TENDA berdinding terpal cokelat itu tampak lengang. Senyap. Tidak terdengar suara dari dalam. Dari luar terlihat, tenda berayun dengan gerakan yang cukup terukur. Saat melongok, di dalam tenda berukuran 3×4 meter, seorang perempuan berkerudung tampak duduk menekuk kakinya.
Ia mengayun naik turun ayunan kain. Sesekali, tatapannya yang kosong melihat kedalam ayunan yang terus bergerak nyaris tak berhenti itu.
Sejak peristiwa gempa bumi yang disusul tsunami dan liquefaksi, hati Asnida (41) selalu diliputi kesedihan. Anaknya, Novia yang berusia, 1 tahun 10 bulan, hanya bisa tidur. Tak mampu berdiri berdiri. Tungkai kakinya tak mampu menahan bobot tubuhnya yang hanya 7 kilogram.
Asnida pantas bersedih. Enam bulan lalu, tepatnya sebelum peristiwa gempa, anaknya Novia adalah bocah cantik yang ceria. Pembawaannya selalu gembira. Merangkak dan membuat gerakan khas anak seusianya. Namun seiring waktu, saat asupan gizi tak lagi memadai, pembawaan seorang bocah yang sedang lucu-lucunya, tiba-tiba menghilang.
Saat kunjungan tim kesehatan ke shelter pengungsian, anaknya didiagnosa mengalami gizi buruk. Saat mengetahui hal itu dari dokter, Asnia mengaku tak bisa berbuat banyak. Sebelum gempa saat usaha jualan warungnya berjalan lancar ia tidak kesulitan memenuhi asupan gizi yang cukup untuk keempat anaknya.
Usaha jualan barang campuran miliknya, kini tak bersisa diterjang tsunami. Bersamaan dengan itu, rumahnya di Jalan Kampung Nelayan juga habis. Kini, jadilah mereka sebagai penghuni tenda di Jalan RE Martadinata – Kompleks Lapangan Golf Kelurahan Talise, Mantikulore.
Beberapa hari setelah gempa, aku Asnida, suplai susu dan makanan serta popok bayi masih terus mengalir. Enam bulan musibah berlalu, bantuan untuk anak-anak mulai tersendat. Pada saat tertentu, bahkan tidak ada sama sekali. Itu sudah berlangsung sejak lama.
Bersamaan dengan itu, anak-anaknya mulai kekurangan makanan sehat untuk bayi. Hingga akhirnya, ketiadaan suplai makanan bayi mengakibatkan anaknya Novia menderita gizi buruk. Bahkan kini bocah berusia 1,10 bulan itu tak mampu untuk sekadar berdiri.
Di tengah kesusahan yang mendera kehidupan keluarga ini, Asnida mengaku pihak Puskesmas masih sesekali membantu memberikan makanan seperti, bubur, ikan dan sayuran untuk anaknya. Namun bantuan semacam ini, tidak tiap saat.
‘’Tapi untuk susu beberapa hari ini sudah tidak ada lagi,’’ katanya. Padahal kebutuhan susu untuk anaknya yang divonis menderita gizi buruk, mestinya setiap hari.
‘’Susu balita kan mahal pak. Suami belum dapat pekerjaan tetap, hanya kumpul-kumpul besi tua. Mau tidak mau anak-anak dikasih teh manis atau air gula, kalau tidak ada, tinggal air galon saja dikasih minum,’’ ujarnya.
Ichal pengungsi lainnya di lapangan golf mengaku, selain kebutuhan susu dan makanan balita, yang terpenting adalah hunian sementara (huntara). Hingga kini belum kabar soal huntara belum jelas.
‘’Sudah terlalu lama kami hidup ditenda. Kami juga ingin cepat-cepat bisa pindah ke Huntara seperti pengungsi lainnya. Kasihan anak-anak dan ibu-ibu. Apalagi istri saya sekarang sedang hamil tua,” katanya.
Menurut Ichal, sejauh ini bantuan sembako masih ada diberikan dari pemerintah. Ia bersyukur karena sangat membantu warga pengungsian. Sedangkan pemeriksaan kesehatan juga sebelumnya rutin, saat ini sudah hampir seminggu pemeriksaan kesehatan tidak ada lagi.
“Memang yang sudah hampir tidak pernah ada lagi bantuan susu anak-anak. Anak-anak yang ada di pengungsian rata-rata tinggal minum teh manis dengan air gula saja,” akunya.
Penulis+foto: Shandy Aulia
Editor: Yardin Hasan
artikel ini adalah republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018