CARILAH kejujuran di mimbar-mimbar masjid.
Di altar-altar gereja.
Di singgasana padmasana.
Di pelataran wihara atau,
di sekat ruang sunyi klenteng
Kejujuran itu ada di sana.
Kejujuran tidak akan didapatkan dari semburan serampangan mulut politisi di panggung bising kampanye.
Di mimbar kampanye adanya adalah politik janji yang berisik. Janji adalah soal cara memainkan emosi, mendapat simpati, empati yang belum tentu mampu ditunaikan.
Setidaknya, begitulah pengalaman selama ini. Perkara apakah bisa dipenuhi atau tidak, itu soal nanti. Yang penting janjikan dulu. Karena hanya dengan itu, simpati bisa diraih dan suara bisa direbut.
Kini, kampanye kini sedang berlangsung. Pemukiman di sudut sudut kota menjadi sasaran. Rakyat terus dipaksa mendengar klaim kemajuan plus janji yang disemburkan secara sporadis.
Dengarlah dan tilik baik-baik kampanye mereka. Sebagai warga, tetap harus punya kecerdasan untuk, memercayai penuh atau setengah tidak percaya atau bahkan mencampakkannya. Pilihan-pilihan itu ada di tangan warga.
Dengan pengalaman pilkada yang lumayan panjang – kita tentu tak mudah lagi termakan klaim dan janji-janji politik. Apalagi jika janji yang disampaikan agak kurang masuk akal. Tipikal politisi dan tim suksesnya yang mengumbar janji dan mengingkarinya saat kuasa digenggam mestinya membuat rakyat tak mudah terpukau celotehan di mimbar kampanye. Sejatinya seperti itu.
Mantan Menteri Sekretaris Kabinet di era Presiden Megawati, Yusril Izha Mahendra pernah bilang, memori masyarakat Indonesia sangat pendek. Masyarakat mudah lupa pada tokoh tokoh politik yang tak hanya tak menepati janjinya – bahkan yang menyakiti pun misalnya menggusur pemukiman mereka pun tak lagi diingat.
Sebaliknya, masyarakat akan senang-senang saja menerima janji dari kandidat yang tak masuk akal sekalipun. Bahkan, jika ada menjanjikan bakal membangun taman gantung Babylonia pun dengan mudah dipercayai. ”Kita sudah separah itu,” begitu kata Mursidan pemerhati politik pilkada pada diskusi webinar September lalu.
Menurut Mursidan, tipikal masyarakat Indonesia pada umumnya, sangat permisif ketika menyangkut politik. Selama persoalan ideologi, agama, ras tidak disinggung, sepertinya masyarakat akan bersikap masa bodoh terhadap pengkhianatan janji politik.
Bentuk-bentuk sikap masa bodoh setidaknya bisa dilihat. Bahwa seringkali kepala daerah yang terbukti gagal dalam menjalankan programnya, gagal menunaikan janjinya, masih sangat mungkin terpilih kembali. Karena seperti yang pernah dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, memori masyarakat Indonesia sangat pendek.
Dalam pengalaman politik elektoral yang merentang panjang sejak 1999, biasanya janji politik hanya dipelototi 100 hari pertama. Ditandai dengan penyusunan kepala dinas dan penempatan kolega pada pos-pos BUMD. Usai 100 hari menuju satu tahun dan seterusnya, janji-janji mulai diabaikan. Jika ada yang mengingatnya, itu adalah orang-orang di sekitarnya yang selama ini menanam jasa saat pencalonan. Keberadaan orang-orang ini, bukan untuk mengingatkan, tapi menagih balas jasa yang ditanamkan sebelumnya.
Dalam penegakan hukum, janji politik adalah janji paling aman. Berbeda dengan perjanjian usaha atau bisnis yang pelanggarnya bisa berakhir di penjara.
Bahkan dibandingkan dengan janji sepasang kekasih, janji politik pun jauh lebih aman. Risiko terhadap pelanggaran janji pasangan yang sedang pacaran akan sangat mahal. Bisa berakhir retaknya hubungan.
Tapi dalam politik? tidak ada seperti itu.
Bahkan masih ada waktu tersisa untuk merancang janji baru, kampanye baru untuk pilkada nanti.
Kita berharap pada kandidat, stop janji yang tidak masuk akal. Dan berkomitmenlah pada janji-janji itu. Jangang ingkar. Dan masyarakat pun sudah saatnya mempunyai ketajaman nurani, kewarasan berfikir dan tidak mudah terbawa klaim-klaim yang tidak masuk akal.
Rakyat bukan remahan yang hanya diminta suara lima tahun sekali.
Bayangkan jika ada janji yang bilang begini, jika ada yang mati akan mendapatkan nyawa baru. Lalu kita dengan pongahnya tetap memilihnya.***
Penulis: Amanda