BERKORBANLAH untuk orang-orang yang kau cintai. Seperti halnya wartawan yang berkorban untuk keluarga dan orang-orang tercinta demi meliput sebuah peristiwa.
Tapi coretan sederhana ini bukan tentang pengorbanan wartawan dalam meliput peristiwa kemanusiaan. Dalam konteks kemanusiaan tidak elok menyebutnya sebagai pengorbanan. Kemanusiaan adalah soal ketulusan. Di sana ada kewajiban moral yang harus dijalankan saat tragedi kemanusiaan terpampang di depan mata.
Seperti yang dilakukan belasan jurnalis dari Palu-Sulawesi Tengah. Mereka rela meninggalkan istri, calon istri, pacar, anak-anak hingga mertua. Menempuh perjalanan ratusan kilometer. Naik motor atau mencari tumpangan pada orang lain. Ada yang ditugaskan kantornya. Ada pula yang dengan inisiatif sendiri. Pastinya dengan biaya sendiri. Gempa berkekuatan 6,2 skala richter yang menewaskan 90 nyawa (data 19/1) dan menyebabkan ribuan orang berserak di pengungsian, telah menggedor sisi terdalam kemanusiaan para pewarta itu.
Maka sejak Jumat pagi atau delapan jam sejak gempa menghantam Mamuju – Majene, gelombang jurnalis asal Palu terus mengalir menuju Bumi Manakarra Mamuju. Diawali Videl Djemalis jurnalis Kompas Daily, disusul fotografer National Geografic Joshua Bin Nun Marunduh bersama jurnalis Media Indonesia Mohamad Bustan Taufan. Sore harinya, giliran Rangga Musabar Videografer LKBN Antara dan Nathalia Kristina dari Tribun Timur, Mohamad Izfaldi, MAL online serta Rahman Odi Net TV. Mereka membelah gelap malam, ingin secepatnya tiba di Kota Mamuju.
Di belakang Rahman Odi, menyusul Syamudin Tobone – SCTV, Muhamad Rifky – Mercusuar lalu ada Hendra dan Rian Saputra, Sobirin dari TVRI Sulteng. Tak ketinggalan Muhamad Iqbal Ketua AJI Palu, Muhamad Arif – Kabarselebescom serta Ari Qadri dari Sultengtoday. Berikutnya, Rahmad Dhani perintis jurnalisme podcast di Palu, menggeber motor maticnya. Dan ajaibya tak ada tanda kecapekan di wajahnya. Ada juga Jafar G Bua – Reporter CNN Indonesia, Patarudin – kabarselebes.com. Ia datang tak sekadar melakukan tugas jurnalistik. Ia ingin memastikan kondisi kerabatnya yang sejak awal mengabarkan kondisinya kesulitan mendapat tenda di pengungsian. Dan baru berhasil tiga hari kemudian, Senin 18 Januari 2021. Wartawan asal Palu lainnya Fauzy – Lamboka, LKBN Antara, terbang dari Jakarta ke Mamuju, bergabung dengan koleganya di tenda halaman kantor Gubernur Sulbar.
Lalu fotografer Radar Sulteng, Mughni Supardi, mengendarai motor hingga Desa Martajaya. Ia melanjutkan perjalanan selanjutnya menumpang rombongan Dinas Sosial Sulteng yang membawa misi kemanusiaan di Mamuju-Majene.
Banyak yang memendam hasrat ingin datang di kota yang berjarak 422,7 kilometer dari Kota Palu itu. Maka hari berikutnya muncul lagi, Noer Kadir dari Sultengterkini.com serta Heri Susanto yang diminta kantornya di liputan6.com memback-up kawannya di Mamuju yang belum bisa menjalankan liputan secara optimal. Mayoritas para pewarta itu adalah penyintas tsunami dan liqeufaksi 28 September 2018 lalu. Pengalaman kelam dalam perjalanan hidup mereka itu, ikut mendorong untuk secepatnya datang dan menyebar ke seluruh pelosok kota.
Sebagai penyintas yang mental dan moralnya pernah babak belur dihajar gempa berkekuatan 7,4 SR, mereka punya pengalaman tidak enak soal bagaimana penanganan pascabencana yang serampangan. Karena itu, sorotan terhadap bagaimana penanganan pengungsi pascabencana serta bagaimana gagapnya otoritas terhadap pergerakan pengungsi adalah salah satu lini yang penting disorot selama di Mamuju.
Sikap volunterisme itu ditunjukan dengan bagaimana membingkai dan memastikan isu pemberitaan, tetap seiring selaras dengan kepentingan warga. Memastikan hak-hak pengungsi diberikan secara baik. Dan otoritas menjalankan kewajibannya dengan baik pula. Hanya dengan itu suara lirih penyintas di lapak sunyi pengungsian dapat didengar para pihak.
Gerakan volunterisme yang dianut jurnalisme di medan bencana, memang bukan gelontoran uang segar dan sembako. Jurnalis dengan kameranya akan mengabadikan sudut-sudut pengungsian yang tak layak. Dengan pena, akan menulis keluhan kaum tak berdaya, para lansia, anak-anak dan kelompok rentan yang untuk mendapat seliter minyak goreng harus mengantre berjam-jam di depan gudang sembako karena teknis birokrasi yang kadang tidak manusiawi.
Dengan kamera dan pena, mereka juga garang, tatkala menyaksikan pihak pihak yang secara sadar mengeksploitasi kondisi warga yang sedang susah sebagai ajang mengeruk citra personal. Jurnalis dengan kamera dan penanya, mereportase dan mengabarkan ke jagad semesta. Membuka mata penguasa. Mendobrak hati bebal kekuasaan. Memaksa turun penguasa dari singgasananya agar berbuat nyata pada orang-orang tak berdaya di pengungsian.
Pada kepentingan itulah, jurnalis merasa kehadirannya begitu penting, sepenting korporasi, ormas dan relawan yang membawa pangan pokok di Mamuju-Majene.
Kehadiran pewarta menyambangi pengungsian, menggedor pintu kantor pemerintah mengonfirmasi hak hak penyintas hingga mendatangi sudut terjauh di kota berjuluk seribu sungai ini, sebenarnya tidak ada apa apanya jika dibandingkan dengan yang telah dilakukan warga Mamuju termasuk para jurnalisnya saat tragedi 28 September 2018 lalu.
Sebagai wilayah bertetangga dengan jarak 422,7 kilometer, Sulawesi Barat adalah yang pertama mengirim bala bantuan ke Palu, Sigi dan Donggala yang tak berdaya dihantam musibah dua tahun silam. Ikatan emosional dan kultural yang kuat, membuat perasaan senasib sepenanggungan sebagai provinsi bertetangga membuat warganya dapat menyelesaikan masalah kemanusiaan tanpa dibelit birokrasi yang rigid dan kaku.
Masih teringat, saat peristiwa 18 September 2018 menghantam hingga membuat wajah Kota Palu hampir tak berbentuk, Anhar anggota AJI Mandar dan kawannya dengan mengendarai motor, pagi pagi datang di Sekretariat AJI Palu Jalan Rajawali 28 Palu. Ia mendata anggota AJI Palu yang tertimpa musibah. Sebuah aksi personal yang menyentuh tatkala semangat hidup sedang tidak enak.
Ini pula yang membuat Rahman Odi, jurnalis Net TV, dengan atas inisiatif sendiri datang Kota Mamuju. Meninggalkan sang istri tercinta yang sedang berbadan dua. ”Selesai salat Jumat saya berfikir saya harus ke Mamuju. Saya ingat warga Sulbar pertama datang di Palu saat gempa lalu,” kenang Odi.
Seperti yang dikatakannya, inisiatifnya itu bukan untuk membalas kebaikan hati tetangga dekat itu. Karena amal baik ungkapnya, tidak untuk dibanding-bandingkan. Tapi sebagai tetangga dekat – wajar jika ada tindakan konkret yang dilakukan saat orang lain sedang kesusahan. Walau aksi konkret itu bukan dalam bentuk nasi tanak dan lauk yang bisa dikunyah di pengungsian.
Jurnalis bukan korporasi dengan timbunan kapital yang besar.
Jurnalis bukan tokoh yang titahnya bisa memobilisasi sembako dalam sekejap.
Jurnalis hanya penulis kritis.
Jurnalis hanya pembela kaum tertindas.
Jurnalis hanya penyampai pesan kaum terzalimi.
Jurnalis hanya punya kamera, punya pena.
Jurnalis hanya punya kata-kata.
Jurnalis hanya punya itu.
Penulis : Amanda
Foto-foto : Amanda