BAGI anak-anak, alam mungkin tampak kurang merangsang daripada permainan video pada gadget. Tetapi pada kenyataannya, ia akan mengaktifkan lebih banyak indra — anak-anak dapat melihat, mendengar, mencium dan menyentuh lingkungan luar.
Setidaknya, itulah yang terlihat pada hajatan di Dusun Mapaga, Desa Labean Kabupaten Donggala, Minggu 22 Mei 2022. Puluhan anak belasan tahun tampak ceria dalam sebuah gelaran berdurasi 300 menit, di Pantai Magapa bersamaan dengan mentari yang merangkak naik mengiringi aktivitas nelayan pagi itu.
Gelaran yang didukung penuh Yayasan Save the Children itu bertajuk Aksi Generasi Iklim – sebuah ikhtiar untuk mengajak anak peduli pada lingkungan terdekatnya – saat krisis iklim sedang menuju puncaknya.
Pantai Mapaga yang kaku dan sesekali dilewati nelayan, pagi itu tampak hidup. Buih ombak menjulur di atas pasir putih menyertai kegembiraan anak-anak yang datang dari berbagai desa di Kecamatan Tambu. Duduk berkelompok membahas tema super serius tentang krisis iklim yang mengancam masa depan kehidupan mereka. Dengan bahasa khas remaja – anak-anak ini mencoba mendeskripsikan perubahan lanskap di desanya akibat krisis iklim.
Penuturan Rahmi (17) pelajar di Desa Labean, salah satu penggagas Aksi Generasi Iklim di desanya dan anggota Forum Anak Labean, layak disimak. Ia adalah penyintas banjir rob dan berhasil selamat saat gempa 28 September 2018. Rahmi adalah salah satu anak yang tumbuh kembangnya bersama banjir rob. Ia pun hapal jadwal banjir rob yang datang setiap bulan.
”Awalnya (sebelum bencana) banjir rob hanya di atas mata kaki. Setelah bencana, bisa sampai lutut orang dewasa. Kalau banjir, semua barang yang tidak bisa kena air,” curhatnya di depan wartawan.
Rahmi melanjutkan, akses untuk belajar menjadi tertutup dan harus menyebrang jika ke sekolah. Saat rob harus menggunakan perahu dan butuh uang yang cukup besar. Sekali menyebarang sewa perahu sebesar Rp30 ribu sekali jalan. Ia dan sejawat senasib urunan untuk menebus biaya perahu. ”Kadang tidak terpikir sekolah, karena harus mengungsikan barang-barang agar tidak terkena air,” katanya lagi.
Ayahnya adalah nelayan di Dusun Mapaga. Penghasilannya terus menyusut. Saat-saat tertentu, tidak ada ikan yang bisa dimakan. Apalagi dijual. Kemunculan banjir rob makin sering – setelah gempa 28 September, membawa dampak lain bagi keluarganya. Badan menjadi gatal-gatal imbas dari banjir yang masuk ke rumah. Air bersih yang biasanya didapat dari pompa air sumur berubah menjadi keruh. Kebutuhan air untuk Rahmi dan tetangganya akhirnya diambil dari sungai terdekat.
”Lima tahun lalu, adik sakit diare. Orang tua panik, uang tidak ada, banjir rob sedang naik. Akhirnya tanya-tanya tetangga saja obatnya apa, dicarikan obatnya dan dikasih minum (ke adik),” kenang Rahmi. Rahmi adalah satu dari sekian banyak anak dan keluarga yang terdampak banjir rob di Labean. Ia harus meninggalkan rumah yang 20 tahun ditempati keluarganya. Kini ia pindah ke hunian tetap (huntap) untuk menjalani hidup normal. Walau sudah dua tahun tinggal di huntap, ia berharap masalah ini dapat ditanggulangi.
Riziq (18) Forum Anak Labean lainnya bilang, sampah bawaan laut ikut naik ke daratan ketika terjadi rob. Dampaknya, saat rob surut sampah lautan mengotori daratan sekitar rumah masyarakat. ”Makanuya, saat ini kami membersihkan pantai dan menanam pohon. Juga dipagari supaya tidak dimakan kambing. Kami berharap pemerintah dapat membangun tanggul rob supaya rumah orang-orang tidak terendam banjir lagi, harapnya.
Problem banjir rob Dusun Mapaga ternyata memicu problem serius lainnya. Empat buah bangunan permanen, yang terdiri dari tiga ruang belajar dan satu unit ruang guru – tidak bisa digunakan. Dari luar, fisik bangunannya tampak utuh. Melongok kedalam, plafon berserakakan dan dinding mengelupas – menandakan bangunannya tidak digunakan sejak lama. Di halaman, lumpur mengonggok tak beraturan, menyebabkan ceruk kecil yang membuat air tergenang. Banjir rob, tak hanya membuat bangunan permanen itu berdiri tak berguna – tapi juga membuat sekira 60-an anak yang bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 24 Labean, tidak bisa memanfaatkan bangunan itu untuk proses belajar mengajar.
Hijrah pengajar di SDN Labean menuturkan, karena banjir rob yang selalu mengepung ruang belajar mereka, kini proses belajar mengajar dipindahkan ke hunian sementara di Desa Labean. Maka, ketika ada inisiatif Forum Anak Labean yang didukung Yayasan Save, dalam gerakan Aksi Generasi Iklim, ia merasa terpanggil berjibaku membersihkan sampah pantai dan menanam pohon. Dengan harapan aksi mereka memberi kontribusi untuk menahan laju abrasi maupun banjir rob.
Aksi ceria di pagi itu, membuat pantai ”kinclong” dalam sekejap. Pantai bersih dari sampah plastik. Matahari yang makin meninggi tak membuat Rahmi, Riziq dan kawan-kawannya kegerahan. Mereka tampak gesit memunguti botol minuman mineral. Tak sampai 20 menit, 10 kantong sampah plastik berhasil dikumpulkan di sepanjang pantai. Selanjutnya, dilanjutkan menanam pohon. Setiap anak mendapat kesempatan menanam pohon. Mereka berkomitmen menjaga agar pohon yang ditanam bisa tumbuh dan menjadi saksi di kemudian hari kelak. ”Mari kita tanam pohon ini, agar aksi kita hari ini, kelak melahirkan cerita sebagai kontribusi kita pada lingkungan di hari depan nanti,” kata Riziq melalui megaphone.
Aksi Generasi Iklim yang dimulai pukul 08.30 berakhir pukul 12.00. 60 menit menjelang pukul 12.00, anak-anak duduk melingkar. Mereka membentuk diskusi grup. Mereka membincang tentang krisis iklim, penyebabnya dan apa yang harus dilakukan. Setidaknya, pada krisis iklim, dimana mereka akan menjadi korbannya, mereka mempunyai andil meminimalkan dampaknya. Diskusi sepenuhnya dilakukan oleh anak-anak. Tidak ada orang dewasa yang terlihat mengarahkan mereka untuk mengatakan apa dan membicarakan siapa. Dari diskusi terfokus itu – melahirkan rekomendasi kepada para pihak – tentang apa yang harus dilakukan.
ABRASI DI SULTENG MENCAPAI 34 TITIK
Mengutip Save the Children yang mengambil data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), abrasi pantai di Sulawesi Tengah sebanyak 34 titik. Angka ini merupakan terbanyak ketiga di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Selatan (57 titik) dan Sulawesi Tenggara (74 titik). Abrasi pantai berdampak pada penyusutan garis pantai sehingga daratan utama semakin berkurang, berkurangnya sumber daya ikan dan plasma nutfah, serta merusak hutan bakau di sepanjang pesisir pantai sehingga memperbesar risiko bencana.
”Krisis Iklim dirasakan dampaknya secara nyata oleh anak-anak. Terutama pada mereka yang tinggal di daerah rawan bencana dan pernah mengalami histori kejadian bencana skala besar seperti misalnya di Kabupaten Donggala,” jelas Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication, and Media – Save the Children Indonesia.
Troy menegaskan, tanpa adanya aksi nyata yang dilakukan, yang dimulai dari lingkungan keluarga serta anak-anak, maka anak-anak akan terus menanggung beban yang tidak proporsional karena situasi yang mereka alami saat ini. Anak-anak dan keluarga yang terdampak langsung dari krisis iklim kata dia, a harus dibantu dalam melakukan upaya-upaya adaptasi. Ini karena kemampuan mereka terbatas.
Sementara, validasi Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, terdapat 5.402 total kejadian bencana pada tahun 2021 dan 99,5 persen di antaranya merupakan kejadian bencana hidrometeorologi yang berasosiasi dengan iklim dan cuaca ekstrem, misalnya terdapat 91 kejadian gelombang pasang serta abrasi. Selain itu, total bencana yang terjadi pada 2021 mengalami kenaikan sebanyak 16,2 persen dari tahun sebelumnya. Tercatat sebanyak 728 orang meninggal dunia dan lebih dari 7 juta jiwa menderita dan mengungsi, termasuk di antaranya adalah anak-anak.
Berangkat dari fakta-fakta itu, gerakan kelompok anak di Kabupaten Donggala yang tergabung dalam Child Campaigner Save the Children Indonesia, menjadi sebuah keniscayaan. Gerakan Aksi Generasi Iklim adalah bagian dari upaya mendukung anak-anak dalam menyuarakan suara mereka. Terutama anak-anak yang paling terpinggirkan dan telah mengalami dampak buruk dari krisis iklim. Para pihak harus memastikan bahwa anak-anak dapat menjadi bagian dari solusi dan memengaruhi keputusan para pengambil keputusan dari tingkat lokal, nasional, hingga global.
Berdasarkan laporan Save the Children International, Born Into The Climate Crisis, aktivitas manusia yang melakukan eksplorasi berlebihan pada bahan bakar fosil dan industri perusak lingkungan lainnya, serta kelambanan pemerintah dalam mengambil kebijakan yang berpihak pada lingkungan, menyebabkan anak-anak menanggung kerugian. Kerugian itu diantaranya, gangguan kesehatan,kehilangan lahan atau tanah, warisan budaya, pengetahuan lokal, dan keanekaragaman hayati sebagai akibat dari krisis iklim.
Maka apa yang dilakukan anak-anak di dusun Mapaga sebenarnya adalah kritik pedas pada kaum tua – terlebih kepada mereka, para pihak yang memikul amanah mengurus hajat hidup orang banyak. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kerusakan lingkungan. Saat para pihak tidak mampu menghadirkan lingkungan yang layak, anak-anak kecil di dusun kecil ini, mencari jalan keluarnya sendiri. Sadar bahwa orang-orang diluar mereka tidak bisa diandalkan, mereka berikhtiar sendiri, demi mengklaim satu tempat terbaik di masa depannya kelak. ***
Penulis : Amanda
Foto-Foto : Amanda