TIM Ekspedisi Geopark Poso memulai ekspedisi hari pertama pada Senin, 4 November 2024, menyinggahi dua situs penting warisan arkeolgi di Tentena, yakni Gua Pamona dan Ceruk Tangkaboba dan keesokan harinya Gua Latea. Tiga tempat ini masih berada di sekitar Kota Tentena, yang bisa dijangkau tak lebih 20 menit dari pusat kota. Ekspedisi kali ini, adalah untuk menyusuri 24 titik geosite, yang tersebar di Kota Tentena, Lembah Bada, Poso Pesisir dan Desa Taripa, Kecamatan Pamona Timur. Perjalanan hari pertama dipimpin arkeolog asal Kota Palu, Sulawesi Tengah, Iksam Djorimi.
Gua Pamona terletak di hulu Sungai Poso. Permukaannya ditutupi batu gamping dan pepohonan yang sengaja dibiarkan hidup bebas. Berdiri di atasnya, pengunjung bisa memandang Danau Poso. Lalu lalang manusia yang melintas di atas Jembatan Bukaka dan aktivitas warga Kota Tentena di sepanjang sungai, adalah pemandangan jamak yang terlihat dari ketinggian. Plang milik Badan Pelestarian Kebudayaan (BPK) yang terpampang di lokasi, menandakan jika kawasan ini adalah cagar budaya yang dilindungi. Pada malam hari kerlip lampu dari perahu warga yang melakukan monyilo seliweran di atas sungai. Monyilo adalah tradisi tua suku Pamona, yakni berburu sidat di malam hari dengan memanfaatkan sinar lampu dari perahu.
TULANG BELULANG YANG MENGHIDUPKAN SEJARAH
Di dalam goa yang berkelok dan gelap, tersimpan tengkorak manusia yang berasal penduduk suku Pamona terdahulu. Menurut warga setempat, tengkorak di Goa Pamona tak lagi sebanyak dulu. ‘’Mungkin lapuk dan keropos terkena rembesan air,’’ begitu ucap warga setempat. Butuh nyali untuk masuk di dalam gua yang dinaungi batuan batugamping malihan itu. Tak jauh dari Gua Pamona, situs dan bebatuan serupa juga bisa ditemui. Tepatnya di Ceruk Tangkaboba, Tentena. Di sini, batok kepala, tulang kaki dewasa dan anak-anak tersusun rapi di wadah kayu yang menyempil di ceruk batu gamping yang tinggi menjulang.
Arkeolog Iksam Djorimi mengatakan, tengkorak yang banyak ditemui di sekitar Danau Poso dan sekitarnya, menggambarkan tentang budaya pemakaman di abad 19. Nenek moyang Pamona mengenal pemakaman dalam dua tahap. Pemakaman sekunder atau pemakaman pertama. Ini adalah tradisi zaman pra sejarah khususnya jaman megalitik, tentang bagaimana leluhur suku bangsa Pamona melakukan penguburan. Prosesnya, tubuh jenazah ditaruh di atas tambea (wadah penguraian) kemudian diletakkan di tiang kayu pada ketinggian tertentu, untuk membiarkan jasad mayat terurai oleh proses alami. Waktunya, berbulan-bulan bahkan tahunan.
Setelah mengering, tulang belulang kemudian dibersihkan lalu dibuatkan prosesi ritual penguburan kedua yang diletakan dalam wadah semacam peti disertai bekal kubur. Bekal kubur berupa barang berharga diletakkan dalam wadah terpisah yang terbuat dari tembikar, kemudian diletakkan di sisi wadah kayu yang berisi tulang belulang. ‘’Pada tahun 90-an, saya masih mendapati perhiasan di sekitar sini,’’ jelas Iksam menunjuk tumpukan tengkorak. Pada beberapa temuan ada tempayan kubur. Biasanya hanya diletakkan di permukaan tanah, ada pula yang di dalam tanah. Kompleks temuan tengkorak yang ada di sekitar Danau Poso, menurut dia adalah kuburan komunal. Sampai saat ini tradisi kuburan komunal masih sering dipraktekan oleh masyarakat Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan dan beberapa wilayah Kalimantan.
Iksam menyebut, Sulawesi Tengah khususnya warga Tentena di Kabupaten Poso, pantas bersyukur. Tulang yang berserak telah menghidupkan sejarah peradaban leluhur suku Pamona. Sehingga sejarah terus hidup, dikunjungi, dipelajari dan perbincangkan oleh generasi secara turun temurun. Model pemakaman ini menurut dia, saat ini masih berlaku di Toraja, Sulawesi Selatan. Di sejumlah daerah di Sulawesi praktek pemakaman yang sama juga dilakukan. Namun penyebutan wadah kayu di tiap daerah beragam sesuai bahasa daerah setempat. Di wilayah timur Morowali disebut soronga dan erong di Toraja serta lumu di Daerah Poso.
Temuan menarik lainnya, jelas Iksam adalah tatakan yang tertera di setiap wadah kayu tempat mayat-mayat itu disimpan. Sayangnya, tatakan itu makin memudar dikerat usia, sehingga tidak bisa terbaca dengan jelas. ‘’Yang pasti hiasan dan ukiran di wadah kayu, menandakan status sosial dari jenazah yang bersangkutan. Semakin beragam dan rumit hiasannya, makin tinggi status sosialnya,’’ rincinya. Ragam hias pada wadah kayu, menurut Iksam juga menunjukan tingkatan dengan status sosial tertentu. Mulai dari ragam hias biasa menggunakan simbol dedaunan, semi sakral bersimbol hewan hingga yang sakral dengan simbol alam. Menurut dia, praktek penguburan ini usianya belum terlalu tua masih dalam bilangan ribuan tahun. Penguburan seperti ini pertama kali dilaporkan pada akhir abad 19 tetapi baru mulai ditulis pada 1907.
Khusus di Ceruk Tangkaboba tak hanya terdapat tulang belulang. Objek lainnya adalah batu gamping dan endapan danau. Dr Muhamad Herjayanto pakar Budidaya Perikanan dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten menduga, serakan cangkang kerang corbicula possoensis dan keong tylomelania centaurus di sekitar ceruk Tangkaboba, dulunya adalah Danau Poso. Kemunculan cangkang kerang dan keong tersebut, menurut Geolog dari Universitas Tadulako Ir Riska Puspita ST MT, dimungkinkan oleh dua hal. Dulu, kawasan yang kini menjadi situs cagar budaya itu adalah bagian dari danau. Lalu jebolnya bendung alam yang diakibatkan oleh pergerakan bumi, menyebabkan air danau surut sehingga meninggalkan jejak hewan air seperti yang terlihat saat ini. Gua Pamona, Ceruk Tangkaboba dan Gua Latea, sebenarnya adalah relik jiwa atau saksi bisu perjalanan waktu yang menyimpan serpihan keabadian maupun kenangan yang tak lekang oleh masa.
MENJADI OBJEK PENELITAN KEBUMIAN
Di dua lokasi ini didapati batugamping malihan dengan ciri, keabuan, masif, pemilahan baik, terdiri dari lumpur-lumpur karbonat, keras dan kompak, sudah terkristalisasi. Foliasi (susunan lapisan dalam batuan metamorf yang terbentuk akibat tekanan dan panas), berkembang baik serta terdapat mika yang belum terfoliasi. Selain itu, pengampu mata kuliah Petrologi dan Geologi Ekonomi di Universitas Tadulako ini, menjelaskan, terdapat mineral hitam hornblende (memanjang) yang tipis. Bentang alam umum pada lokasi ini merupakan perbukitan kars. Dilihat dari letaknya, Gua Tangkoboba adalah ceruk dibawah kaki tebing dengan ketinggian kurang lebih 30 meter. Iksam Djorimi menambahkan, mika dalam batuan yang didapati di Ceruk Tangkaboba, adalah pernik busana dari kain kulit di sekitar Lembah Bada.
Sementara, di Gua Pamona, Badan Geologi mengidentifikasi terdapat batugamping formasi Poso. Pada lokasi tersebut batugamping terumbu dengan cir warna putih keruh, jenis packstone, pemilahan buruk, keras dan kompak. Masih di Goa Pamona, di beberapa tempat terdapat fragmen berupa koral, foram besar, dan batuan. Matriks terdiri dari batuan dan mineral (jarang) dengan semen lumpur karbonat. Ketebalan batugamping ini mencapai 5 m. Bentang alam umum pada lokasi ini merupakan perbukitan kars. Dimensi mulut gua panjang 3 m tinggi 1,5 m. Terdiri dari 12 kamar yang dihubungkan oleh lorong, endokars seperti stalaktit dan stalakmit yang masih berkembang dan membentuk pilar-pilar gua yang baru. Riska Puspita menyebut, komposisi batuan di dua tempat ini, sangat bermanfaat tidak saja dari sisi wisata melainkan menjadi objek penelitian kebumian. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Bahrul Idrus/Institut Mosintuwu