RANDA gadis remaja berparas ayu dan manis. Kulitnya putih dan bersih. Perawakannya semampai dengan wajah selalu ceria. Seakan ada malaikat yang setia mengajaknya bercengkerama. Ia putri seorang guru mengaji. Keseharian Randa yang dekat dengan ibunya, selalu diwarnai dengan kegiatan religius. Mulai dari belajar mengaji dan mendengarkan nasehat atau ceramah.
Sebait kalimat di atas dinukil dari Biografi singkat Randa nama kecil almarhum Siti Khadijah Toana, yang ditulis oleh Muh Subair, berjudul, Kiprah Hj Sitti Chadidjah Toana, Memperjuangkan HAM Perempuan di Palu – Biografi Tokoh Agama Perempuan – 2013.
**
Biografi singkat ini, menggambarkan bagaimana Sitti Chadidjah Toana sejak kecilnya, hidup dalam didikan nilai nilai agama yang ketat. Didikan keras orang tuanya inilah, yang kelak menjadi bekal suksesnya, sehingga mampu membawa organisasi pergerakan Aisyiah Sulteng pada level seperti yang sedang kita saksikan hari ini.
Rabu 21 Oktober 2020, pukul 05.30 wita, Bibi Ijah, demikian anak asuhnya menyapanya, harus menyerah pada takdir. Perjalanan panjang nan melelahkan itu diakhirinya subuh hari, saat usianya menyentuh 80 tahun, di kediamannya di kompleks Aysiyah – Jalan Hang Tuah Sulawesi Tengah. Hanya sepelemparan batu dari makam kakaknya, salah satu tokoh penting Sulawesi Tengah, H. Rusdi Toana.
Sekira tiga tahun lalu, penulis pernah berkunjung ke kediamannya. Saat itu, ia mengaku sudah sangat lelah. ”Saya sudah lelah nak. Anak anaku di panti baru beberapa orang yang bisa benar-benar siap melanjutkan kerjaan Bibi,” katanya ketika itu. Walau mengaku lelah, namun semangatnya terus menyala. Ia terus terlecut jika sudah menyangkut anak-anak pesantren yang butuh sentuhan pemberdayaan.
Dalam obrolan sejam lebih itu, gagasan-gagasannya tentang bagaimana perempuan harus berkiprah di medan dakwah terus menjadi pemikirannya. Ia bilang, dakwah perempuan itu spesifik. Karakter tegas dan lembut akan membuat pesan dakwah mudah diterima umat.
Belum lagi ungkapnya, tak semua hal-hal spesifik dalam diri perempuan dipahami dengan baik oleh mubaliq pria. Jika pun paham, kosa katanya akan sangat terbatas untuk mendeskprisikan detail perempuan dan keperempuanan.
”Bagi saya, berdasarkan pengalaman saya, pendakwah perempuan membahasakan kepentingan perempuan kepada audiens perempuan pesannya lebih mudah diterima dan mengena,” katanya sambil membuka album foto mengenang kiprahnya di organisasi yang dibesarkan dan membesarkannya – Aysiyah.
Panggilan jiwanya sebagai penggerak, mengantarkan dirinya sebagai Pimpinan Aysiyah selama empat periode 1985 – 2008. Pada masa periodenya, Bibi Ijah mendirikan sedikitnya 90 TK Aysiyah dan sejumlah lembaga pendidikan yang bernaung dibawah Badan Otonom Muhamadiyah – Aysiyah. Di antaranya, Madrasah Ibtidaiyah Aysiyah, Madrasah Tsanawiyah Aysiyah, Madrasah Aliyah Putri Aysiyah dan Koperasi Pondok Pesantren Khairunisa. Ia pun memrakarsai berdirinya Panti Asuhan Putra Muhamadiyah Nunu dan Panti Asuhan Putri Muhamadiyah di Mamboro.
Jejak pengabdian, pensiunan Kepala Seksi Perikanan dan Peternakan Kanwil Departemen Perdagangan Provinsi Sulawesi Tengah – 1993 ini, juga bisa telusuri pada aksi kemanusiaan lainnya. Medio 2000, ketika kerusuhan Poso jilid dua, sedang menuju puncaknya, gelombang pengungsi Poso terus membanjiri Kota Palu. Di sini, peran Bibi Ijah tak bisa diabaikan. Sekaligus meneguhkan besarnya perhatiannya pada anak-anak.
Saat itu, sekira pukul 01.00 dinihari, Bibi Ijah memerintahkan sejumlah aktifis PII dan HMI MPO. Dua organisasi pergerakan yang relatif dekat dengan Bibi Ijah, untuk menjemput 83 anak-anak pengungsi Poso di Tawaeli. Berangkatlah beberapa orang, bergerak menuju arah utara yang berjarak sekira 20 kilo dari Kota Palu.
Tiba dari Tawaeli, di malam buta, anak-anak itu, dikumpulkan di Masjid Ulil Albab – Kompleks Unismuh Palu – masjid yang 20 tahun kemudian digunakan untuk menshalatkan dirinya. Anak-anak lalu itu dikumpulkan. Bibi Ijah turun langsung menyiapkan makanan untuk anak-anak malang itu.
Usai makan Bibi Ijah mengarahkan untuk ditempatkan di salah satu ”rumah aman” di wilayah Palu Selatan. Saat bersamaan, Bibi Ijah berkoordinasi dengan Tokoh Alkhairaat, Umar Awad dan Ibu Saadiyah Aljufri.
Selanjutnya, anak-anak ini di bawah ke kediaman dua tokoh Alkhairaat itu. Usai mendapat penguatan rohani – selanjutnya anak-anak ini ditangani Bibi Ijah. Sebagiannya ditempatkan di Panti Asuhan Putri Aysiyah di Jalan Hang Tuah dan sebagiannya di safe house – Jalan Dewi Sartika – Palu Selatan.
Keterlibatannya dalam penanganan pengungsi Poso terus berlanjut hingga situasi di Bumi Sintuwu Maroso itu – benar-benar aman.
Disamping kiprah kemanusiaannya, sisi lain yang pantas dikenang dari sosok yang kemana-mana selalu menggunakan kendaraan dinas Hiace putih berlogo Aysiyah, adalah saat anak-anak Risma Al Haq Palu – kerap mengetuk pintu rumahnya untuk meminta beras. Dalam hitungan penulis, sedikitnya tiga kali, mendatangi kediamannya untuk maksud yang sama. Saat itu, usai Idul Fitri – semestinya cadangan beras jatah amil zakat (pengurus zakat) masih tersedia. Pasalnya, Idul Fitri baru lewat sepekan.
Beras ludes. Ternyata amil zakat lupa mencadangkannya untuk Pengurus Risma. Sempat terpikir ke Pesantren Putra Nurul Fallah – mengingat almarhum Ishak Arif adalah pengurus Muhamadiyah dan bersama dengan Mendiang Rusdi Toana adalah pelindung Risma Al Haq. Namun rencana ke PA Nurul Fallah batal.
Jadilah PA Putri Aysiyah jadi alternatif paling memungkinkan. Di kediamannya, kami diterima di ruang tamu. Setelah bicara ala kadarnya – penulis dipercaya sebagai juru bicara. Usai menyampaikan misi utama, Bibi Ijah sontak merespons kami dengan nada tinggi. ”Bagaimana bisa seperti itu. Kami di sini juga ada anak-anak panti, kenapa minta kesini,” tanyanya.
Ia heran sebagai amil zakat, mestinya mendapat bagian. ”Kamu ini ngurusnya bagaimana. Ya sudah sana, ambil beras satu karung,” ujarnya.
Jadilah kami tergopoh menuju gudang beras. Ternyata beras pun sudah disiapkan diteras. Tak punya kendaraan, Bibi Ijah masih merogoh Rp5.000 untuk ongkos angkot. (Hehee..maafkan kejahilan kami Bibi).
Walau tidak pernah menjadi binaan langsung, hubungan dengan almarhum sangat intens. Pada 2008, saat ia tak lagi mempunyai otoritas di lembaga-lembaga yang didirikannya, Bibi Ijah pernah menceritakan banyak hal soal kiprahnya di lembaga-lembaga tersebut. Terlebih sejak awal-awal berdirinya. Membangun gedung yang refresentatif, menjalin relasi dengan para petinggi maupun sesama tokoh perempuan. Mengupayakan donatur, hingga berdirilah aset gedung seperti yang disaksikan hari-hari ini.
Ia menyebut sejumlah tokoh perempuan yang menjadi koleganya – seperti Ibu Kartini Pandan – almarhum, Ibu Saadiyah Aljufri, Ibu Baaks Abdullah, Ibu Ishak Moro (almarhum), Ibu Samijono dan sejumlah tokoh perempuan lainnya. Bersama tokoh tokoh ini, Bibi Ijah mengaku kerap melakukan diskusi yang berkaitan dengan isu-isu keperempuanan.
Rentang perjalanan pengabdian yang panjang itu, coba digenapinya dengan menjadi pengurus Partai Matahari Bangsa (PMB) Sulawesi Tengah pada 2009-2014. Bibi Ijah adalah satu-satunya Ketua PMB di Sulteng setelah itu tak ada lagi yang menggantikannya. Setidaknya, itulah yang sampaikan salah satu anak didiknya – sekaligus Sekretaris PMB Sulteng – Fery L Sirenja.
Soal keterlibatannya di politik praktis, ia membeberkannya pada pertemuan dengan penulis dalam suasana yang akrab dan melankolis, tiga tahun silam. Bibi Ijah sesekali mengusap matanya yang sembab – tatkala mengingat perlakuan yang diterimanya dari beberapa orang. Ia sendiri tak ingin menyebut perlakuan seperti yang dialaminya. ”Perjuangan begitu Nak. Ada pasang dan selalu ada surutnya,” katanya mencoba tegar.
Soal keterlibatannya di PMB – lebih karena panggilan nurani yang dalam intuisi politiknya – PMB cukup refresentatif mewadahi aspirasi politik Muhamadiyah dalam kancah politik praktis. Namun karir politiknya tak sebaik dan secemerlang kiprahnya di kerja-kerja kemanusiaan. Seiring dengan usia yang tak lagi muda, nasib politiknya pun meredup dengan tak lolosnya PMB – dalam treshold parlemen.
Karir politik boleh redup. Tapi komitmen pada kemanusiaan terus terjaga. Ia tidak redup oleh usia. Bibi Ijah masih terus memikirkan Pesantren Dhuafa yang didirikannya sejak 2013 – bahkan saat hembusan nafas terakhir, operasional Pesantren Dhuafa tetap dalam kontrol penuh dirinya.
Seperti yang diakuinya, di depan penulis. Ia sudah sangat lelah. Lelah secara fisik. Tapi semangatnya tak mengendur. Subuh hari, Rabu 21 Oktober, Bibi Ijah akhirnya lepas dari semua jerih lelahnya yang menyertainya – selama 80 tahun berkiprah dalam pengabdian yang tak bertepi.
Tulisan sederhana ini, hanya menukil sedikit dari kisah perjalanannya yang sangat kaya dan panjang. Sesingkat apa pun kenangan tentangnya, tetap relevan untuk diabadikan. Selamat Jalan Bibi Ijaj. Doa doa dari generasi penerusmu, terus menyertaimu menuju haribaaNya. Amin.
Penulis: Amanda
Foto-Foto: Amanda