”JIKA sedang melakukan perjalanan dari Tentena menuju Palu, Tokorondo adalah wilayah yang tak masuk dalam daftar untuk disinggahi. Sekalipun sekadar membeli air minum,”
Pernyataan ini datang dari Riany Sopacua, Pendeta Jemaat Eklesia Tentena, saat menyampaikan pengalamannya, bermalam di rumah tokoh muslim di Desa Tokorondo, Poso Pesisir, Jumat 25 Februari 2023. Pendeta Riany tidak sendiri. Beberapa tokoh Kristen yang ditemui opininya yang kurang lebih sama. Kekhawatiran mereka tentang desa yang hanya berjarak beberapa kilo dari Gunung Biru – epicentrum operasi Pasukan Madago Raya, tersusun rapi dalam tulisan tangan yang disimpan di kotak Pandora.
Tokorondo yang dicap sebagai basis sekelompok orang dengan ideologi kekerasan memang membuat banyak orang khususnya warga Kristiani bergidik. Pendeta Liany dan 7 rekannya mendapat undangan dari Mosintuwu Institut untuk bermalam disejumlah rumah tokoh muslim di Desa Tokorondo, dalam hajatan bertajuk Belajar Hidup Bersama, Tokoh Agama Lintas Iman, 25 – 26 Agustus 2023.
Sejatinya yang diundang dan menyatakan kehadirannya berjumlah 15 orang. Namun yang benar-benar hadir hanya 8 orang. Menurut Martina Labatu (61) tokoh agama Kristen di Tendeadongi – Tentena, mereka yang tidak hadir karena harus melakukan pelayanan ke anggota jemaat. Namun testimoni pengalaman para tokoh yang berlangsung tiga jam lebih di balai pertemuan di samping masjid Tokoronda tetap terasa berbobot. Mereka secara bergantian menceritakan pengalaman masing-masing berinteraksi secara intens dengan tuan rumah. Pengakuan Pendeta Yombu Wuri yang menghabiskan malam panjang di beranda masjid terapung bersama Ustad Syamsudin, termasuk cerita yang menarik disimak. Sebelum memulai testimoninya, pendeta yang pernah mengabdi di Jemaat Imanuel di Jalan Masjid Raya Palu pada tahun 1989 itu, mengaku was-was saat hendak menuju kediaman sang ustad yang berada di kawasan pantai. Perasaan yang tetap bersemayam selama ini, jika menyebut tentang Desa Tokorondo.
DIAJAK MELAUT MALAM HARI
Dari kejauhan Pendeta Wuri sudah melihat rumah yang hendak dituju. Langkah kakinya terasa berat. Ujung matanya mencuri pandang, berusaha mengidentikasi setiap objek di sekitarnya. Sesaat kemudian ia sudah menginjakan kaki di halaman. Tepat pukul 06.00 sore, ia masuk di rumah dan disambut pria tua, yang belakangan diketahuinya sebagai mertua Syamsudin. Sejam sejak kedatangannya masih tak banyak yang bisa dikulik selain mengamati komposisi interior rumah dan mengamati layar telepon pintar. ”Mertua Pak Syamsudin pamit ke masjid karena menjelang salat magrib,” ucap Pendeta Wuri mencoba mengingat peristiwa semalam. Beberapa waktu kemudian Ustad Syamsudin datang dari mesjid. Setelah menuntaskan makan malam dengan sajian protein ikan segar, keduanya pun terlibat obrolan intens. ”Mungkin karena kami berdua orang tua, maka tema pembicaraan pun seputar dunia orang tua,” katanya terbahak.
Cerita seputar latarbelakang keluarga menjadi obrolan lepas usai makan malam. Makin malam tema pembicaraan makin intens dengan rupa-rupa tema. Ustad Syamsudin mengenang ayahnya sebagai seorang pelaut ulung. Usai tema keluarga, Ustad Syamsudin mengajak melaut. ”Ini betul mau melaut malam hari?,” Pendeta Wuri membatin. Ia pun mengiyakan ajakan yang tak disangka itu. Menunggu hingga setengah jam, hujan tak jua reda. Rencana melaut batal. Kemudian diganti dengan memancing sambil duduk nangkring di teras masjid yang menghadap laut lepas Teluk Tomini. Di gelap malam, sambil memperhatikan kawannya yang sibuk mengayun dua joran (tongkat pancing), ia memandang langit yang tertutup awan sisa hujan. Dalam hatinya bilang, suasana yang dirasakannya malam ini sama saja seperti hari-hari yang dialaminya di Tentena. ”Saya merasa tidak ada lagi ketakutan. Tak ada rasa was-was. Melihat Pak Ustad yang hangat, tutur katanya yang terukur dengan intonasi yang terjaga, saya bilang, Tokorondo ini sama seperti kampung lain. Adem, nyaman dan indah,” katanya mencoba menggugurkan premis yang dibangun sebelumnya. Aktivitas memancing berlangsung hingga pukul 24.00. ”Mungkin so boleh kita istrahat Pak Ustad,” begitu Pendeta Wuri mengajak kawan barunya itu sekaligus permintaan halus untuk menyudahi kegiatan memancing. Pagi harinya saat pamit pulang, diakhiri foto bersama.
Pengakuan lainnya datang dari Pendeta Riany Sopacua. Keberangkatannya menuju Tokorondo diakuinya banyak drama. Ia pamit pada suami dan anggota keluarganya untuk menginap di rumah tokoh muslim di sana. Suami, anak dan keluarga besarnya tidak sepenuhnya mengizinkan. Mereka khawatir dengan labeling yang melekat kuat pada desa itu, Namun ia meyakinkan tidak terjadi apa-apa di sana. ”Dalam hati saya juga deg-degan,” katanya. Gembala Jemaat di Gereja GKST Eklesia, Sangele itu menginap di rumah kediaman Ibu Rosna Parandenga Plt Kepala Sekolah Dasar di Tokorondo. Sebagai tokoh pendidik Rosna Parandenga menjadi role model (panutan) di desanya. ”Saya cepat masuknya. Dia tokoh pendidik kurang lebih sama dengan pendeta sebagai penyeru umat. Beliau juga perempuan. Jadi cepat nyambungnya,” katanya. Banyak hal tentang fluktuasi kehidupan yang dibahas bersama tuan rumah. Ia juga menanyakan tentang bahan ajar di sekolah. Dari diskusi itu ia mendapat jaminan dari Ibu Rosna, tak ada doktrin kekerasan yang diajarkan kepada siswanya. Kerinduan akan kehadiran anak di tengah keluarga menjadi tema lain yang dibahas kedua ibu ini. Maka saat diminta membawakan doa makan, Pendeta Riany menyelipkan harapan agar keluarga ini dianugerahi anak dalam bait doanya. Obrolan yang intens itu diakhiri dengan diskusi politik lokal.
Intelektual dari Sekolah Tinggi Teologia Tentena, I Gede Supradnyana juga kebagian testimoni. Ia menginap di rumah Imam Masjid Tokoronda, Ustad Wasdin. Walau ada kekhawatiran yang menggelayut dalam pikirannya namun desakan kebutuhan bertemu orang-orang baru, membuat kekhawatirannya menjadi tidak penting lagi. Pembicaraan berlangsung cair. Pasalnya, Ustad Wasdin pada pertemuan awal sudah menyinggung tentang stigma yang melekat pada Islam – Kristen pascakonflik di Poso. Jika orang Kristen menganggap Tokorondo sebagai tempat yang diwaspadai, hal yang sama juga terjadi pada kelompok Islam. Daerah seperti Sepe, Silanca dan Tentena adalah tempat yang harus dijauhi. ”Jadi kedua kelompok ada semacam ketakutan untuk wilayah-wilayah tertentu,” kata Gede Supradnyana, menirukan isi pembicaraannya . Di rumah Ustad Wasdin, dosen muda itu mengaku mendapatkan suasana yang nyaman. Saat suaminya menunaikan salat magrib, istrinya yang dipanggil Umi menemaninya berbincang tentang pendidikan. Semua anaknya mengambil pendidikan keagamaan di UIN Palu. Umi juga sering ke Tentena mengunjungi kerabatnya di sana. Usai bicara panjang lebar, ia beranjak tidur di atas kasur dengan seprei bergambar karakter winnie the pooh. ”Seprei itu mengingatkan masa kecil saya di kampung yang pake seprei sama,” ucapnya tersenyum.
DISKUSI LINTAS IMAN MELAHIRKAN SALING SIKAP SALING PERCAYA
Diskusi tak hanya di kediaman sang Ustad . I Gede Supradnyana menggelar diskusi serius dengan tokoh-tokoh masyarakat di Lapangan Tokorondo. Simpulan dari pembicaraan itu, bahwa penangangan konflik yang dilakukan pemerintah masih artifisial. Maka pertemuan dan diskusi seperti seatap semalam bersama tokoh lintas iman menjadi penting dan perlu. ”Kami sepakat dua belah pihak harus menyiapkan jalan agar umat di dua sisi bisa saling memahami dan saling percaya dalam perbedaan,” ujar dia. Bahkan pada diskusi itu, mereka terlibat membahas soal wadah makanan yang diakui oleh beberapa tokoh muslim masih terasa mengganjal. Menanggapi rasa janggal itu, menurut dosen muda ini memang membutuhkan sikap bijak. Misalnya, jika Saudara-saudara muslim memilih tidak menyantap makanan karena menganggap ada wadah yang ”bermasalah” – posisi itu pun harus dihormati. ”Saya sebagai kristen yang tidak berpantang pada makanan, tidak boleh mengganggap sikap seperti itu sebagai tindakan tidak menghargai. Memang untuk sampai kesitu butuh dialog yang intens,” katanya bijak.
Di forum testimoni itu, semua pembicara merasa yakin bahwa Desa Tokorondo tidak sesangar stigma yang dilekatkan selama ini. Kesemuanya mengaku mendapatkan kesan yang mendalam tentang kebaikan, kehangatan dan ketulusan tuan rumah tempat mereka menginap. Kesan itu sekaligus mematahkan anggapan yang ditulis sehari sebelumnya yang dititipkan dalam kotak pandora. Tulisan itu berisi tentang anggapan mereka tentang desa itu. Saat testimoni semuanya diminta mengambil tulisan yang dimasukan sebelumnya. Hasilnya, para tokoh itu harus menghapus anggapan mereka tentang desa yang mempunyai akses langsung ke kawasan Gunung Biru itu.
Di akhir diskusi, Lian Gogali yang memoderasi sesi testimonial, melempar pertanyaan kontemplatif bagi para tokoh agama Kristen itu. ”Setelah terlibat interaksi yang dalam, maka apa nilai-nilai yang sama antara umat Islam dan Kristen yang bisa menjadi narasi bersama,” begitu Lian menantang para tokoh umat itu. Disusul pertanyaan kedua. Pertanyaan yang kelak akan terus menggantung di pikiran para tokoh ini. ”Bapak-bapak dan Ibu-ibu, setelah pengalaman semalam lalu berikutnya bagaimana cara Anda mengkhotbahkan umat muslim (bukan Islamnya) entah itu di altar gereja maupun di kesempatan lain kepada umat Anda,” ucap Koordinator Jaringan Gusdurian wilayah Poso ini. Saya tercenung mendengar pertanyaan ini. Seketika ruangan hening. Tak ada yang bersuara. Sesaat kemudian Pendeta Riany menyambar pertanyaan Lian itu. ”Setidaknya kepada umat, kita bisa menyampaikan apa yang dirasakan dalam perjumpaan semalam. Tentang kehangatan, keramahan warga di sini. Itu cukup memberi gambaran kepada umat tentang situasi Desa Tokoronda dan orangnya-orangnya,” begitu ucap Pendeta Liany.
Belajar hidup bersama tokoh agama lintas iman, adalah ikhtiar yang harus dilakukan ketika kemajemukan yang menjadi keniscayaan justru masih bermasalah. Menurut Ketua Institut Monsituwu Lian Gogali, dibutuhkan ruang pertemuan yang memungkinkan kecurigaan terurai dan ketakutan dilepaskan. Rasa saling percaya perlu dibangun. Hubungan baik harus direkatkan. Residu konflik harus di kubur dalam-dalam. Inilah yang memungkinkan kehidupan bertoleransi dapat terjalin. Dan pengalaman seatap semalam di Desa Tokorondo adalah cikal bakalnya. ***
Penulis : Amanda
Foto-foto : Amanda, Ray Rarea
artikel terkait, jelajah budaya rumah kita, titik nilai: saling percaya
One reply on “Kesaksian Para Pendeta, Seatap Semalam dengan Tokoh Islam di Tokorondo”
[…] Redaksi : Tulisan merupakan re-publikasi dari roemahkata.com dengan judul Kesaksian Para Pendeta, Seatap Semalam dengan Tokoh Islam di Tokorondo. Beberapa […]