INDONESIAN Corruption Watch (ICW), menemukan penggunaan anggaran pemerintah pusat untuk membayar jasa pemengaruh. Jumlahnya tak main-main Rp90,45 miliar. Dana sebesar itu untuk sosialisasi kebijakan pemerintah sepanjang tahun 2014 sampai 2019. Anggaran jumbo tersebut dikucurkan kepada selebritis tanah air atau figur tertentu yang mempunyai pengikut besar di media sosial, facebook, twitter atau instagram.
Publik pun heboh. Di media sosial maupun media umum, pro dan kontra tak pernah berhenti. Perdebatan terus mengalir. Cibiran dan sinisme publik bergantian mengalir memenuhi linimasa.
Ribut ribut soal para pesohor negeri yang menjadi corong pemerintah dengan imbalan, Rp5 juta – Rp10 juta, sekali posting itu, di Palu – Sulawesi Tengah, keberadaan para influencer ini sebenarnya sudah lama eksis. Setidaknya dalam tiga atau 4 tahun belakangan ini.
Posisi mereka di publik khususnya jagad social media ternyata cukup berpengaruh. Hal ini bisa dilihat dengan keterlibatan mereka secara langsung untuk mendukung produk komersial (endorsement). Dukungan yang tidak gratis tentunya. Jumlah pengikut yang besar membuat produk komersial melirik mereka sebagai ajang promosi yang efektif.
Di Kota Palu dan Sulawesi Tengah, sudah beberapa influencer yang eksis dengan jumlah pengikuti puluhan hingga ratusan ribu orang.
Di Kota Palu misalnya, ada Lucky Tembang yang pengikut instagramnya mencapai 82 ribu lebih. Lalu ada Nur Ramadani di Dolo Kabupaten Sigi. Nur Ramadani yang nama instagramnya Nurani_r, pengikutnya mencapai 604 ribu lebih. Di akun IG nya, perempuan berkerudung ini, mengidentifikasi dirinya sebagai tokoh publik. Terpantau di IG nya, Nurani bahkan sudah banyak menerima produk endorse. Ia pun mencantumkan nomor kontaknya bagi yang ingin mempromosikan produknya. Sayang, nomor kontak komersial yang dicantumkan di IG nya tidak bisa diakses.
Beruntung, Lucky Tembang bersedia berbagi cerita soal kiprahnya di jagad media sosial. Lucky mengaku sudah cuap-cuap instagram sejak beberapa tahun belakangan. Selain IG, ia juga punya akun facebook dengan 4.927 teman. Dari akun IG nya, pria stylish ini menerima endorse untuk beberapa produk. Baik barang maupun jasa. Mulai kuliner yang berbasis industri rumahan, pengusaha cafe hingga jasa hotel dan travel.
Pernah menerima order dari pemerintah?
”Pernah. Waktu itu untuk kampanye antinarkoba,” sahut Lucky antusias.
Lucky bilang, ia ditawari oleh BNN Kota Palu. Kontennya tentang kampanye antinarkoba. Pria periang ini enggan membeberkan berapa nilai yang diterimanya dari cuap-cuap kampanye dari lembaga milik pemerintah itu. Ia haya disodori semacam script untuk dibaca. Selebihnya ia berkreasi untuk kampanye tersebut. Order dari BNN itu hanya tayang sekali selama sehari. Setelah itu tidak ada lagi, sampai hari ini.
Walau sering menerima produk komersial, Lucky yang hobi gowes ini, belum kepikiran menggunakan tim kreatif untuk mengelola aku IG nya secara profesional. Semua produk yang masuk masih ditangani sendiri. ”Belum ada kepikiran kesana. Masih ditangani sendiri,” ungkap pria pesolek ini.
Bagi Lucky, era media digital, kanal informasi tidak lagi hanya dari media konvensional seperti media cetak, TV dan radio. Namun sudah merambah ke berbagai platform. Netizen pun mempunyai kemewahan sendiri untuk menyiarkan kontennya sendiri. Lucky pun beranggapan, kehadiran influencer adalah keniscayaan di era teknologi informasi yang makin terbuka. ”Tidak ada yang salah dengan semua itu. Ini keniscayaan zaman mau dibendung bagaimana,” katanya diplomatis.
Lalu apakah Pemerintah daerah berniat menggunakan jasa pemengaruh ini untuk mengampanyekan program-program strategisnya? Seperti yang dilakukan pemerintah pusat?
Gubernur Sulteng Longki Djanggola belum melihat hal itu, sebagai sesuatu yang penting dan mendesak dilakukan. Dikirimi pertanyaan melalui pesan singkat, Longki pun merespons dengan hanya 55 kata. Walau singkat, terindikasi bahwa Pemprov Sulteng belum melihat penggunaan jasa pemengaruh sebagai sesuatu harus dilakukan. Bagi Pemprov, perangkat dan struktur pemerintah serta media profesional, masih menjadi instrumen yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan pemerintah.
Menurut Gubernur Longki Djanggola, bisa saja penggunaan jasa influencer dipertimbangkan. Namun semuanya tergantung kesiapan anggaran. Untuk anggaran yang sudah berjalan tahun 2020, belum termuat anggaran semacam itu. ”Dan apakah sudah sangat penting menggunakan jasa influencer itu,” tulis Gubernur pada pesan singkatnya. Ia pun menutup pesan singkatnya dengan kalimat singkat. ”Kita lihat saja anggaran tahun depan,” tutupnya.
Kritik publik terhadap penggunaan jasa pemengaruh ini juga sejalan dengan pendapat kalangan akademisi. Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Tadulako Raisa Alatas, berpendapat melibatkan publik figur untuk mengomunikasikan pesan-pesan pemerintah ke masyarakkat sebagai sesuatu yang tidak perlu dilakukan. Apa lagi para tokoh itu bukan orang-orang di birokrasi yang memahami substansi kebijakan dalam pemerintahan. Biarlah para pesohor itu berada di dunianya sendiri. Jika para pesohor mulai memasuki ranah pemerintah, ia khawatir akan menimbulkan distorsi informasi di masyarakat. ”Contohnya sudah ada,” kayanya.
Ia menyebut artis penyanyi Anji yang mempromosikan obat herbal covid lewat kanal yotubenya. Ternyata setelah diteliti para dokter, obat herbal tersebut tidak untuk obat covid. ”Akhirnya jatuhnya bisa hoaks. Mungkin tidak semua influencer seperti itu. Tapi kasus Anji menjadi salah satu contoh,” katanya.
Raisa melanjutkan, seandainya pemerintah memosisikan humas dengan baik mestinya, itu cukup untuk menyampaikan pesan ke masyarakat. Humas selain mampu membentuk citra positif, juga bisa mempromosikan karena posisi mereka selalu di garda depan. ”Bagi saya posisi humas yang srategis itu digunakan secara optimal,” jelasnya. Atau jika dianggap penting, pemerintah bisa saja membentuk tim khusus yang kompeten daripada menggunakan influencer yang hanya bermodal pengikut besar di sosial media. Mereka kompeten di bidangnya. Tapi belum tentu di wilayah pemerintahan dengan segala kompeksitasnya.
Dalam berbagai diskursus, publik seperti terbelah menyikapi kasus ini. Banyak yang menentang. Namun ada beberapa pula yang setuju pelibatan para tokoh pemengaruh ini.
Keterbelahan itu setidaknya bisa dilihat. Di jalan-jalan, buruh, petani, nelayan, dan masyarakat kompak menolak RUU Ciptakerja. Sebaliknya, di sosial media ada sederet artis dan figur terkenal mendukung RUU Omnibus Law. Baik yang anti maupun yang pro, dua-duanya tetaplah rakyat yang layak didengar suaranya.
Namun pasca temuan ICW yang membuat heboh seantero negeri, publik sadar dan bisa membedakan mana yang bersuara karena dibayar. Serta mana yang bersuara karena kesadarannya. ***
Penulis: Amanda