MAGNET alam di Telaga Tambing atau Rano Kalimpaa memang luar biasa. Menawarkan pesona kicau satwa endemik, jalur tracking yang menantang, camping ground hingga pemandangan ceruk Rano Kalimpaa yang menentramkan hati, membuat banyak orang tergoda mendatanginya. Setiap akhir pekan, ratusan orang memadati kawasan ini. Mereka tak peduli walau dihunjam dingin bertemperatur 18 derajat celcius, orang-orang berebut hadir merasakan sensasinya.
Lukisan alam yang tersaji indah di Bumi Sedoa itu, membuat pengunjungnya lupa kepenatan hidup yang menghimpit. Sekaligus melupakan peran orang-orang yang membuat alam Telaga Tambing bisa dinikmati seperti saat ini.
Banyak orang-orang yang terlibat khususnya masyarakat setempat yang berjibaku mengubah wajah Rano Kalimpaa yang disesaki vetegasi liar hingga tertata apik dan memesona seperti yang terlihat sekarang.
Di antara orang-orang yang berperan mengubah wajah Rano Kalimpaa itu, terselip nama Asdi Soiyong. Pria kelahiran Tataba – Banggai Kepulauan 27 Oktober 1971 ini, termasuk figur penting yang menjadikan Telaga Tambing nama lain Rano Kalimpaa menjadi tujuan wisata yang keren.
”Tidak ada waktu untuk bosan di dunia seindah Telaga Tambing” tukasnya, Sabtu 30 Oktober 2021. Kekagumannya terhadap alam Rano Kalimpaa itulah, membuat Kepala Polhut Resort Tongoa ini, membiarkan lengan dan kakinya dipenuhi sayatan semak belukar. Pekerjaan menyiangi rerumputan itu dilakukannya selama tiga tahun sejak 2013 hingga 2015. Sebelumnya, Telaga Tambing hanya bisa diakses oleh aktivis pencinta alam.
Mempertegas kecintaannya terhadap alam liar, ayah tiga anak ini mengutip pepatah. ”Bumi adalah ibu kita. Terlepas dari keinginan kita untuk menyakiti ibu kita, dia akan selalu mencintai kita selamanya,” katanya.
Begitu kuatnya kecintaan terhadap alam, sosok yang hobi menanam pohon ini, mengaku, sejak awal pernikahannya, sang istri, Mey Yumai selalu melayangkan protes. Jatah libur keluarga selalu dihabiskannya untuk menyusuri bentangan alam di wilayah kerjanya.
Asdi diangkat menjadi PNS Dinas Kehutanan di Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) pada 1997 ditempatkan di Resort Lindu. Sejak itu durasi kebersamaannya dengan keluarga terus berkurang. ”Malah nyaris tidak ada waktu untuk liburan wisata dengan anak istri,” ungkapnya mempertegas totalitasnya. Sebelas tahun di Resort Lindu pindah ke Resort Behoa. Lalu sebelum bertugas di Resort Tongoa tempatnya kini, ia sempat bertugas sebentar di Resort Wuasa.
Menikah 1999, istrinya ditinggal berbulan bulan. ”Kalau saya tau orang kehutanan seperti itu, saya tidak menikah dengan orang kehutanan,” katanya menirukan protes istrinya. Protes yang sama pun datang dari ketiga anaknya. Ia menuturkan, meninggalkan istri dan anak dalam waktu lama adalah pilihan yang sulit. Namun kepada anak-anaknya ia bilang, bahwa yang dikerjakannya – adalah pengabdian untuk keluarga pula. Diberi pemahaman seperti itu, anak-anak tetap sulit menerima. Kini, saat anak pertama dan kedua sudah di bangku kuliah nasehat itu tetap disampaikannya. ”Kamu belajar lebih baik supaya tidak seperti bapakmu,” ungkap Asdi mencoba meminta anak-anaknya untuk memahami posisinya. Sebagai Polisi Hutan yang mengabdi di BNTLL, Asdi merasa tugas yang diembannya tak sekadar menjaga hutan. Di atas itu adalah menjaga masa depan.
”Di Resort Wuasa saya minta dimutasi ke Resort Tongoa,” katanya. Alasannya ingin mengurus Telaga Tambing. Pilihan yang membuat kolega dan atasannya heran. Ceruk telaga mungil yang dikepung semak belukar – justru membuat pria yang berulang tahun saban 27 Oktober ini terlecut hatinya untuk pindah. Totalitasnya itu, sampai pula ke telinga pejabat eselon satu di Jakarta. Saat diundang oleh Dirjen Kehutanan Jakarta, ia menjelaskan panjang lebar keasyikannya bersama alam yang sudah menguratnadi dalam dirinya.
Pejabat itu menanyakan alasan Asdi meninggalkan keluarganya dan memilih menghabiskan jatah libur di hutan-hutan. ”Program sebagus apa pun jika hanya dibicarakan di atas meja, tidak akan menghasilkan apa-apa. Harus ada yang eksekusi di lapangan. Begitu saya bilang sama Pak Dirjen,” katanya tersenyum.
Saat memilih pindah Resort Tongoa, atasannya di Dinas Kehutanan Sulteng heran. Kondisi Telaga Tambing masih ditutupi rumput liar, tak banyak orang yang mau bekerja di tempat sepi seperti itu. Sebelum Asdi, ada salah satu pejabat yang ditugasi membenahi telaga kecil itu. Namun ia memilih pindah. Alasannya udara dingin dan fasilitas yang minim.
Saat itu, pejabat di Dinas Kehutanan dan BTNLL, sudah berfikir untuk mengembangkan Telaga Tambing untuk wisata alam. Namun tak banyak yang mau bertahan di kawasan Tambing saat itu.
Asdi mengaku bersedia tinggal di hutan. Dibetot nyamuk dengan penerangan senter dan lampu minyak – ia menghabiskan waktu berminggu bahkan berbulan. Sesekali pulang ke rumah di Jalan Tombolotutu Palu. Protes dari anak istri terus saja menghujaninya. Namun sekali lagi – ia tetap memilih menghabiskan waktu menyusuri hutan di Telaga Tambing. Membiarkan otot bisepnya – adu kuat membersihkan permukaan air dari vegetasi lebat yang merampas wajah eksotik telaga tenang itu.
Asdi mengaku senang – kini Telaga Tambing mampu menghadirkan keindahan yang eksotik. Melengkapi keindahan itu, ada pesona lain yang harus dijaganya, yakni ragam satwa dan fauna di kawasan itu. Taman Nasional Lore Lindu, kini menyimpan 24 jenis reftil, 267 jenis burung, 48 macam mamalia dan 21 jenis ampibi serta 31 spesies kupu-kupu. Lalu ada satwa prioritas konserveasi yakni maleo (maleo macrocephalon), babirusa (babyrousa) dan anoa (bubalus). Fauna TNLL ini menurut Asdi, termasuk yang harus diawasi dari para pengembat yang setiap saat memasoknya ke pasar gelap.
Karena totalitasnya itu, ia pun dinominasikan instansinya Dinas Kehutanan Sulteng sebagai kandidat peraih kalpataru. Karir pegawai negerinya yang dihabiskan di hutan-hutan Lore Lindu – membuat pria peramah ini layak diganjar penghargaan sekelas Kalpataru. Sayangnya, kesempatan mendapatkan penghargaan individu itu belum berhasil diraihnya. Namun seperti yang disampaikan Jusman, Kepala BTNLL, sosok anak buahnya itu sudah selayaknya memperoleh penghargaan individu.
HADIRKAN WAJAH POLHUT YANG HUMANIS
Bertahu silam, Polisi Hutan (Polhut) menjadi musuh bersama masyarakat. Pendekatan refresif Polhut saat itu, karena tindakan penegakan hukum terhadap pelanggar hutan lindung yang mengabaikan pendekatan dialog. Hari ini pendekatan refresif mulai ditinggalkan. Polhut mulai mengubah pendekatannya kepada masyarakat di sekitar BTNLL. Atau mereka yang menggantungkan kehidupannya di kawasan hutan lindung itu. Sikap tegas tetap dikedepankan. Namun dengan pendekatan yang humanis. Sejauh ini upaya itu klaim Asdi berhasil. Warga mulai merindukan kehadiran Polisi Kehutanan di tengah-tengah mereka. Misalnya, untuk mengolah hasil hutan di dalam Taman Nasional, mereka perlu partner diskusi yang sepadan. ”Maka diskusi yang pantas adalah ke Polhut, bukan ke yang lain. Disinilah kenapa Polhut dirindukan warga,” katanya berapi-api.
Misalnya, ada warga hendak menebang pohon untuk keperluan membangun rumahnya. Ia bersama warga akan pergi meninjau pohon yang dimaksud sekalipun masuk di dalam hutan. Tiba di dalam hutan, ia akan mengajak warga berdialog. Misalnya, kenapa harus kayu itu yang ditebang. Bukan jenis yang lain. Atau, jika ditebang, butuh berapa puluh tahun lagi, untuk sama dengan pohon yang ditebang.
Jika akhirnya ditebang, maka warga harus menggantinya menanam pohon jenis yang sama didekat tebangan. ”Begitu pola yang kita kembangkan di sini. Tapi kalau pohon yang dilindungi apa pun alasannya kita tidak bolehkan. Sekalipun ditanam lagi dengan pohon yang sama,” ulas Asdi.
Namun untuk tiba pada kesadaran warga seperti saat ini, menurut dia butuh ikhtiar yang intens dan panjang. Salah satu yang dilakukannya, saban minggu usai kebaktian di gereja, ia memanfaatkan waktu untuk menyampaikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di wilayah TNLL. Hal penting lainnya adalah, memberi pemahaman kepada warga, bahwa masa depan kehidupan mereka di wilayah TNLL – tergantung seperti apa cara mereka memberlakukan kawasan yang ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh UNESCO itu.
Totalitas yang diperlihatkannya, puluhan tahun malang melintang di belantara hutan Lore Lindu – sebenarnya dipicu oleh kegemarannya sebagai seorang anak kampung, yang gemar menanam pohon. Momentum itu justru didapatnya jauh dari tanahnya kelahirannya Tataba. Ia menemukannya di sini, dilekukan alam Bumi Sedoa.
Dari pengalamannya yang membentang sejak 1997, menjelajah sudut-sudut paling sepi di hutan Lore Lindu, maupun perjalanan keluar daerah, banyak sekali tempat ekstotik yang menawarkan panorama alam menawan. Namun baginya Telaga Tambing tetap memberikan sesuatu yang lain. Ia menawarkan rumah alam yang damai. Simponi indah burung endemik bak orchestra yang menuntun langkah di pagi hari menyusuri jalur tracking yang menantang. Baginya, tidak ada alasan untuk bosan di dunia seindah Telaga Tambing.***
Penulis : Amanda
Foto-foto : Amanda