CELEBES Institut dan Komunitas Rumah Katu, dua lembaga pemerhati lingkungan, mendesak PT Poso Energy, Perusahaan Listrik Tenaga Air (PLTA) memenuhi hak-hak warga Poso secara adil. Warga yang dirugikan dengan kehadiran proyek itu, harus mendapat ganti yang sepadan. Kelompok ini menyebutnya sebagai ganti untung. Bukan ganti rugi.
Adriany Badrah, Direktur Celebes Institute menyebut, bagi warga disekitar Danau Poso, keberadaan danau tak sekadar menstabilkan aliran air dan sarana irigasi persediaan air untuk masyarakat. Atau tempat berlangsungnya siklus hidup biota endemik maupun rekreasi serta pariwisata. Namun Danau Poso adalah identitas budaya yang sudah berlangsung turun temurun. Danau Poso sebut Hadriany, adalah salah satu dari dua danau purba di Indonesia dengan luas 365,427 kilometer persegi.
Saat ini, Danau Poso difungsikan sebagai investasi energi dengan pembangunan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
PT Poso Energy yang telah mengoperasikan dua PLTA, PLTA Poso 1. Menghasilkan 195 mega watt. Dan PLTA Poso 2 sebesar 120 mega watt, dengan pembangkit listrik bersistem peaker yang berkapasitas 515 mega watt. Mengutip Dadan Kusdiana Dirjen EBTKE kementrian ESDM, Hadriany bilang, transmisi yang terbangun sudah terhubung di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat. Peranan PLTA Poso akan disalurkan ke industri-industri smelter yang di Sulawesi Tengah.
Kehadiran PT Poso Energy yang mengesploitasi sumber daya air di danau dan juga sungai Poso, membawa perubahan signifikan tidak saja biota endemik, namun juga tatanan nilai yang terbangun puluhan bahkan ratusan tahun. Dalam dua tahun ini katanya, masyarakat adat Danau Poso menjadi korban dari uji coba pintu air dan bendungan PLTA Poso 1.
Fakta kerusakan lingkungan/ekosistem dan kerugian masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya, antara lain, sawah dan kebun terendam seluas 266 hektar (data Dinas Pertanian Poso). Sawah disekeliling Danau Poso tidak bisa dipanen. Wilayah tangkapan nelayan menjadi lebih sempit. Ladang Penggembalaan terendam. Sedikitnya 94 kerbau di Desa Tokilo mati dalam rentang waktu dua bulan. Tradisi Budaya Danau Mosango yang sudah dilangsungkan ratusan tahun di wilayah Kompodongi dan sekitarnya pun tidak lagi bisa dilakukan.
Selain itu, sebut mantan aktivis mahasiswa ini, siklus keanekaragaman hayati di Danau Poso terganggu karena siklus normal air Danau Poso tidak lagi berlaku. Sidat/Masapi mengalami gangguan musim dan berpotensi mengalami penurunan jumlah. Muara ke laut dan alur kembali ke danau terhalang oleh konstruksi bendungan.
Lebih jauh ia menyebut, mata pencaharian nelayan dan warga terganggu. Wayamasapi sebuah tradisi kebudayaan danau Poso dipaksa dibongkar untuk kepentingan pengerukan. Bahkan karamba warga dibongkar agar aliran air untuk memutar turbin PLTA Poso I. Akibatnya, usaha kecil seperti pembuatan tahu dan lainnya macet karena tidak ada akses air bersih.
Masih menurut Hadriany, zona sempadan danau ini ditetapkan dari elevasi 513,15 mdpl. Lalu ditarik sepanjang 50 meter ke arah darat (berdasarkan survey inventarisasi yang dilakukan BWSS III). Dengan demikian, maka akan ada 982 rumah, 15 rumah ibadah, 334 hektar lahan pertanian dan perkebunan di 18 desa di pinggir Danau Poso masuk dalam kawasan sempadan danau. ”Ini akan memiliki status quo. Ini menunjukkan bendungan PLTA Poso I bisa menjadi dasar penetapan kehidupan masyarakat di sekeliling danau Poso. Malah jadi alasan hak-hak perdata masyarakat di sekeliling danau Poso berpotensi dihilangkan,” tegasnya.
Poso Energi berdasarkan MoU dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso melakukan program penataan sungai. Penataan itu dilakukan dengan asumsi adanya sedimentasi sehingga perlu dilakukan pengerukan. Penataan sungai dengan pengerukan malah telah merusak fungsi alamiah wilayah riparian (peralihan antara sungai dengan daratan) Danau Poso dan berpotensi mengganggu keanekaragaman hayati. Kritik lain yang disampaikannya adalah metode pengerukan sungai/outlet Danau Poso dengan pengeboman tidak dibenarkan karena menganggu bentang alamaiah sungai Poso.
Lebih jauh ia mengatakan, dalam dokumen AMDAL PLTA Poso I, disebutkan pembangunan PLTA Poso I akan menimbulkan dampak negatif pada warga di Desa Saojo dan Desa Sulewana , Kecamatan Pamona Utara. Namun dokumen itu tidak menyebutkan dampak yang akan disebabkan oleh bendungan PLTA Poso I kepada masyarakat di desa/kelurahan lainnya di sekeliling Danau Poso yaitu Peura, Dulumai, Tolambo, Tindoli, Tokilo. Pendolo, Pasir Putih, Bo’e, Panjo, Bancea, Taipa, Meko, Salukaia, Toinasa, Leboni, Tonusu, Buyumpondoli, Pamona, Tentena, Sangele, Petirodongi.
Yang pasti, tambah Hadriany, bendungan PLTA Poso Energi telah berdampak bagi seluruh kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat di sekeliling Danau Poso. ”Ini berarti, pembuatan bendungan PLTA Poso I sejak awal tidak menganggap dan memperhitungkan adanya dampak bagi kehidupan masyarakat di sekeliling Danau Poso,” kritiknya.
Sorotan lain disampaikan pula Arifuddin Lako, Ketua Komunitas Rumah Katu. Masyarakat adat Danau Poso katanya telah bersepakat menjatuhkan denda adat atau givu kepada PT Poso Energy. Denda adat ini dijatuhkan karena perusahaan itu telah merusak lingkungan wilayah ulayat, merusak budaya masyarakat adat dan telah menimbulkan kerugian masyarakat di sekeliling Danau Poso. PT Poso Energy tidak mengindahkan norma-norma adat. Tidak menghormati tradisi budaya masyarakat adat Pamona Poso. Hingga saat ini, tidak ada niat baik yang ditunjukkan oleh PT Poso Energy untuk menghormati adat masyarakat di Danau Poso.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka sikap Komunitas Rumah Katu Poso dan Celebes Institute memberikan dukungan kepada masyarakat adat Danau Poso yang menuntut hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya kepada PT Poso Energy. Tuntutan itu antara lain, pemberian ganti-untung secara adil atas semua kerugian masyarakat adat Danau Poso yang dialami selama 2 (dua) tahun.
mengembalikan siklus air normal air Danau Poso. PT Poso Energy harus menghentikan aktivitas operasional bendungan PLTA Poso 1 agar tidak secara terus-menerus menghasilkan dampak buruk/negative yang masif.
Tuntutan lainnya adalah, PT Poso Energy jangan memperhadapkan antar masyarakat dan masyarakat dengan cara-cara yang tidak elegan dan tidak edukatif. Pengelolaan sumber daya air dan tanah sebut Arifudin, bukan hanya tanggung jawab pemerintah yang dituangkan dalam berbagai kebijakan tertulis. Namun juga tanggung jawab masyarakat setempat.
Pemda sebutnya jangan lagi mengeluarkan kebijakan yang merugikan masyarakat adat Danau Poso. Segera memfasilitasi penyelesaian ganti-untung secara adil dan tuntas terhadap pemberian hak-hak masyarakat adat Danau Poso atas semua kerugian yang alami masyarakat Danau Poso selama dua tahun. ***
Sumber : rilis Celebes Institut-Komunitas Rumah Katu
Penyunting : Amanda
Foto : Ray & Hadriany Badrah