MEMASUKI hari kedua, Tim Ekspedisi Geopark Poso kembali melanjutkan perjalanan mendatangi beberapa warisan geologi dan situs arkeologi di seputar Kota Tentena, Selasa 5 November 2024. Dari Dodoha, Institut Mosintuwu, anggota tim berarak menuju Kelurahan Petirodongi Kecamatan Pamona Utara. Matahari pukul 11.00 menghunjam dengan garang, menyengat kulit ari yang sudah dibalur dengan krim pelindung. Tiga mobil dan dua kendaraan roda dua yang ditumpangi Tim Ekspedisi Geopark Poso, meraung di atas aspal panas yang sekilas tampak seperti berair akibat pembiasan cahaya.
Ketidakselarasan Petirodongi adalah frasa yang disematkan oleh Badan Geologi untuk menyebut pertemuan dua batuan dengan corak yang tampak kontras tersebut. Ketidakselarasan disebut juga dengan unconformity yang berarti jeda waktu dalam rekaman batuan yang berkesinambungan. Sejatinya, singkapan ini sudah terlihat sejak 2012 silam. Ketika Pemerintah Kabupaten Poso membangun jalan yang menjadi pintu keluar masuk Kota Tentena menjadi dua arah. Sejak saat itu, singkapan dapat dilihat dengan benderang. Sayang, tak satu pun yang mampu menyingkap rahasia di balik sambungan komposisi batuan formasi Puna dan formasi Lage tersebut.
Hajai Ancura, Tokoh Adat dari Kelurahan Sawidago, pada diskusi di Balai Desa Pamona, Selasa 5 November 2024, mengakui, ia sendiri dengan usianya kini, tak menduga bahwa tebing yang terletak tak jauh dari Sungai Poso itu, menyimpan rahasia yang mencengangkan. Perbedaan warna batuan purba itu, menurut dia, tidak cukup memancing perhatiannya, atau sekadar menanyakan kenapa perbedaan kontras itu bisa terjadi. Padahal, batuan yang berumur sekitar 2 juta tahun itu, mengirim pesan yang kuat tentang kehidupan yang terbentuk saat ini, berhubungkait dengan peristiwa berjuta tahun silam.
Geolog dari Nanyang Technological University Singapura, Dr Abang Mansyursah Surya Nugraha menyebut, tak semua orang mengetahui batuan padahal ia adalah arsip kuno yang mengirim pesan penting pada manusia. Ia menyebut, bebatuan itu menyimpan kisah purba ia adalah lorong waktu yang membentang panjang melalui kisah yang tersembunyi di tiap lapisan sedimen. Bebatuan sebagai arsip purba menceritakan legenda bumi bahkan membentuk rupanya sendiri seperti yang terlihat tebing di tepi jalan Kelurahan Petirodongi tersebut.
Corak kecokelatan di bagian bawah dan motif dominan hitam menyerupai tekstur aspal di bagian atasnya, tak sekadar rupa bumi yang terhampar begitu saja. Abang menyebut, pertemuan dua corak yang berbeda itu, merupakan hasil pengangkatan yang dipicu oleh megathrust yang terjadi pada sekitar 2 juta tahun lalu. Hasil pengangkatan tektonik itu akhirnya membentuk daratan yang saat ini menjadi tempat tinggal bagi kurang lebih 251.654 jiwa warga Bumi Sintuwu Maroso. Saat menyimak penjelasan geolog muda itu, segenap jiwa terasa seperti terlempar ke masa lampau. Masa yang tidak seorang pun bisa membayangkan seperti apa rupa bumi dan bentang alam pada 2 juta tahun lalu. Membayangkan bahwa Danau Poso yang saat ini menjadi tempat bergantung hidup ribuan manusia, ternyata adalah samudera biru. Para geolog berhasil menyingkap tabir rahasia yang berjuta tahun tersimpan rapat.
Maka benarlah yang dikemukakan oleh geolog asal Universitas Tadulako, Riska Puspita bahwa batuan beku, metamorf dan sedimen, adalah puisi alam yang tak pernah usai. bebatuan mengisahkan banyak hal. Mulai letusan gunung api, dan lautan purba yang surut, meninggalkan jejak dengan jejak fosil yang membatu. Menyimak dan melihat fakta-fakta purba yang disampaikan para geolog, seperti batu-batuan yang teronggok kaku, tanah yang mengapur hingga cangkang keong di ketinggian, rasanya waktu tak lagi berjalan, tapi ikut berhenti bahkan membeku. Bebatuan itu seperti sengaja menguar dari dalam perut bumi dan mengajak mahluk hidup untuk mengulik dan mempelajari dirinya. Bahwa dari tekanan dan panas terbentuklah wilayah, dimana akhirnya kehidupan menemukan rumahnya.
Tiga puluh menit berada di sana, Tim Ekspedisi tak kunjung bergerak pindah. Masing-masing mereka mengespresikan kekagumannya tentang bagaimana semesta mengatur dan membentuk dirinya. Neni Muhidin adalah pencatat norma, nilai, bahasa, ritual, dan praktik-praktik sosial dalam ekspedisi kali ini, langsung membuat vlog. Penampilannya bak geolog kawakan menjelaskan tentang usia batuan dan bagaimana Bumi Poso terbentuk dari pertemuan batuan yang tidak selaras itu. Maskuri Sutomo, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako, tak berhenti memberondong sesiapa pun demi mengulik cerita tentang batuan langka tersebut. Anugerah Stefandi, Asisten Geologi, dengan rompi bertuliskan Mahasiswa Geologi Untad, terus mengarahkan palu geologi andalannya, untuk mendapatkan serpihan batu dan memasukannya dalam kertas sebagai sampel.
Menyaksikan, meraba, menginderai dan mendengar penjelasan para pakar geologi, maka sebenarnya bebatuan purba adalah jendela untuk melihat masa lampau. Setiap retakan dan lapisan batuan di Petirodongi, ternyata mengukir kisah menakjubkan yang terjadi pada jutaan tahun lampau. Mengamati lipatan batunya melalui lensa lup geologi – sebuah alat untuk melihat komposisi batuan dan mineral, di sana terlihat jejak lorong waktu yang membawa kita menyusuri era yang hilang. Dari lup geologi, batuan itu menceritakan dongeng tentang gunung yang meletus, lautan yang mengering, daratan yang terangkat dan makhluk-mahluk purba yang pernah hidup. Dari lup geologi, bebatuan itu seolah mengajak berbicara menghubungkan masa kini dengan jejak awal semesta.
MELODI BUKIT KERUCUT DI HAMPARAN SAWAH
Bukit kerucut (conical hills) salah satu yang diusulkan menjadi warisan geologi. Terletak di Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba. Di tengah hamparan alam yang megah, Bukit Kerucut berdiri di dua sisi diantarai oleh hamparan sawah. Sebagai warisan geologi, bukit bukit itu tidak hanya menyimpan jejak masa lalu, tetapi juga peluang masa depan, untuk dikembangkan menjadi sumber inspirasi, edukasi dan harmoni antara manusia dan bumi. Maskuri Sutomo, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako menjelaskan, wilayah Bukit Kerucut sangat ideal dikembangkan menjadi salah satu sentra ekonomi warga.
Keberadaan dua bukit dengan kekuatan ceritanya serta hamparan sawah hijau menurut Sutomo memberi nilai tambah untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata. Salah satu kekuatan kawasan Bukit Kerucut adalah tempatnya yang dekat dengan pusat kota, spot untuk mengembangkan UMKM untuk kepentingan pelancong cukup tersedia. ‘’Yang pertama Conical hills harus dibuatkan dulu papan informasi, supaya orang paham apa yang terdapat di sana. Dengan demikian pengunjung punya pesan dan kesan yang kuat terhadap objek yang ditawarkan,’’ ungkap Tommy sapaan akrabnya, sambil menunjuk bukit kecil di kejauhan. Konsep agro wisata dan wisata minat khusus menurut dia sangat cocok untuk karakter alam seperti di Bukit Kerucut tersebut. Pernyataan dosen muda Fakultas Ekonomi Untad itu ada benarnya. Ketika berdiri di pematang sawah yang hijau, kepala mendongak menatap langit yang bebas polusi. Di kiri kanannya conical hills berdiri anggun, menjadi monumen alami yang bertutur di kesunyian. Vegetasi yang rapat menyelimuti puncaknya yang tampak mengerucut dikikis oleh erosi waktu.
Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Bahrul Idrus/Institut Mosintuwu