HANYA sedikit orang yang diberkahi usia panjang. Salah satu yang sedikit itu, adalah Nenek Djidja. Usianya saat ini mencapai 106 tahun 5 bulan. Nenek asal Kelurahan Duyu itu, kini terpaksa harus tinggal di tenda terpal yang gerah, setelah gempa berskala 7,4 skala richter merusak rumahnya.
Nenek Djidja yang lahir pada 1912 sedikitnya sudah mengalami 7 kali gempa. Setidaknya itu yang diingatnya, saat ditemui di barak pengungsi Duyu. Gempa yang terjadi 28 September 2018, adalah gempa ke delapan yang dialami nenek Djidja.
Saat terjadi gempa pada 1 Desember 1927, nenek Djidja saat itu berusia15 tahun. Gempa ini mengakibatkan 14 orang meninggal dan 50 orang luka-luka. Disusul tiga tahun kemudian, tepatnya, 30 Januari 1930. Gempa tersebut mengakibatkan tsunami yang menyapu sebagian wilayah Pantai Barat Donggala.
Delapan tahun kemudian, 14 Agustus 1938, tsunami menerjang Teluk Bambu, Kecamatan Balaesang-Donggala. Sedikitnya 200 warga meninggal dan 790 rumah rusak akibat tsunami yang tingginya berkisar 8-10 meter itu.
Berikutnya, tsunami kembali melanda Pantai Barat Donggala, pada 1 Januari 1968. Terjangan tsunami setinggi 4 meter tersebut menyebabkan 9 orang meninggal dunia. Kemudian 11 Oktober 1988, gempa terjadi di Donggala. Ratusan rumah rusak parah. Lalu 17 November 2008, terjadi di Laut Sulawesi. Empat orang meninggal pada peristiwa ini. Berikutnya, gempa pada 18 Agustus 2012 di Kabupaten Sigi dan Parigi Moutong, mengakibatkan 8 orang wafat.
Ditemui di tenda berwarna biru, nenek Djidja tak bisa lagi menyimak setiap pertanyaan dengan sempurna. Jadilah sang cucu sebagai penerjemah dengan bahasa Kaili berdialek Ledo. Ia tampak antusias menjelaskan pengalamannya saat ditanya rentetan gempa yang terjadi selama rentang hidupnya.
Tak semua peristiwa gempa yang dialaminya diingat dengan baik. Namun menurut penuturan sang cucu, dia kerap mendapat cerita kedahsyatan gempa yang dialami nenek Djidja. Sang cucu menceritakan, tak semua detail kejadian gempa langsung diketahui saat itu juga. Terbatasnya transportasi dan komunikasi, menyebabkan korban gempa yang terjadi di Donggala atau Sigi baru diketahui beberapa hari bahkan berbulan-bulan kemudian.
Bahkan untuk peristiwa yang terjadi di Teluk Palu pun, korbannya tak serta merta langsung diketahui. Sebab akses transportasi dari Duyu ke Teluk Palu yang berjarak tak sampai 10 kilometer itu, harus ditempuh dengan jalan kaki. Hanya beberapa orang yang mempunyai gerobak sebagai moda transportasi untuk angkutan barang dan orang. Ada juga yang mempunyai kuda. Namun jumlahnya tak seberapa.
”Biasanya, jika ada keluarga dari jauh yang datang bertandang ke rumah, barulah diketahui ada korban gempa di Donggala atau Sigi,” katanya, menerjemahkan keterangan Nenek Djidja. Seiring usia yang makin menua, fungsi indera Nenek Djidja mulai berkurang.
Untuk berbicara, sang cucu yang bertugas menerjemahkan pertanyaan wartawan harus menempelkan mulutnya ke telinga sang nenek. Beberapa tahun terakhir, kata sang cucu, pendengarannya terus berkurang. Artikulasi suara pun makin melemah. Namun demikian ia masih mengerti pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Termasuk saat ditanya, bagaimana cara orang-orang kala itu menyelamatkan diri saat gempa datang. Orang tua dan kerabat mereka di perkampungan Duyu diingatkan untuk segera lari ke tempat lebih tinggi jika terjadi gempa. Kadang tanda bahaya ditandai dengan bebunyian dari alat tertentu, yang membuat warga siaga.
Nenek Djidja mengakui, dari semua peristiwa gempa yang pernah dilaluinya, gempa terakhir adalah yang terdahsyat. Ia mengaku bisa merasakan goncangan hebat yang membuat sejumlah rumah roboh dan pemukiman di sebagian Balaroa luluh-lantak.
Beruntung, katanya, ia dikelilingi anak-anak dan cucu, sehingga dengan cepat dievakuasi di tempat aman. Hingga akhirnya menginap di tenda yang kini ditempatinya. Kini diusianya yang seabad lebih, Nenek Djidja mengaku bersyukur diberi umur yang panjang. Bisa mengalami dan menyaksikan beragam peristiwa dalam rentang sejarah yang sangat panjang. Termasuk menyaksikan perubahan lanskap dusun kelahirannya di Duyu yang terus berubah dari waktu ke waktu.
Ia juga mengaku bahagia menyaksikan perkembangan anak-anaknya. Diasuh sejak balita, beranjak remaja dan dewasa lalu menua bersama dirinya. Kebahagiaan tak terhingga juga saat ia bersama cucu dan cicitnya.
Salah satu anaknya bahkan kesulitan menghitung jumlah cucu dan cicit yang kini entah berjumlah berapa. Kini, sang nenek menjalani hari-hari bahagianya bersama orang-orang yang menyayanginya.
Penulis: Yardin Hasan
Editor: Ika Ningtyas
artikel ini adalah republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018