Harmoni Kebijakan Fiskal Moneter, untuk Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Muhidin M Said, saat bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

SAAT ini pemerintahan Prabowo – Gibran memiliki target pertumbuhan ekonmi yang sangat tinggi. Penentuan target pertumbuhan ekonomi ini yang tinggi ini bukan hanya harus diapresiasi, tetapi harus didukung secara totaliter oleh semua elemen bangsa.

Hal ini ditegaskan Wakil Banggar DPR RI, Muhidin M Said, merespons kebijakan fiskal dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 8 persen Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Pemerintah katanya, bersama seluruh pelaku ekonomi harus bahu membahu mewujudkan cita-cita pertumbuhan ekonomi delapan persen. Pemerintah bersama seluruh pelaku ekonomi harus memiliki arah yang sama sehingga kinerja ekonomi bisa berjalan secara harmonis.

”Kebijakan yang dibuat pemerintah harus memiliki arah yang sama baik dari sisi kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter,” katanya.

Menurut dia, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter harus saling mendukung dan menguatkan, tidak boleh saling melemahkan apalagi saling meniadakan.

Jika kebijakan fiskal dan moneter bisa berjalan secara harmonis maka kinerja ekonomi akan optimal. Harmonisasi kebijakan ini biasanya dikenal dengan istilah bauran kebijakan.

Secara konseptual, terdapat empat kemungkinan skenario bauran kebijakan antara kebijakan fiskal dan moneter.

Pertama, kebijakan fiskal ekspansif – kebijakan moneter ekspansif, kedua kebijakan fiskal ekspansif – kebijakan moneter kontraktif, serta kebijakan fiskal kontraktif – kebijakan moneter ekspansif, dan keempat kebijakan fiskal kontraktif – kebijakan moneter kontraktif.

Dari keempat kemungkinan skenario tersebut, katanya, kebijakan yang harmonis adalah kebijakan yang memiliki arah yang sama yaitu antara skenario kebijakan yang pertama dan yang keempat.

Jika kebijakan fiskal ekspansif maka sejatinya kebijakan moneter juga mendukung ekspansi yang dilakukan pemerintah.

Ditambahkannya, jika pemerintah membuat kebijakan yang kontraktif maka seyogyanya kebijakan moneter juga mendukung langkah-langkah yang dilakukan pemerintah yang mengerem pertumbuhan ekonomi.

Ia mengingatkan, jika harmonisasi ini tidak berjalan maka kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan pemegang otoritas kebijakan moneter dalam hal ini adalah Bank Indonesia (BI) tidak akan berjalan efektif.

Jika skenario bauran kebijakan yang dipilih adalah skenario kedua, maka ketika pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, BI malah mengeluarkan kebijakan kontraksi dengan menarik jumlah uang yang beredar dari perekonomian.

”Langkah ini tentunya akan kontraproduktif dengan kebijakan ekspansioner yang dikeluarkan pemerintah. Langkah-langkah pemerintah untuk menggenjot perekonomian tidak akan berjalan efektif karena terhambat kebijakan moneter yang kontraktif,” ujar Muhidin.

Hal yang sama juga jika yang dipilih adalah skenario bauran kebijakan nomor empat. Ketika pertumbuhan ekonomi dirasa terlalu cepat sehingga menimbulkan gejala overheating, maka pemerintah akan melakukan pengereman dengan mengeluarkan kebijakan fiskal yang kontraktif.

Namun langkah kontraksi ini tidak akan memiliki efek yang optimal jika di sisi lain BI mengeluarkan kebijakan yang ekspansif.

Sebagai contoh riil, melalui penambahan belanja negara pemerintah bisa melakukan kebijakan ekspansioner. Melalui tambahan belanja, pemerintah menambah jumlah uang yang beredar di dalam perekonomian.

Uang tersebut diharapkan mampu mendorong sektor riil untuk lebih “bergairah”, berproduksi lebih besar dan berjualan lebih banyak.

Namun langkah yang dilakukan pemerintah ini tidak akan optimal jika di sisi yang lain BI melakukan kebijakan kontraktif dengan menarik uang yang beredar dari dalam sistem perekonomian.

Sebagaimana diketahui BI memiliki instrumen moneter dalam bentuk Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sertifikat Valas Bank Indonesia (SVBI) yang bisa digunakan sebagai chanel untuk menarik uang dari sistem perekonomian.

Jika BI menetapkan imbal hasil yang tinggi untuk SRBI dan SVBI maka pelaku ekonomi akan lebih memilih berinvestasi di SRBI dan SVBI alih-alih melakukan ekspansi usaha di sektor riil.

Uang yang sudah digelontorkan oleh pemerintah ke sistem perekonomian akan kembali tersedot ke dalam industri keuangan dan sistem ekonomi akan mengalami kekeringan likuiditas dan kinerja ekonomi akan melambat.

Oleh karena itu, target pertumbuhan ekonomi delapan persen yang dicanangkan oleh pemerintah hanya akan tercapai jika terjadi harmoni antara kebijakan fiskal dan moneter. Target pertumbuhan ekonomi delapan persen mustahil tercapai jika bauran kebijakan fiskal dan moneter tidak searah dan seirama.

”Dengan kata lain, sangat penting bagi pemerintah dan BI untuk saling menjaga agar kebijakan yang dibuat oleh masing-masing tidak saling meniadakan atau berbeda arah,” ungkapnya.

PENGALAMAN SEJARAH

Dari pengalaman dan catatan sejarah, BI dan pemerintah menurutnya, memiliki harmoni kebijakan yang cukup baik. Bank Indonesia selama ini telah menjadi salah satu lembaga negara yang memiliki kinerja yang cukup baik.

Di tengah gejolak dan ketidakpastian global serta dinamika ekonomi nasional, BI relatif berhasil menjaga nilai rupiah tetap stabil, seraya menekan inflasi pada level yang relatif rendah.

Bahkan, jika dibandingkan dengan beberapa negara lain, Indonesia menjadi salah satu negara terbaik yang mampu menjaga stabilitas nilai tukar mata uangnya. Dengan kata lain, BI telah berhasil menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Prestasi yang telah dijalankan oleh BI ini menurut dia akan kembali diuji. Jika selama ini BI berhasil dalam mengerem pertumbuhan ekonomi supaya tidak mengalami overheat, maka tantangan selanjutnya adalah bagaimana BI bisa melepas pedal rem sehingga roda perekonomian bisa berjalan lebih cepat dengan konsekuensi sedikit mentolelir stabilitas tingkat inflasi dan juga nilai tukar.

PERUBAHAN PARADIGMA

Ia melanjutkan, “melepas rem” sebagaimana disebutkan sebelumnya adalah suatu hal yang jarang dilakukan oleh BI. Selama ini BI cenderung kontraktif untuk menjaga stabilitas perekonomian.

Melepas rem sama saja dengan mengubah paradigma atau bahkan mungkin keyakinan. ”Bahkan bagian sebagian orang, mengubah paradigma sama dengan mengubah madzhab dan keyakinan, sangat tabu jika tidak mau dikatakan tidak mungkin,” katanya.

Namun berkaca dari catatan sejarah, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki jiwa kekeluargaan dan kegotongroyongan. Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing menjadi peribahasa yang menggambarkan sifat dan watak asli bangsa Indonesia.

Kerja sama dan kerja bersama-sama menjadi jati diri bangsa Indonesia. Kepentingan bangsa dan negara selalu ada di atas kepentingan pribadi dan golongan.

Oleh karena itu menurut dia, mengubah paradigma, madzhab, dan keyakinan menjadi hal yang sangat mungkin dilakukan oleh bangsa Indonesia jika dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara.

Dengan langkah bersama, langkah yang harmonis, searah dan seirama antara pemerintah dan BI, target pertumbuhan ekonomi delapan persen akan lebih mudah atau bahkan lebih cepat tercapai.

Saat ini pemerintah mulai melakukan kebijakan yang ekspansioner, maka BI bisa dipastikan akan mendukung langkah-langkah ekspansi pemerintah tersebut dengan mengeluarkan kebijakan moneter yang juga ekspansioner. “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. ***

 

 

Tinggalkan Balasan