JAUH sebelum organisasi kesehatan dunia WHO, merekomendasikan protokol jaga jarak. Jurnalis jauh jauh hari diwajibkan untuk menjaga jarak kepada narasumber. Siapa pun dia. Setinggi apa pun jabatannya. Sementereng apa pun posisi sosialnya. Menjaga jarak adalah wajib.
Dalam konteks jurnalistik, menjaga jarak dengan narasumber bukan semata karena ada pandemi global covid-19 seperti anjuran badan kesehatan dunia itu. Menjaga jaga jarak adalah salah satu elemen penting yang harus dijaga. Dalam banyak kasus, kedekatan yang berlebihan dengan narasumber, membuat laporan jurnalistik menjadi bias. Sulit untuk menjaga independesinya karena kedekatan-kedekatan itu.
MEDIA CORONG
Terminologi media corong bukan istilah baru. Konotasinya juga negatif. Sebutan ini lebih banyak disematkan pada media partisan yang pemilik dan wartawannya secara sadar menjadikan medianya sebagai corong kepentingan tertentu. Media corong yang biasa muncul untuk merespons kontestasi pilkada, pilpres atau pemilihan legislatif. Atau dalam pengalaman di pilkada lokal, media-media ini awalnya oleh pendirinya didedikasikan untuk melayani kepentingan publik. Namun gurihnya kue politik, membuat pemilik media tergiur. Dan membelokkan tujuan mulianya dari melayani publik menjadi penghamba kepentingan politik.
Miftah Farid, Ketua AJI Surabaya menyebut, satu hal yang ditakutkan pada jurnalisme penghamba kepentingan politik dan bisnis, adalah menguatkan kepentingan yang saling melindungi antara pemilik/jurnalis dan kekuatan kekuasaan. Hubungan saling menguatkan ini tentu saja menakutkan. Inilah orkestra indah yang akan mempercepat jurnalisme menuju liang kematiannya. Mereka lupa, media massa bekerja untuk publik, bukan pada pemilik.
Dewan Pers pernah memaparkan hasil penelitian tiga lembaga independen terkait pemberitaan media, 14 hari sebelum pencoblosan 2014. Ketiga lembaga ini adalah Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), Remotivi, dan Masyarakat Peduli Media (MPM). Penelitian ini memunculkan banyak informasi tentang kode etik yang paling mendasar dalam praktik jurnalisme. Pemilik media oligarki, berkelindan dengan kepentingan politik mereka.
Di posisi seperti ini, jurnalis dan media hanya sebatas alat bagi para pejabat itu untuk menyampaikan sesuatu. Pejabat akan menyampaikan hal-hal yang menurutnya positif. Paling tidak hal-hal normatif. Asal tidak negatif dan berimplikasi buruk pada citra si pejabat. Kita banyak sekali melihat berita demikian di semua platform media. Porsi publik berbicara sangat minimalis dibandingkan pejabat.
Dalam konteks Sulawesi Tengah, fenomena ini juga bisa diendus. Tak hanya pada saat momen pilkada. Hari hari biasa kedekatan berlebihan yang membuat nurani jurnalisme terasa tumpul bisa terasa. Glorifikasi yang berlebihan terhadap lembaga tertentu. Semua orang tahu rekam jejak lembaga itu dalam penegakan HAM. Namun oleh media dan jurnalisnya, dipoles sedemikian rupa sehingga terlihat, lembaga tersebut seperti tanpa noda. Di era awal 90-an tokoh wartawan Sulawesi Tengah, almarhum Soerya Lasni menyebut fenomena ini sebagai jurnalisme salon. wajah yang bopeng menjadi kelihatan mulus berkat polesan tata rias profesional. Demikian pula dengan jurnalis. Sebuah lembaga atau figur dengan jejak kelam akan terlihat bersih tanpa dosa di depan publik berkat polesan jurnalis. Inilah jurnalis tadah liur – istilah lain tokoh pers Sulawesi Tengah, Almarhum Aba Nontji.
Dalam beberapa kasus ada fakta menyedihkan yakni embedded journalism. Fenomena ini secara diam-diam terjadi di kalangan wartawan di sini. Istilah ini populer sejak Perang Teluk 1991 yang dikenal Operasi Badai Gurun. Sebuah operasi yang dipicu invasi Irak ke Kuwait dan mengundang intervensi Amerika dalam perang ini.
Kala itu, jurnalis Amerika membenamkan diri dalam pasukan AS. Nyaris semua laporan jurnalistiknya sejalan dengan perspektif Pemerintah Amerika. Dalam liputan perang, cara ini mungkin masih bisa diterima – dengan catatan mampu menjaga kualitas jurnalistiknya. Tapi di saat normal, jurnalis macam ini yang secara sadar menjadikan dirinya sebagai corong lembaga atau pejabat – sesuatu yang mestinya harus dikritiknya, karena rekam jejak lembaga itu yang belepotan dengan pelanggaran demokrasi dan HAM.
MENJADI JURNALIS TEGA
Tega adalah penjelmaan dari independensi sebuah sikap yang menjadi hukum besi dalam jurnalistik. Independensi akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas. Tidak mudah terbawa emosi oleh fakta yang berada di hadapannya. Misalnya, jurnalis yang terjun dalam peristiwa yang menguras emosi, seperti penggusuran. Dalam banyak hal, pertanyaan jurnalis hanya garang pada pihak yang menggusur atau aparat yang mementung korban gusuran.
Tetapi saat berhadapan dengan korban penggusuran yang sepuh atau nenek renta, jurnalis tidak lagi menyodorkan pertanyaan yang tegas. Tetapi cenderung melemah karena perasaan ikut terbawa di dalamnya. Dalam peristiwa yang menguras emosi macam ini, pertanyaan harus sama tegas dan kerasnya baik kepada tergusur maupun penggusur. Ini dilakukan agar jurnalis mampu mengurai masalah secara bening tanpa tendensi yang bias.
Misalnya, saat berhadapan dengan pelaku penggusuran, pertanyaa mengemuka, kenapa pemerintah menggusur orang-orang susah?. Tidakah negara memberi mereka kemudahan untuk sekadar menyambung hidup di atas tanah-tanah itu..?
Nah, pertanyaan yang sama kerasnya juga harus diajukan kepada korban penggusuran.
Misalnya, Ibu sudah mengetahui tanah ini bukan milik Ibu. Ini tanah negara, lalu kenapa tetap memilih bertahan..?
Itulah yang namanya independensi.
Fenomena jurnalis tanpa jarak atau jurnalisme tadah liur atau independensi yang rapuh, menjadi krusial lagi, saat memasuki tahun-tahun politik – pilkada lokal sekarang ini.
….
Untuk meringkas problem itu semua, muaranya adalah independensi. Karakter inilah yang bisa melahirkan karya kredibel. Hilangnya karakter ini akan membuat jurnalis tidak bisa berjarak dengan narasumber. Menyedihkan, jika kedekatan dimaknai sebagai fasilitas untuk tujuan yang tidak sejalan dengan misi suci jurnalisme.
Jika demikian, pada titik tertentu, jurnalis tak lagi menjadi pembela publik. Berubah menjadi pemoles wajah bopeng kekuasaan. Apa pun yang disampaikan narasumber ditadah tanpa filter. Inilah contoh telanjang jurnalisme corong alias jurnalisme tadah liur.
Sepertinya, tugas yang diemban asosiasi jurnalis seperti AJI, IJTI dan PWI masih sangat berat, hari ini bahkan untuk hari-hari nanti. Banyak persoalan mendasar dalam tubuh jurnalisme itu sendiri yang belum selesai.
Penulis: Amanda