Jaringan Aliansi Sipil, Desak Bank Tanah Setop Kelola Tanah Adat Pekurehua

PROTES - Jaringan sipil WALHI Sulteng, SP Palu dan SLPP bersama warga mendesak pengelolaan tanah yang dilakukan Bank Tanah di atas tanah adat Pekurehua di Wuasa, Poso disetop
PROTES - Jaringan sipil WALHI Sulteng, SP Palu dan SLPP bersama warga mendesak pengelolaan tanah yang dilakukan Bank Tanah di atas tanah adat Pekurehua di Wuasa, Poso disetop

JARINGAN Aliansi Sipil yang terdiri dari WALHI Sulteng, Solidaritas Perempuan, SP Palu dan SLPP mendesak pengelolaan tanah yang dilakukan oleh Bank Tanah di atas tanah adat Pekurehua di Wuasa, Poso dicabut. Mereka menggelar protes di lokasi Bank  Tanah, Rabu 30 Juli 2024. Demonstrasi diikuti ratusan warga bersama tokoh adat.

Kristian Toibo, salah satu pemilik tanah yang memprores kehadiran Bank Tanah mengatakan,  dengan adanya Bank Tanah telah menyulitkan mereka menggarap lahan yang selama bertahun-tahun mereka tempati. Pihaknya sudah menemui pemerintah untuk mengadukan masalah ini namun tidak mendapat tanggapan. Toibo yang mempunyai untuk tanaman palawija dan perkebunan, mengaku was-was karena tanah miliknya yang berada di kawasan Bank Tanah, sewaktu-waktu bisa hilang. ”Sudah lama kami protes Bank Tanah itu, tapi pemerintah tidak gubris,” katanya.

Departemen Organisasi Walhi Sulteng, Bonar mengatakan,  karakteristik pihak yang dapat diberikan Hak Pengelolaan ini oleh Badan Bank Tanah tentunya sangat beriorentasi untuk mencari profit, untuk kepentingan pembangunan nasional. Implementasi kebijakan ini menurut dia terlihat di beberapa daerah. Salah satunya di area lahan eks HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL) seluas 7.740 ha yang berada di Desa Alitupu, Kalemago, Winowanga, Maholo dan Watutau. Lima desa ini berada di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.

Agus M Suleman, Koordinator Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) menyebut, dalam  rilis website Badan Bank Tanah menyebutkan profil aset bank tanah yang diklaim di Kabupaten Poso seluas 6.648 hektar berlokasi di lima desa yang terbagi di dua kecamatan.  Yaitu, Lore Timur dan Lore Piore.  Ia menyebut, dari total luas HGU (Hak Guna Usaha) sebesar 7.740 hektar ada 4.079 yang dianggap tidak ada penguasaan tanah. Sedangkan tanah yang dikuasai masyarakat seluas 3.213, 05 hektar, sementara tanah berbadan hukum seluas 224, 29 hektar, serta tanah pemerintah seluas 12, 26 hektar. Selain itu ada pula tanah yang dikuasai negara seluas 7,17 hektar.

Masih menurut Agus, Bank tanah ini juga akan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang disesuaikan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) seperti Hutan Produksi Terbatas (HPT), kemudian kawasan perkebunan yang ditanami kopi dan kakao serta kawasan pertanian lahan kering yang ditanami cabai, kubis, pisang, tomat, bawang merah, ubi kayu, sawi dan durian.

Irviansyah, dari SP Palu, mengatakan, setelah masa berlaku HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL) selesai, tanah tersebut langsung diklaim oleh Bank Tanah. Bank Tanah disebut mengabaikan hak-hak masyarakat dan perempuan yang telah lama mengolah tanah tersebut.  Sebelum adanya HGU, tanah tersebut merupakan tanah adat, yang digunakan untuk pengembalaan kerbau, dan lahan pertanian masyarakat.

Departemen Organisasi Walhi Sulteng, Bonar mengatakan, erjuangan masyarakat Desa Watutau mempertahankan tanah adat mereka bukan hanya saat ini. Sudah sejak awal penetapan HGU oleh pemerintah. Pada tahun 2005 masyarakat di desa itu telah melancarkan protes HGU PT Hasfarm yang dinilai merampas wilayah adat. Protes kembali berlanjut pada awal tahun 2023 sejak kehadiran Badan Bank Tanah yang memasang plang yang berisi larangan melakukan kegiatan pemanfaatan tanah. Padahal menurut Bonar, lahan tersebut telah diolah dan dimanfaatkan masyarakat setempat bercocok tanam (kebun kopi, kakao, durian hingga persawahan) untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu juga pada lokasi tersebut terdapat perkampungan tua (lamba) yang mengandung sejarah penting bagi eksistensi Masyarakat Adat Pehurehua.

Atas dasar itu, aliansi sipil, menyatakan sikapnya, mendukung perjuangan Masyarakat Adat Desa Watutau serta seluruh Desa sekitarnya dalam mempertahankan wilayah kelola sebagai sumber ruang hidup rakyat. Mendesak Menteri ATR/BPN untuk mencabut status Hak Pengelolaan yang diberikan kepada Badan Bank Tanah serta mendistribusikan tanah kepada Masyarakat setempat. Desakan yang sama juga ditujukan pada, Bupati Poso, Gubernur Suteng, DPRD Kabupaten Poso serta DPRD Propinsi Sulawesi Tengah untuk mengeluarkan rekomendasi pencabutan status Hak Pengelolaan Badan Bank Tanah, dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya dan HAM Masyarakat Desa Watutau dan Desa sekitarnya.

KOMNAS HAM Perwakilan Sulawesi Tengah harus menindaklanjuti dugaan pelanggaran HAM terkait hak sosial ekonomi masyarakat. Selain itu, Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah harus melakukan pengawasan secara masif sesuai dengan PP 64 Tahun 2021, berkaitan dengan fungsi-fungsi yang tidak dilakukan secara akuntabel oleh Badan Bank Tanah.

Aliansi tiga organisasi sipil ini juga mendesak Badan Bank Tanah melakukan uji publik kepada masyarakat setempat terkait dengan proses perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah yang akan dilakukan oleh Badan Bank Tanah.  Bahkan, mereka mendesak Badan Bank Tanah tidak melakukan aktivitas dalam bentuk apapun serta  menarik seluruh atributnya di wilayah Desa Watutau dan sekitarnya sebelum poin tuntutan dipenuhi.***

Sumber: Rilis Walhi, SP Palu, SLPP
Foto: Walhi Sulteng
Editor: Yardin

 

 

Tinggalkan Balasan