KAMPANYE Pilkada sudah memasuki 10 hari pertama, sejak digeber 25 September 2024 lalu. Namun publik belum mendapat informasi tentang rekam jejak para kandidat. Media yang diharapkan mampu membawa peran ini, malah sibuk dengan glorifikasi figur kandidat. Media disebut, menyampaikan kampanye tanpa sedikitpun memberi ruang kritis terhadap apa yang disampaikan para calon gubernur dan wakil gubernur.
Penilaian itu datang dari akademisi dan kolumnis hingga pegiat literasi di Kota Palu. Mereka menyayangkan, media mainstream tidak bisa memberikan pendidikan politik yang baik bagi publik, dengan pemberitaan tentang hal-hal yang tidak melulu dari mulut kandidat maupun timnya. Media diharapkan mempunyai sikap editorial redaksi yang kritis.
‘’Sebagai bagian dari publik yang butuh asupan informasi pilkada, saya belum mendapat pemberitaan para kandidat yang diberitakan dengan narasi kritis. Selain hanya janji kampanye dan panggung musik,”.
Pernyataan tajam ini disampaikan oleh akademsi Universitas Tadulako Dr Achmad Herman, S.Sos, M.Si, yang ditemui di Ruang Siniar Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Tadulako (Untad), Senin 1 Oktober 2024 lalu. Herman adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untad, yang intens mengamati lanskap dan perkembangan jurnalisme di daerah ini.
Penulis Buku Sejarah Pers Sulawesi Tengah ini, mengkhawatirkan pers mainstream terjebak dalam pusaran politik lokal. Pasalnya, ia menyebut produk pemberitaan mirip horse race alias pacuan kuda. Media berlomba memberitakan perkembangan terkini para kandidat dan hal-hal yang sebenarnya korelasinya minim dengan kepentingan publik.
Pemberitaan media masih seputar pernyataan kandidat yang terkesan lips service, euporia panggung musik yang mendatangkan artis top ibu kota dan gimik politik nirsubstansi. ‘’Ini tidak salah, asalkan dibarengi dengan muatan visi misi yang juga harus dilihat secara kritis,’’ katanya. Jurnalis ungkap Herman, harus meneropong semua sisi. Tidak hanya memberitakan peristiwa yang terjadi di panggung depan kampanye. Karena panggung depan politik tak selamanya sama dengan sajian di panggung belakang. ‘’Publik harus dibantu melihat apa yang terjadi di panggung belakang. Di sini, sikap kritis jurnalis memegang peran penting,’’ ujarnya mengingatkan.
Dalam konteks pilkada, media menurutnya dipengaruhi banyak dimensi. Faktor-faktor itu antara lain, ekonomi politik dan organisasi media. Dua hal ini sangat dominan berkaitan dengan dapur redaksi. Ada kalanya sebut Herman, jika informasi tidak menguntungkan secara ekonomis dan tidak punya afiliasi politik, maka informasi tersebut dianggap tidak menarik untuk diberitakan. Atau bisa saja, informasi di atas panggung kampanye menarik secara publik, tetapi kemudian berlaku mekanisme swasensor di dalam redaksi yang membuat berita tersebut tidak bisa terbit. ‘’Ruang redaksi itu bukan ruang hampa sekalipun ada teori fire wall (dinding api). Di sana ada kepentingan yang berkelindan satu sama lain,’’ ucapnya.
Secara umum ia menilai, pemberitaan media terkait pilkada di Sulteng, belum berperspektif publik. Media masih dengan mudah terbawa alur kepentingan kandidat. Penyebabnya, ungkap mantan aktivis Lembaga Pers Mahasiswa di Unhas ini adalah, kompetensi jurnalis dan sikap editorial yang diusung oleh media diduga direcoki oleh kepentingan di luar kepentingan publik – sesuatu yang mestinya terlarang untuk dilakukan.
Kolumnis Tasrief Siara dengan nada yang sarkastik menyebut, informasi yang disajikan media pada Pilkada hari ini tak ada ubahnya dengan perbincangan di group-group pertemanan di media sosial. ‘’Dangkal tidak mendalam juga tidak tajam,’’ kritiknya. Penyebabnya ungkap mantan jurnalis Radio KBR 68H Jakarta ini, karena beberapa jurnalis atau pemilik media kemungkinan memiliki hubungan personal atau afiliasi politik dengan calon kepala daerah yang sedang bertarung saat ini.
Penyebab lainnya sambung Tasrief, bisa juga karena sumberdaya media yang terbatas untuk melakukan liputan mendalam mengkritisi proses pilkada dan para aktornya. Faktor lainnya, ia menduga beberapa media mengikuti trend publik dan lebih fokus pada berita yang diminati warga. ‘’Padahal ini mengorbankan ketajaman analisis media,’’ katanya menyayangkan. Lebih jauh sambungnya, media seharusnya menjadi pemandu agar publik bisa menentukan pilihan secara jernih setelah membaca berita yang jujur, merangkum fakta menjadi berita.
Neni Muhidin pegiat literasi dan Pendiri Taman Bacaan Nemu Buku, termasuk yang gelisah dengan fenomena media di Pilkada kali ini. Menurut dia, para jurnalis harus menyadari bahwa jurnalisme tak sama dengan kehumasan. Ia melihat beragam masalah yang membekap media di Sulteng, sehingga terlihat gagap untuk sekadar kritis kepada politisi. Tapi masalah ini sebutnya, dimensinya selalu institusional alias kebijakan perusahaan media termasuk redaksi itu sendiri. Mestinya kendala ini bisa diatasi mengingat saat ini, media daring yang dikerjakan oleh wartawan semakin menjamur.
Mestinya dengan situasi yang tidak terlalu terikat dengan kebijakan yang dikontrol oleh pemegang saham, editorial bisa lebih menunjukan keberpihakannya pada publik. Misalnya, yang menjadi sorotan utama adalah jejak rekam calon, agar publik mempunyai informasi yang cukup untuk menentukan pilihannya. ‘’Dalam konteks pemberitaan media, sikap kritis jurnalis harus dominan karena fondasi jurnalisme adalah kritik,’’ tutup Neni.
Ketiganya sepakat, ketika jurnalis tidak bisa bersikap kritis dengan situasi yang terjadi di sekitarnya, maka yang paling dirugikan adalah publik. Publik tidak bisa mendapatkan informasi yang berkualitas disebabkan bias kepentingan yang dominan. Bahlan media juga ikut dirugikan dengan tindakannya sendiri karena bakal kehilangan kepercayaan dari pembacanya.
Otoritas pers sudah mengendus bakal menguatnya keberpihakan media kepada para pemain politik lokal. Pada 26 September 2024 lalu, Dewan Pers menggelar workshop tentang peliputan pemilu dan Pilkada 2024 yang diikuti sedikitnya 64 utusan dari media dan lembaga penyiaran di daerah ini. Workshop ini memberi penguatan pada jurnalis untuk liputan pemilu yang berperspektif kepentingan publik. AJI Indonesia telah mengeluarkan buku panduan liputan pemilu yan diharapkan menjadi ”kitab suci” dalam melakukan liputan isu pilkada. Dengan buku panduan tersebut dharapkan jurnalis mampu menyajikan informasi kredibel yang mampu membangun penyadaran publik. ***
Penulis: Yardin Hasan
Penyunting: Aditya Warman
Foto: ist.