilih bertahan di pengungsian. ”Beruntung tuan rumah tidak marah, di sini dulu,” katanya lagi. Honorer di Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Barat ini, berharap anak laki-laki yang belum sempat diberi nama itu tetap sehat.
Sekalipun situasinya darurat, Marlina mengaku berusaha memenuhi hak bayi untuk mendapatkan ASI. Masalah sekarang adalah asupan gizi untuk ibu menyusui yang sulit dipenuhi pada saat toko makanan belum ada yang buka. Harapan satu-satunya adalah ketulusan hati dermawan yang sekarang sudah masuk di Kota Mamuju dan sekitarnya. Beruntung, perlengkapan bayi sudah disiapkan jauh-jauh hari.
Bahkan, ia dan suami buta dengan bobot anak laki-lakinya karena tidak ada timbang badan. Namun bagi Murgan, itu bukan soal. Lahir dengan kondisi anak dan ibu sehat adalah kesyukuran yang luar biasa dengan situasi darurat seperti saat ini.
Di tengah duka akibat gempa dan pandemi covid-19 yang selesai entah kapan, keluarga besar Marlina – Murgan, terlihat guyub. Mereka meriung di teras rumah. Menikmati kudapan ringan, membiarkan perasaan mereka diliputi kegembiraan akan hadirnya anggota keluarga baru.
Selamat datang Nak, warnai hari-hari indahmu. Abaikan situasi kalut yang menyambutmu pada malam kelam Jumat dinihari itu. Songsong hari esok indahmu dalam kebahagiaan bunda dan ayah.
Penulis : Amanda
Foto-foto : Amanda