Jejak Tsunami di Warung Kopi (Bagian 1)

WARKOP PERTAMA - Roda hidup harus terus diputar. Musibah tak harus membuat lemah. Ahmad orang pertama yang membuka warkop pasca bencana. Suasana warkop Rabu 21 November 2018

AWAN tebal menutup langit Palu. Merah senja urung menghiasi Pantai Talise, Rabu 21 November 2018. Namun, mendung tak menghalangi sejumlah pengunjung untuk datang ke Warung Kopi (Warkop) Tsunami di kawasan itu.

Warkop Tsunami tidak hanya menawarkan sensasi menyeruput kopi di tepi pantai, juga memberi gairah bagi Pantai Talise yang pernah muram.

Selain namanya yang unik, daya tarik Warkop Tsunami terletak pada properti yang menghiasi warkop. Yaitu rongsokan peninggalan tsunami yang telah meluluh-lantakkan kawasan itu pada Jum’at 28 September 2018. Sebuah sepeda motor dan perahu yang tak lagi utuh menghiasi di depan pojok kiri, tak jauh dari pintu masuk.

Berbagai rongsokan elektronik ditata sedemikian rupa di pojok bagian belakang. Sisa-sisa material bangunan menjadi dinding pembatas. Kursi dan meja pengunjung terbuat dari ban-ban bekas.

Yang tak kalah menarik adalah untaian kata-kata bijak dari poster-poster berwarna mencolok yang terpancang mengeliling areal warkop. Poster-poster yang memberi semangat dengan tagar #Palukuat #Palubangkit.

Warkop Tsunami digagas oleh Ahmad (43) dan adik iparnya Iwan Ambo. Ahmad adalah anggota polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah. Sementara Iwan sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan swasta.

Gagasan itu lahir dari keprihatinan keduanya menyaksikan kawasan Pantai Talise yang mati suri setelah bencana gempa dan tsunami. Padahal dulunya, ia menjadi ikon Kota Palu.
Mereka tak ingin berlama-lama tinggal di tenda pengungsian, hanya bergantung pada bantuan.

“Waktu itu terpikir untuk mengajak teman-teman bangkit. Salah satu caranya ya segera jualan. Karena kami berpikir begini, tidak bisa berharap terus dari bantuan. Bantuan itu ada batasnya,” ungkap pria yang lebih akrab disapa Mas Betet ini.


LAYANI KONSUMEN – Berjibaku melayani pengunjung yang umumnya wartawan dan relawan dari seluruh tanah air, Rabu 21 November 2018

Saat itu, suasana pantai yang gelap gulita saat malam hari, memberi kesan menyeramkan. Kondisi tersebut membuat warga di sekitar Pantai Talise yang biasanya berdagang di sekitar pantai seperti kehilangan harapan.

“Idenya ini kami mau mengajak penjual untuk berdagang kembali. Jangan sampai traumanya terlalu lama. Kalau trauma terus, kita mau makan apa. Akhirnya kami sepakat bikin warung kopi. Nama Warkop Tsunami diusulkan oleh ipar saya,” ujarnya sembari tersenyum.

Sekelompok relawan asal Kota Lampung yang tergabung dalam Sakai Sambaiyan, ikut berperan di Warkop Tsunami. Ahmad, bercerita, saat ia sedang mempersiapkan bahan bangunan untuk warkop, melintaslah para relawan itu.

Mereka menawarkan diri untuk membantu pendirian warkop sekaligus menyediakan alat dan bahan. Termasuk mendatangkan kopi dari Lampung. Gayung bersambut. Warkop pun akhirnya berdiri di atas lahan bekas pangkalan ekspedisi seluas 10×15 meter.

“Akhirnya kami berkolaborasi dengan sukarelawan dari Lampung. Kami dibantu kabel, lampu, gergaji dan kopi dari Lampung termasuk gelas sekitar seribuan”, kenang Betet. Bersambung…….

Penulis: Zainal Ishaq
Editor: Ika Ningtyas

artikel ini adalah republikasi dari laman medsos kabarsultengbangkit yang diinisasi  AJI bekerjasama dengan Internews untuk bencana 2018

Tinggalkan Balasan