Food Estate Desa Talaga, Kayu Ditebang, Harapan Warga Ambyar

SUDAH LAND CLEARING – KPN Food Estate Talaga yang terletak di Desa Talaga Kecamatan Dampelas – Kabupaten Donggala. 200 hektar lahan sudah dibuka

TAKWIM, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Talaga,  baru saja mengikuti Dialog Publik Kajian SES KPN Talaga di Palu, pada 17 Februari 2025. Tangannya menenteng tas berisi dokumen, tentang KPN Talaga di Kecamatan Dampelas, Donggala, Sulawesi Tengah.

Dia menghela napas panjang, saat diberondong pertanyaan tentang Kawasan Pangan Nasional (KPN) Talaga. “Sudah dua tahun. “Tapi manfaatnya tidak terasa bagi warga kami,’’

Sebagai aparat Desa Talaga, Takwim tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. KPN Food Estate Talaga, yang digadang-gadang menjadi harapan baru bagi warganya, nyatanya justru menimbulkan lebih banyak masalah.

Di awal, warga diberi harapan. Hutan dibuka, kayu-kayu ditebang dan dijanjikan hasil penjualannya akan dibagi 50 persen untuk masyarakat. Tapi janji itu cerita kosong. Uang hasil kayu menguap entah ke mana. Tak sepeser pun jke tangan warga.

Belum selesai urusan kayu yang lenyap, datang lagi kabar buruk. Warga dilarang menggarap lahan yang telah mereka kelola turun-temurun sejak 1973. Aparat melarang mereka bertani di tanah mereka sendiri, dengan alasan semua tanah harus klir (bersertifikat).

KPN Food Estate di Desa Talaga dikelola oleh 400 warga dari tiga desa di Kecamatan Dampelas: Desa Talaga 274 KK, Desa Kambayang dengan 60 KK dan Desa Sabang 66 kepala keluarga.

Sebagai desa dengan wilayah terbesar, Desa Talaga mendapatkan kuota warga paling banyak. Harapan yang dulu disemai, kini berubah menjadi kekecewaan. Food Estate yang dijanjikan membawa kesejahteraan, justru menyisakan jejak luka.

Panen yang Misterius

Meski menuai banyak masalah, pengelolaan Food Estate di Desa Talaga terus berjalan. Takwim menyebutkan sekitar 200 hektare lahan telah ditanami pepaya, jagung, dan pisang.

“Sepengetahuan saya, sudah ada yang dipanen,” katanya. “Tapi hasilnya ke mana, kami tidak tahu.” Ketidakjelasan ini semakin menambah deretan pertanyaan yang menggantung di benak warga. Namun masalah belum berhenti di situ.

Sebagai Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan Desa Talaga, Takwim berupaya mencari jawaban. Ia mendatangi Koramil Damsol untuk meminta kejelasan tentang alasan di balik pelarangan tersebut.

“Katanya mau diserahkan kepada masyarakat,” ujarnya dengan nada heran. “Tapi ini malah dilarang.”Bagi Takwim dan ratusan warga Desa Talaga, Food Estate kini bukan lagi harapan, melainkan teka-teki yang semakin sulit dipecahkan.

HANYA DIJANJI – Tak kunjung mendapat pembagian lahan di KPN Talaga , Ibu Eul Caria menanam cabe di tanahnya sendiri.
Teka-Teki Food Estate

Dalam pertemuan itu, jawaban yang diberikan oleh pihak Koramil Damsol justru menambah kebingungan. Mereka menegaskan bahwa para petani belum diperbolehkan mengolah lahan mereka.

“Semua lahan harus disterilkan dulu,” kata mereka, seperti yang diingat Takwim.” Ia terdiam. Pernyataan itu hanya menambah tanda tanya. Kapan lahan dinyatakan klir dan sertifikat diberikan? Kenapa warga dilarang mengolah tanah yang sudah mereka garap turun-temurun?

Di sisi lain, ada beberapa warga yang tetap nekat menggarap tanah mereka di dalam kawasan Food Estate. Namun hasil panen mereka hanya bisa dinikmati sendiri, tanpa kepastian pasar yang dijanjikan pemerintah.

“Jadi, klaim pemerintah yang katanya akan membeli hasil pertanian warga, mana buktinya?” Takwim menggeleng, heran.

Yang ia lihat sejauh ini, warga memanen sendiri, menjual sendiri, tanpa campur tangan pemerintah. “Mereka hanya bisa menggantung hasil panennya di depan rumah,” lanjutnya. “Kadang laku, kadang tidak.”

KPN Talaga juga menyisakan konflik. Pendamping Petani Desa Talaga Sujud Sahwi, mengatakan, land clearing seluas 200 hektar  telah menghilangkan garis-garis yang dulu menjadi pembatas kepemilikan warga. Mereka saling klaim lahan yang batasnya lenyap.

Namun, persoalan ini bukan hanya di antara mereka sendiri. Warga juga berhadapan dengan Dinas Kehutanan dan Dinas Pertanian Sulteng. Semua bermula dari hasil tebangan kayu di lahan tersebut, yang seharusnya menjadi hak mereka. Namun, uang hasil penjualan kayu itu raib tanpa jejak.

Ibu Eul Caria duduk di depan rumahnya. Tangannya meremas sudut bajunya. Matanya menatap kosong ke kejauhan, kearah lahan yang dijanjikan akan menjadi miliknya.

“Satu hektare, itu kata mereka,” suaranya terdengar datar, tapi ada kepedihan yang sulit disembunyikan. “Sampai sekarang, mana?”

Ia bukan satu-satunya. Ada 400 kepala keluarga di Desa Talaga yang juga masih menunggu janji pemerintah. Seharusnya, mereka mendapat lahan dalam proyek KPN Talaga. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Mereka bahkan dilarang masuk ke lokasi tersebut. “Saya pastikan kami semua belum dapat tanah itu,” katanya.

Dan ada satu hal lagi yang terus mengusiknya—10 ribu bibit durian yang dulu dipamerkan saat Wakil Presiden Ma’ruf Amin datang untuk meresmikan proyek ini. Bibit-bibit itu seharusnya menjadi simbol harapan. Tapi kini, harapan itu ikut raib.

“Katanya dibawa ke Donggala,” Eul mendengus pelan. “Entah benar, entah tidak.” Yang jelas, bagi warga Talaga, janji-janji itu tak lebih dari angin yang berlalu.

Banyak Masalah, Pemrov Klaim KPN Talaga Baik Baik Saja

Di Desa Talaga, para petani mengeluhkan minimnya manfaat KPN Talaga. Namun, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah punya pandangan berbeda. Menurut Tim Ahli Gubernur Sulteng, Ridha Saleh, proyek ini justru menunjukkan kemajuan positif.

Ridha menyebutkan, saat ini terdapat 200 hektare lahan yang sudah ditanami palawija. Hasil panennya telah dijual ke pasar lokal. Meski belum dalam skala besar,tapi pencapaian ini sebagai bukti, program berjalan sesuai rencana. Ridha mengklaim hasil penjualannya dinikmati oleh warga selaku pemilik tanaman.

Klaim Edang sapaannya dimentahkan oleh Takwim dan Eul Caria. Takwim tidak melihat hasil palawija yang dari kawasan KPN. Sedangkan Caria, mengaku pernah sekali melihat dijual di pasar lokal. Buahnya kecil-kecil. Ia sendiri tidak berminat membelinya.

Edang melanjutkan, pemerintah membentuk koperasi yang beranggotakan 400 petani. Mereka akan menanam pisang. Nantinya akan dikirim ke Kalimantan Timur. “Ini untuk memastikan hasil panen mereka terserap dengan harga kompetitif,” ujarnya.

Upaya lain yang dilakukan adalah pendirian sekolah lapangan. Bertujuan meningkatkan keterampilan mereka dalam bercocok tanam. “Petani di sini masih mengandalkan cara lama,” katanya. “Kalau mereka belajar teknik baru, hasil panennya bisa lebih baik dan laku di pasar.”

Dengan harapan itu, para petani mulai mencoba hal-hal baru. Memilih bibit unggul, mengatur pola tanam, dan memahami kebutuhan pasar.

Meski pemerintah optimistis dengan perkembangan KPN Talaga, di sisi lain, keluhan dari para petani masih terdengar. Apakah program ini benar-benar berhasil, atau hanya sekadar klaim di atas kertas? Waktu  akan menjawab.

Terkait keluhan soal hasil penjualan kayu, Edang mengaku tidak mengetahui detailnya, karena urusan teknis sepenuhnya ditangani oleh Perusahaan Daerah Sulteng (Perusda). Namun, ia memastikan bahwa kayu yang dijual oleh Perusda adalah kayu legal. “Soal aliran uangnya dan ke mana hasilnya, itu bisa ditanyakan langsung ke Perusda,” katanya mengelak.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, hasil land clearing di atas lahan seluas 200 hektare menghasilkan sekitar 3.000 kubik kayu, dengan nilai penjualan diperkirakan mencapai Rp2,8 miliar. Namun, saat dikonfirmasi mengenai angka ini, Edang kembali menghindar. “Kualitas kayu itu beragam. Harganya tidak sama. Tapi nanti bisa dicek langsung ke Perusda,” tambahnya.

Di sisi lain, Edang mempertanyakan aktivitas land clearing dan penanaman yang kini dilakukan oleh aparat TNI. “Kenapa ada kayu yang keluar dan diperjualbelikan? Saya bilang itu ilegal,” tegasnya.

Regulasi Ada, Masalah Lebih Banyak

Direktur Eksekutif Yayasan Ekologi Nusantara (Ekonesia), Azmi Sirajudin, mengungkapkan, proyek Food Estate di Desa Talaga jauh dari kata mulus. Dalam diseminasi hasil kajian KPN Food Estate Talaga, ia menegaskan program yang digadang-gadang menjadi lumbung pangan penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN) itu menyimpan banyak masalah.

Kajian yang dilakukan Ekonesia mencakup berbagai aspek. Mulai legalitas formal, dampak sosial-ekonomi masyarakat, hingga aspek lingkungan. Dari sisi regulasi, Kawasan Pangan Nusantara (KPN) yang lebih dikenal sebagai Food Estate ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulawesi Tengah Nomor 504/117.1/DBMPR-G.ST/2022 tertanggal 28 Maret 2022.

KAWASAN KPNDari 1.123 hektar lahan KPN Talaga baru di 200 hektar yang dilakukan pembersihan lahan

Namun, meskipun secara administratif memiliki dasar hukum, implementasinya di lapangan justru menuai banyak pertanyaan. Legalitas formal ada, tetapi bagaimana dengan hak-hak masyarakat yang terdampak?

Azmi Sirajudin melanjutkan, bahwa dalam implementasinya, Food Estate di Desa Talaga telah menimbulkan banyak masalah. Yang paling mencolok adalah minimnya transparansi dan akuntabilitas terhadap masyarakat setempat.

Sosialisasi yang seharusnya melibatkan semua warga. Ternyata hanya dilakukan lima kali dan terbatas di Dusun Lima Desa Talaga.

“Pemerintah gagal memenuhi prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal—tanpa paksaan,” ujar Azmi, merujuk pada prinsip padiatapa yang seharusnya diterapkan dalam pengelolaan kawasan ini.

Masalah lain yang mencuat adalah pelibatan masyarakat lokal yang sangat minim, serta ketidakpastian mengenai status lahan dan pengelolaan kawasan KPN Talaga dan sekitarnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Ekonesia, Azmi merekomendasikan beberapa langkah untuk memperbaiki jalannya proyek ini. Salah satunya adalah perlunya pemerintah, masyarakat, dan organisasi sipil untuk bekerja sama demi kelancaran KPN Talaga.

“Pemerintah harus membentuk safeguard atau mekanisme perlindungan untuk menangani keluhan dari warga,” tegas Azmi. Ia juga menambahkan, bahwa penting untuk melakukan moratorium terhadap proyek ini agar dapat melakukan evaluasi menyeluruh.

Lebih lanjut, ia mengusulkan dilakukan audit kelayakan KPN Talaga sebagai penyangga IKN, serta membentuk kelembagaan multipihak yang dapat mengatur pembagian hasil dan manfaat secara adil dan transparan.

Azmi melanjutkan bahwa salah satu rekomendasi penting yang diajukan Ekonesia adalah pengesahan kerangka hukum, sosial, dan lingkungan yang jelas untuk proyek KPN Talaga. Hal ini, menurutnya, sangat diperlukan agar proyek ini tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga memperhatikan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

“Selain itu, kami juga merekomendasikan penerbitan laporan berkala mengenai implementasi rambu pengaman yang sudah disepakati sebelumnya,” tambah Azmi. Laporan berkala ini, menurutnya, akan memastikan bahwa proyek ini berjalan sesuai dengan rencana dan dapat dievaluasi secara transparan.

Tidak hanya untuk pemerintah, Azmi juga memberikan beberapa saran untuk masyarakat dan organisasi sipil. Salah satunya adalah pembentukan kelompok tani hutan yang dapat mengelola kawasan dengan cara yang lebih berkelanjutan. Ia juga mendorong untuk mengajukan izin perhutanan sosial dan melakukan pendampingan pemberdayaan masyarakat di dalam areal KPN.

“Jika semua rekomendasi ini dijalankan dengan serius, maka KPN Talaga bisa menjadi proyek yang efektif tanpa merugikan masyarakat dan lingkungan. Itu adalah concern kami,” tegas Azmi, menutup pembicaraan.

Misteri Kayu Hilang dan Janji yang Tak Terpenuhi

“Soal hasil penjualan kayu yang hilang, Sekretaris PT Pembangunan Sulteng Dedi Irawan menjelaskan panjang lebar.  Begini ia bilang. Kawasan KPN Talaga, bukanlah hutan. Melainkan Areal Penggunaan Lain (APL). Artinya, lahan itu bisa dimanfaatkan, termasuk kayu tegakan yang berdiri di atasnya.

WARGA DILARANG MASUKKawasan KPN Talaga, tak semua warga bisa mengakses kawasan yang diproyeksikan menjadi penyangga IKN itu.

Agar pemanfaatannya sah, Dinas Kehutanan menerbitkan dokumen Pengelolaan Kawasan Konservasi Non-Kehutanan (PKKNK). Dengan dokumen itu, kayu-kayu tersebut bisa ditebang dan dijual.

PT Pembangunan Sulteng, Perusda yang memegang PKKNK, lalu menggandeng investor  warga Desa Talaga. Kesepakatan dibuat. Tapi dalam perjalanannya, menurut Dedi, Ibrahim ingkar janji. “Tidak sesuai komitmen,” katanya.

Perusda tak tinggal diam. Mereka mencari investor lain dan bertemu dengan Ko Yang. Berbeda dari sebelumnya, investor ini berjanji akan memberikan bantuan semacam—dana CSR sebesar 20 hingga 30 persen.

“Jumlah pastinya saya tidak tahu. Perusda dapat Rp32 juta dari penjualan kayu,” ujar Dedi. Lalu, kemana uang hasil penjualan kayu sebenarnya? Itu pertanyaan yang hingga kini belum terjawab.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah penjualan kayu. PKKNK sudah berakhir sejak Desember 2024. Tapi, kayu-kayu dari kawasan itu masih terus keluar. Jika ada yang masih menjualnya sekarang, kata Dedi, “Itu pasti ilegal.”

Soal CSR warga Desa membantah menerimanya. Eul Caria mempertanyakan dana CSR yang katanya akan diberikan kepada warga. Petinggi perusahaan daerah menyebut ada dana kompensasi dari hasil penjualan kayu di KPN Talaga. Tapi bagi Eul, itu omong kosong. “Terima apa saya, Pak? Tidak ada itu,” katanya kesal.

Di kejauhan, suara mesin gergaji masih terdengar, serupa gema yang mengingatkan bahwa sesuatu terus diambil dari tanah ini. Wajah kaku para tentara menjaga lahan masih tertancap di benak warga. Tapi bagi Ibu Eul, Pak Takwim dan ratusan keluarga lainnya, yang tersisa hanya pertanyaan—dan janji yang dibiarkan lapuk bersama waktu. ***

Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Dok Ekonesia, Dok Pribadi

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan