SEMBILAN Maret 2024 lalu, musisi tanah air memeringati Hari Musik Nasional. Bagi insan musik, hari besar yang bertepatan dengan lahirnya komponis besar, WR Supratman itu adalah sebuah proklamasi kemerdekaan. Spirit kebebasan yang dipancarkan dari lagu kebangsaan Indonesia Raya, gubahan Sang Tokoh inilah, yang ingin diserap oleh para musisi untuk memilih momen tersebut sebagai hari besar mereka. Bagi musisi kemerdekaan adalah ekspresi kreatif hingga otonomi atas aspek produksi. Kemerdekaan bagi musisi menjadi kunci untuk menghasilkan karya yang otentik, memberikan dampak sosial termasuk membangun karier yang berkelanjutan.
Sejatinya, hari bahagia itu diisi dengan gegap gempita para pegiatnya. Namun para musisi itu tidak menggunakan momen bahagia itu dengan selebrasi atas pengakuan negara terhadap eksistensi mereka. Musisi Kota di Palu menggunakan, hari Musik ini sebagai momen mengurai sengkarut dunia musik di daerah ini. Dimotori Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPPRI) Sulteng, diskusi berlangsung dua kali. Dikemas dalam bentuk diskusi terfokus, diskusi pertama berlangsung di Kafe Bandsaw 3 Maret 2024. Diskusi kedua di Kafe K-Food Jalan Yojokodi, Palu, 9 Maret 2024, berisi penyampaian rekomendasi simpulan dari diskusi yang digelar sepekan sebelumnya.
Diskusi multipihak diikuti para dedengkot yang menggerakkan ekosistem di industry musik. Antara lain, musisi band/solo, manajer artis, pemilik studio musik, pemilik studio rekaman dan pemilik soundsystem pertunjukan. Kemudian diundang pula event organizer, sound enginer dan pemilik tempat hiburan, pemilik media hingga jurnalis. Empat hal fundamental dibahas pada pertemuan yang berlangsung nyaris enam jam itu. Diantaranya, managemen artis dan strategi promosi. Di sesi ini beberapa hal yang disorot adalah kurangnya managemen artis di Kota Palu kemudian band jarang mendapat spotlight publik karena minimnya pemberitaan media serta strategi promosi yang kreatif.
Michael Runtuwene dari MS Radio, menyarankan rilis tentang promosi album atau mini album harus dikemas dengan bahasa menarik sehingga sebagai broadcaster, ia mempunyai ketertarikan untuk merilis informasi yang disampaikan. Ejha Rawk yang memoderasi diskusi itu berjanji, akan mengumpulkan para pemimpin redaksi agar mempunyai perspektif yang sama dalam membangun musik di Kota Palu. Media ungkap Ejha, diharapkan memberi ruang kepada musisi agar mendapat porsi pemberitaan yang signifikan di media.
Problem lain yang tak kalah pelik adalah audio live dan rekaman. Disesi ini, ada tiga isu yang menyita diskusi serius. Antara lain standar biaya produksi, durasi produksi dan perbedaan perlakuan sound pertunjukan. Perlakuan standar gand musisi lokal dan nasional saat tes alat juga disorot. ‘’Kenapa kalau musisi lokal hanya dikasi waktu 15 menit sementara artis nasional sampai dua jam. Perlakuan pilih kasih seperti ini mestinya tidak perlu terjadi,’’ sambar Akbar dengan nada tinggi. Untuk sesi ini dibahas sejam lebih bahkan saat makan malam, topik ini terus ramai. Topik ketiga menyoal tentang, artis sebagai profesi. Di dalamnya, membahas tentang hak dan kewajiban musisi, akses panggung serta jaminan sosial.
Nyaris semua masalah dibahas. Semua pihak ‘’dipaksa’’ bicara tentang problem yang dihadapi. Diurai satu persatu. Hasil diskusi selama enam jam lebih itu kemudian dibawa pada diskusi bertema Bakubuka yang berlangsung Sabtu, 9 Maret 2024 lalu. Delapan poin hasil FGD tersebut terdiri dua bagian. Internal PARPPI meliputi, data base, pemetaan stakeholder dan kapasitas band serta peningkatan kapasitas. Sedangkan eksternal PARPPI, antara lain, kesepakatan antarpihak, peta jalan industri musik di Sulawesi Tengah, regulasi yang komperensif serta dukungan hibah. Ketua PARPPI Sulteng Umaryadi Tangkilisan, mengaku diskusi di dua tempat selain memeringati Hari Musik Nasional, juga bertujuan mengidentikasi masalah dan membangun ekosistem musik yang sehat. Kemudian sambung frontman Band Culture Project ini, perlu kesamaan pandang antarpihak terhadap setiap tantangan. Dan tak kalah pentingnya, terwujudnya kesepakatan antar DPD PAPPRI dan pemerintah atau swasta dalam bentuk MoU atau pembuatan regulasi yang mengatur jalannya industri musik daerah. ‘’Kita harapkan hasil pertemuan ini membawa napas baru bagi musik di daerah kita,’’ujarnya diplomatis.
DUKUNGAN DATANG DARI PEMERINTAH
Hasil FGD di Kafe Bandsaw kemudian dibawa pada pertemuan di Kafe K-FOOD 9 Maret 2024. Di sana sejumlah pejabat dan mantan pejabat serta pegiat kebudayaan hadir mendengarkan rekomendasi FGD yang disampaikan Adi Tangkilisan. Para pejabat yang hadir antara lain, Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapatta, Kepala Dinas Pariwisata Sigi, Heru Murtanto, Pejabat yang mewakili Kepala Dinas Pariwisata Kota Palu, mantan Wali Kota Palu, Hidayat dan Hapri Ika Poigi dari Dewan Kesenian Sulawesi Tengah (DKST), Anggota DPRD Sulteng, 2019 – 2024, Yahdi Basma. Sebagai pesertanya hadir musisi di Kota Palu dan sejumlah jurnalis. Beragam harapan dan dukungan dilambungkan pada pertemuan yang dihadiri 50-an peserta itu. Ika Poigi membeberkan sejumlah agenda substansial kebudayaan yang luput dilakukan oleh negara. Bahkan menurutnya, Negara membiarkan para pegiat kebudayaan termasuk musisi didalamnya berjibaku mencari jalannya sendiri.
Heru Murtanto dari Pariwisata Sigi, mengaku dinas yang dipimpinnya terus memberi kesempatan kepada musisi mengembangkan talentanya. Tidak hanya mengembangkan musisinya tapi juga perangkat pendukung di belakangnya yang disebut sebagai ekosistem industri musik. Heru bilang, dalam konteks kebudayaan, ikhtiar pemerintah untuk membangun ruang publik, tak semata karena hasrat membangun prestasi. Tapi di ruang-ruang itu akan menciptakan keakraban, saling sapa hingga tercipta kehangatan sesama warga bangsa. ‘’Musik dan musisi adalah medium untuk mewujudkan keakraban dan kehangatan itu,’’ ucapnya.
Setali tiga uang, Hidayat yang pernah menjadi Plt Bupati Sigi, pun mengaku punya keinginan kuat, agar musisi lokal bisa mewarnai perjalanan kebudayaan di daerah ini. Semasa menjadi Wali Kota Palu, ia bahkan membuka Hutan Kaombona di Palu Timur, untuk bertemunya para pihak di kawasan itu. Mulai dari musisi, teater hingga penikmat kegiatan outdoor, sebagai ruang ketiga (rumah, kantor, RTH) untuk saling menyapa sesama warga. Di Hutan Kaombona bahkan pernah digelar pertunjukan seni yang dihadiri utusan mancanegara dan ditonton 3.000 orang lebih. Sayangnya, usaha ini kemudian diberangus. Dizamannya pula, pernah mengirim grup band ke Kanada sebagai wujud komitmennya terhadap pembangunan seni dan kebudayaan.
Dukungan yang tegas disampaikan oleh Irwan Lapatta. Tampil santai khas anak band, Irwan bilang di Sigi ia akan membuat studio rekaman. Fasilitas gratis itu bisa digunakan tidak saja musisi di Sigi, melainkan dari daerah lain bahkan dari luar Sulawesi Tengah. Pernyataan ini tentu saja disambut antusias para musisi. Pernyataan Irwan itu, telah mengatasi satu bagian penting para musisi lokal. Pada diskusi di Kafe Bandsaw, masalah studio rekaman menyita debat panjang. Mulai dari kualitas studio, standar dan item-tem pembayaran dll. Banyak poin yang diutarakannya malam itu, melegakan hati para pegiat band. Dalam catatan penulis, Irwan adalah salah satu pemimpin daerah yang dukungannya terhadap musisi lokal cukup tinggi. Sejumlah konser band lokal selalu dihadirinya. Tidak hanya memberi sambutan singkat lalu pulang dengan dalih ada kesibukan di tempat lain. Ia terlihat ‘’khusuk’’ hingga pertunjukan bubar dan ikut foto-foto dengan para personel band.
Kepada Adi dan kawannya, Irwan meminta rekomendasi itu tak semata menguap di forum diskusi. ‘’Adi bikinkan poin-poinnya. Kase bagus, kirimkan ke Pak Gub, ke DPRD Sulteng, Dinas Pariwisata Sulteng, supaya golnya jelas,’’ ujarnya menyarankan. Adi terlihat tampak mengangguk hormat. ‘’Iye Kak,’’ sahutnya. Adi Tangkilisan mengaku, langkah yang dilakukan para musisi bukan mengemis pada pemerintah. ‘’Tapi kami menagih hak dimana Negara tidak bisa lepas tangan begitu saja dengan dalih ada sektor lain yang lebih urgen,’’ ucapnya.
Sejatinya, hari musik berisi selebrasi untuk hari kemerdekaan para musisi. Sayangnya, malam itu tak ada senar gitar, denting piano atau dentuman drum yang terdengar. Sama sekali tak ada harmoni yang menyertai malam bahagia itu. Yang ada hanya suara serak yang keluar dari kerongkongan para musisi. Alunan harmoni terganti oleh suara parau musisi daerah yang terus berteriak sepanjang masa. Simponi nada-nada indah itu adalah harmoni yang terputus akibat negara yang abai. Lalai. Tidak peduli. Cuek. ***
Penulis: Amanda
Foto: Amanda