FESTIVAL Tradisi Kehidupan (FTK) sebagai ajang untuk menemukenali tradisi pitarah yang nyaris punah kembali digelar. Festival kali ini berlangsung di Kelurahan Sawidago, Tentena digeber sejak 30 Oktober hingga 2 November 2024. Sebanyak 125 tokoh adat Pamona, berkumpul selama 3 hari membincang sedikitnya 7 dari 10 objek pemajuan budaya Pamona yang wajib dijaga, dilestarikan dan dibiasakan kembali pada kehidupan sehari-hari. Mereka, para tokoh akar rumput itu bak jembatan waktu, menghubungkan masa lalu yang penuh kearifan dengan masa kini yang penuh dinamika. Selama tiga hari berdiskusi secara itens, karena mereka ingim menjadikan warisan leluhur bukan sekadar kenangan, tetapi napas yang menyatu dalam kehidupan manusia modern hari ini.
Festival mengambil tema Mampakoroso Pampotiana Ada nTana yang berarti, memperkuat menjaga adat dan tradisi kehidupan. Tema ini ungkap Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali dielaborasi dari hasil kunjungan budaya oleh 20 orang tokoh adat Pamona ke Ngata Toro di Kulawi Kabupaten Sigi. Memperkuat menjaga adat dan tradisi, ungkap Lian yang menjadi fasilitator diskusi adalah bagaimana para tokoh adat, menggali dan mendokumentasikan nilai-nilai itu lalu kemudian diwariskan pada generasi setelah mereka. Peraih pengargaan Coexist Prize untuk gerakan interfaith dari Inggris pada 2012, mengaku terkesan selama berada di lobo (balai pertemuan) di Ngata Toro, menyaksikan anak usia 15 tahun fasih menuturkan sekaligus menjalankan nilai-nilai tradisi di sana. ‘’Bagi saya ini sangat keren,’’ ungkap Lian sambil tersenyum. Karena itu, Festival Tradisi Kehidupan menurut dia, berusaha untuk mentransformasikan pengetahuan tradisi lama kepada generasi saat ini. ‘’Ini bukan pekerjaan mudah, butuh kolaborasi yang komitmen yang kuat secara terus menerus dari banyak pihak,’’ aku Lian yang ditemui terpisah di Sawidago, Kamis 1 November 2024.
Sedikitnya ada 7 dari 10 unsur pemajuan kebudayaan yang dibahas dalam Festival Tradisi Kehidupan edisi ke-4 tersebut. Tujuh poin itu antara lain, tradisi lisan, adat istiadat, permainan rakyat, pengetahuan tradisional, ritus dan seni serta teknologi tradisional. Pertimbangan mengangkat 7 tradisi ini, setidaknya karena sebagian warga etnis Pamona masih melakukannya. Menurut Ketua Dewan Adat Pamona, Kristian Bontinge, menggali kebiasaan tradisi lama seperti merajut kembali benang sejarah yang hampir pudar. Dengan demikian menurut tokoh sepuh ini kekayaan budaya yang pernah hidup di masa lalu tetap berdenyut dalam jiwa generasi kini. Setiap tradisi yang dihidupkan kembali menurut dia adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Mengingat pentingnya hajatan tersebut, Ngkai Bontinge sendiri sedang dalam pemulihan kesehatan. Walau demikian, ia tetap menyempatkan hadir bersama para koleganya.
Para tetua adat dibekali lima pertanyaan kunci sebagai basis analisa tentang bagaimana status dan kondisi obyek pemajuan kebudayaan Pamona di Kabupaten Poso, apa saja yang mempengaruhi status dan kondisi tersebut, serta bagaimana menjaga obyek pemajuan kebudayaan yang masih ada, termasuk cara melestarikan hingga langkah apa yang perlu dilakukan untuk mewariskannya pada generasi muda. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang panjang dari para tokoh adat, 7 unsur tradisi lama tersebut, bisa diketahui seperti apa situasi dan kondisi saat ini termasuk faktor-faktor yang memengaruhi mengapa tradisi lama itu kian tenggelam bahkan dilupakan.
Tokoh adat perempuan asal Desa Saojo, Martina Labatu mengaku, tradisi lama sangat terpengaruh oleh arus perubahan, modernisasi, dan cara pandang generasi muda yang semakin beragam. Status tradisi lama kini menurut dia, sangat bergantung pada kepedulian para tokoh untuk melestarikannya. Antara yang memudar dan yang bertahan semuanya akan tersaring oleh waktu. Dan pada saat bersamaan menurut dia, generasi muda harus punya kemauan, kepedulian dan mau melestarikan tradisi budaya. ‘’Tanpa itu maka apa yang kita bicarakan hari ini, tidak akan memberi dampak pada pelestarian kebudayaan,’’ katanya mengingatkan.
Ia menilai, gempuran teknologi dan budaya asing membuat keberadaan tradisi lama seolah berada di persimpangan. Tradisi itu bisa terus hidup atau lenyap, tergantung pada dua hal. Pertama, sejauh mana para tokoh tua mendokumentasikan dan mewariskannya. Kedua, sejauh mana generasi muda menghargai dan merawat jejak yang tersisa itu. ‘’Sebagai seorang perempuan penjaga adat, keterlibatan saya dalam pemajuan budaya saya anggap sebagai tugas suci. Ini adalah panggilan jiwa untuk menjaga, merawat, dan meneruskan nilai-nilai luhur pendahulu,’’ ulasnya. Generasi muda perlu disadarkan agar tidak hanya mengenal jati diri mereka, tetapi juga bangga akan kekayaan warisan nenek moyang yang mengalir dalam darah mereka.
Diskusi yang difasilitasi Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali dan disaksikan Andi Syamsu Rizal Kepala Balai Pemajuan Kebudayaan XVIII Wilayah Sulteng-Sulbar, berlangsung hidup. Seperti tiga edisi festival sebelumnya, para tokoh sepuh sangat antusias di kelompok masing-masing. Dua utusan dari Lembah Bada juga tak kalah antusiasnya. ‘’Kami hanya dua orang, mudah-mudahan pertanyaan bisa kami jawab semua,’’ ungkap Agus Tohama. Sebagai delegasi ‘’minimalis’’ keduanya terlihat sering terlibat diskusi serius dengan Kepala Balai BPK Andi Syamsu Rizal dan Neni Muhidin pegiat literasi.
Ketua Dewan Adat Kelurahan Sawidago Hajai Ancura mengatakan, Festival Tradisi Kehidupan dilaksanakan dengan tujuan untuk membangun jaringan komunikasi antar tokoh-tokoh adat Pamona untuk membicarakan, menjaga dan menghidupkan kembali tradisi adat dan kehidupan di Kabupaten Poso. ‘’Selama ini kita hanya mengandalkan cerita lisan. Di sini kita berkumpul untuk mendokumentasikan semua semua tradisi yang akan kita wariskan kepada anak cucu,’’ katanya. Ditemui di kediamannya, Hajai Ancura mengaku prihatin dengan situasi generasi kini yang tak lagi memandang tradisi lama sebagai sesuatu yang penting. Karena itu, hajatan seperti Festival Tradisi Kehidupan sangat perlu, untuk membicarakan sekaligus mendokumentasikannya kembali.
Tokoh adat perempuan asal Bada, Evi Kawewo menjelaskan panjang lebar kenapa tradisi lisan tetap penting dirawat. Karena tradisi lisan menurutnya adalah pusaka tak tertulis. Ia hidup dalam cerita dari mulut ke telinga dan dari hati hingga ke jiwa. Kini, dengan disrupsi akibat inovasi dan kemajuan teknologi, suaranya kian pudar, tertelan oleh deru zaman. Ia menilai, dengan setiap cerita yang tak lagi diucapkan, maka sebagian dari jati diri kita pun menjadi hilang. Saat tradisi lisan kian dilupakan, cerita-cerita itu layaknya embun yang menguap. Meninggalkan ingatan yang kian samar tentang akan siapa diri kita sebenarnya. Bagi dia, tradisi lisan bukan sekadar cerita. Ia adalah jiwa leluhur yang menanti untuk didengarkan kembali. ‘’Saya sangat antusias, tradisi lisan menjadi hal yang dibicarakan dalam festival ini,’’ ucapnya tersenyum.
BERAWAL DARI KEGELISAHAN
Festival Tradisi Kehidupan sejak edisi pertama hingga keempat, diawali dari kegelisahan tentang memudarnya adat dan tradisi Pamona. Keberadaannya bukan sekadar bergeser tetapi hilang dan tidak lagi dianggap penting untuk memengaruhi kehidupan sehari-hari. Jika ada yang melakukannya, itu pun hanya ada di beberapa desa dan di beberapa keluarga saja. Kepada wartawan menemuinya di Sawidago, Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali menjelaskan tradisi lama yang tidak lagi dianggap penting itu, harus secara sengaja dibicarakan dan biasakan kembali dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, tradisi-tradisi itu mempunyai nilai makna yang penting sebagai identitas orang Pamona. ‘’Out put dari ini adalah proses mengingat bersama, membangun ingatan kolektif tentang tradisi kehidupan masyarakat di Pamona,’’ ucap Lian. Dari proses mengingat itu diharapkan akan menggiring laku budaya secara berkelanjutan.
Saat ini sambung peraih penghargaan Gus Durian Award tahun 2020, yang dilakukan adalah proses menggali bersama para tokoh sepuh alias pematua adat. Pasalnya, mereka adalah orang-orang menjalani langsung sekaligus memberikan makna pada setiap tradisi dan kebudayaan itu. Di usia senja, mereka berhadapan dengan perubahan besar-besaran yang terjadi akibat inovasi, penggunaan teknologi baru hingga perubahan paradigma. Angin perubahan yang menerobos tanpa permisi dan menghempas ilai-nilai lama yang syarat makna, harus dikumpulkan kembali melalui pengalaman dan ingatan para tokoh adat.
Lian melanjutkan, setelah semua diingat, diidentifikasi kemudian dituliskan, langkah selanjutnya adalah mentransformasikan kepada generasi pewaris. Bentuknya, bisa banyak hal. Mulai dari memasukannya melalui kurikulum atau dimulai dari skala terkecil keluarga hingga membiasakannya melalui komunitas. ‘’Tantangannya memang di sini. Sikap resisten generasi digital native membuat proses membiasakan nilai-nilai dan tradisi lama menjadi tantangan yang saya rasa akan serius sekaligus menarik,’’ ujarnya tersenyum.
Lian juga menyinggung tentang gap terjal antara para pemuka adat dengan anak muda yang digadang-gadang bakal mewarisi nilai-nilai dan tradisi lama yang sudah terdokumentasi. Menurut dia ini bukan pekerjaan ringan. Komitmen, konsistensi dan kolaborasi dengan semua elemen adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi sehingga transformasi nilai yang diantarai gap terjal tersebut bisa dikikis. Gap ini menurut dia setidaknya bisa diatasi dengan menghadirkan ruang-ruang kreatifitas yang dibentuk di desa atau komunitas.
Tapi ia mengingatkan, ruang-ruang itu tidak boleh kaku misalnya dibuat dalam bentuk event. Jika ruang kreativitas yang tujuannya membumikan nilai-nilai lama dibuat dalam bentuk event atau pertunjukan akan mendistorsi makna. Ruang yang dibuat adalah tidak mengajarkan melainkan diinternalisasi dalam kehidupan setiap orang Pamona. Dalam proses internalisasi itu akan membangun kepercayaan diri untuk menerima dan mewarisi tradisi, budaya etnis Pamona. Lian Gogali termasuk yang memandang bahwa, mengajarkan tarian pada anak muda tanpa menginternalisasi nilai dan filosofi dari tarian itu sebagai sesuatu yang hampa. ‘’Tapi sekali proses membiasakan dan menginternalisasi ini memang tidak mudah dan bukan pekerjaan sebentar. Butuh proses, waktu, tenaga dan kesungguhan,’’ tutupnya.
DIDUKUNG BALAI PEMAJUAN KEBUDAYAAN KEBUDAYAAN
Gelaran Festival Tradisi Kehidupan mendapat dukungan dari Balai Pemajuan Kebudayaan Wilayah XVIII Sulteng – Sulbar. Seperti yang diucapkan, Kepala Balai Andi Syamsu Rijal, dukungan penuh dari instansi yang dipimpinnya adalah bagian dari kewajiban mengawal UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Kegiatan ini diakuinya, hasil dari komunikasinya dengan Institut Mosintuwu terkait dengan tradisi-tradisi yang masih ada di suku bangsa etnis Pamona di Poso. Dari festival ini ia berharap terdokumentasinya informasi peta jalan pemajuan kebudayaan etnis Pamona. ‘’Kami terlibat sekali ini kerjasama dengan Institut Mosintuwu. Kedepan harapan kami kerjasama serupa bisa berjalan lagi,’’ tegasnya. Kehadiran para tokoh adat menurut dia akan memberikan informasi untuk pengembangan pemajuan kebudayaan. Tak hanya itu, Syamsu Rijal mengatakan model pewarisan kepada generasi muda tetap akan dilakukan. ‘’Hanya teknisnya seperti apa konsepnya akan kita bahas nanti. Tapi sebagai langkah awal festival semacam ini sudah sangat bagus,’’ ungkapnya.
Festival Tradisi Kehidupan di Sawidago merupakan yang ke – 4 kalinya. Sebelumnya kegiatan dilaksanakan dalam rangkaian Festival Mosintuwu tahun 2022, lalu di Desa Peura pada Juni 2023 dan di Desa Dulumai Kecamatan Pamona Puselemba pada Oktober tahun 2023. Terdapat 10 unsur kebudayaan yang disebutkan dalam UU 5 tahun 2017 yaitu, adat istiadat, bahasa, manuskrip, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, permainan rakyat , ritus, seni, teknologi tradisional, dan tradisi lisan. Namun untuk festival ke-4 tersebut, hanya membahas 7 unsur. Pertimbangannya, ke-7 tradisi tersebut masih hidup di masyarakat Pamona.
Festival edisi ke-4, ini diisi beragam kegiatan budaya dari warga setempat. Antara lain, mesale yang berarti saling mengajak untuk bekerja sama melakukan suatu pekerjaan. Kemudian pepamongoka berisi tentang aktivitas para tetua ada dari berbagai desa akan diterima dengan adat Pepamongoka. Pagelaran kuliner desa pagelaran permainan anak tradisional, pagelaran dongeng tradisi serta pagelaran seni yang terdiri mobolingoni, modero, kayori dan tarian tradisional. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Yardin, Institut Mosintuwu