KEPALA masih pening, anggota tubuh enggan diajak beranjak dari matras. Otak belum benar-benar siap mencerna diskusi. Ketua Panitia Eva Susianti Bande mulai meminta peserta bersiap ikut diskusi. Padahal di sana sini, masih ada yang selonjoran. Belum sempat mendirikan tenda. Namun Eva tak mau kompromi. Ia tetap mengagendakan diskusi digelar tepat waktu. ”Ayo cepat tendanya dipasang. Setengah jam dari sekarang, ayo kakak-kakak semua siap ya,” teriak peraih Yap Thiam Hiem Award 2018 itu.
Di lapangan yang tak seberapa luas, di tepi Danau Lindu, Desa Tomado, malam 12 Juni 2021, lima puluhanan kursi berbentuk oval tampak teratur rapi. Masih dalam situasi pandemi Covid-19, posisi kursi dibuat berjarak. Dalam kondisi badan yang belum sepenuhnya pulih, Efendi Kindangen dan Arianto Sangadji langsung berbagi tugas. Efendi kebagian memoderasi jalannya diskusi. Rekannya Anto Sangadji bertugas memantiknya. Diskusi dalam rangkaian Napak Tilas To Lindu Menolak Pindah, adalah yang pertama sejak pemerintah menutup buku PLTA Lindu 1996 silam.
Diskusi malam itu juga dirasa makin penting. Jarak waktu 25 tahun (1996-2021), adalah jeda yang begitu jauh antara generasi pelaku dengan generasi kini di Desa Puroo, Langko, Tomado, Anca – empat desa paling terdampak jika PLTA Lindu akhirnya gagal dibangun itu. Karena itu, panitia mengagendakan diskusi sebagai agenda utama – semata-mata agar perjalanan sejarah advokasi yang ditandai oleh gagalnya PLTA Lindu bisa terjaga dengan baik. Tidak saja dalam dokumen tertulis. Tetapi tersimpan rapi dalam ingatan warga di empat desa itu. Pengetahuan yang tidak saja penting bagi para pelakunya, tapi juga generasi muda. Kini dan nanti.
Maka jadilah dua tokoh senior ini, menjadi bintang utama di forum diskusi yang dihadiri warga desa setempat. Panitia menyiapkan door prize yang hanya diberikan bagi partisipan dari desa setempat. Efendi Kindangen sang moderator, memulai dengan pernyataan yang menggugah kesadaran peserta diskusi. Kemenangan advokasi PLTA Lindu, katanya, adalah satu-satunya kemenangan yang pernah ada dalam sejarah rakyat melawan negara di Sulawesi Tengah. Setelah itu tidak ada lagi yang lain. Bahkan mungkin hingga hari ini. Pernyataan pembuka ini, seketika membuat isu perlawanan PLTA Lindu yang berjarak 25 tahun lalu terasa begitu dekat dan nyata.
Menguji memori audiens, Efendi meminta peserta menyebut nama kepala-kepala desa yang berperan dalam penolakan PLTA Lindu. Tak banyak yang buka mulut. Rata-rata peserta yang berusia 20 – 35 tahun tak mengenal betul tokoh-tokoh perlawanan di desanya tempo dulu. Dari pertanyaan tersebut, Efendy setidaknya ingin mengingatkan, banyak figur lokal yang berjasa dalam perlawanan bersejarah itu. Jejak mereka jangan sampai dilupakan.
Suasana diskusi yang dimulai pukul 22.30 wita makin hidup. Panitia menyiapkan hadiah, bagi penanya pun yang menjawab. ”Hadiahnya untuk warga di sini saja. Peserta dari Palu, tidak usah,” ujar Eva telak. Beberapa kawan peserta napak tilas yang mengincar hadiah dan sudah siap dengan pertanyaan, langsung melipir. Memilih meringkuk di dalam tenda.
Lima belas menit mengantar diskusi, mik beralih ke Arianto Sangadji.
Anto menyebut ada empat komponen yang paling berjasa dalam penolakan PLTA Lindu. Pertama masyarakat di empat desa, Puroo, Langko, Tomado dan Anca. Penolakan keras ini karena penduduk di empat desa inilah yang akan dipindah ke Desa Lalundu, Kecamatan Rio Pakava Donggala. Gubernur Sulteng Azis Lamadjido merencanakan merelokasi warga ke Lalundu.
Kelompok kedua adalah, kelompok organisasi non pemerintah. Di kelompok ini masuklah ia dan beberapa tokoh lain di antaranya, Alimudin Paada, Natsir Abbas, Efendi Kindangen dan banyak lagi tokoh tokoh sipil lainnya serta tokoh masyarakat desa di empat desa terdampak. Beberapa di antaranya sudah meninggal. George Junus Aditjondro, Hedar Laudjeng dan Dedeng Alwi.
Kelompok ketiga adalah akademisi. Para akademisi melakukan kajian ilmiah tentang dampak yang lingkungan yang ditimbulkan oleh megaproyek tersebut. Pemaparan akademisi Nengah Wirawan dan George Junus Aditjondro di Islamic Center Untad pertengahan 90-an memberikan informasi yang kredibel tentang dampak-dampak PLTA itu. Sejak itu, gelombang penolakan eskalasinya makin tinggi. Bersamaan dengan itu, pemerintah yang berambisi proyek tersebut terwujud terus melakukan berbagai tindakan termasuk memengaruhi warga untuk menerima proyek tersebut. Sedangkan tokoh-tokoh desa yang terindikasi menyetujui proyek dipanggil aparat ditanya macam-macam. ”Tapi perlawanan terus berjalan, seiring dengan masifnya intimidasi baik kepada warga maupun pegiat LSM,” urai Anto rinci.
Terakhir, mahasiswa yang berbasis pencinta alam (Mapala). Anto lalu menyebut nama-nama yang hadir di deretan kursi, Nanang (Galara), Amran Tambaru, Rahmam (Remappala), Isman Manes, Adi Tangkilisan (Kumtapala), Rizal (Sagarmata). Ada pula aktivis mahasiswa lainnya, seperti Ibrahim Hafid, Isman dan Yahdi Basma. Masih banyak lagi tokoh-tokoh mahasiswa kampus yang tidak ikut dalam Napak Tilas, To Lindu Menolak Pindah, kali ini. Kolaborasi yang solid dan kokoh dari berbagai elemen ini membuat PLTA akhirnya dinyatakan tutup buku pada 1996.
”Tapi semua itu, tak akan berhasil jika masyarakat di sini tidak punya sikap yang sama dengan kami. Kalau mereka menerima PLTA, kami mau apa. Jadi kuncinya di masyarakat,” tambah Anto mengenang.
Anto kembali menambahkan sebagai generasi yang datang belakangan, penting untuk mengetahui alasan penolakan PLTA Lindu kala itu. Padahal, elektrifikasi di Sulawesi Tengah pada awal 90-an sungguh memprihatinkan. Kota Palu sebagai ibu kota provinsi, listriknya kerap mengalami pemadaman bergilir. Maka ide menolak PLTA adalah sikap yang anggap kontraproduktif.
Anto melanjutkan, ada sejumlah alasan, kenapa PLTA Lindu harus ditolak. Pertama, kanalisasi air danau dengan bendungan berukuran 7 – 10 meter dan lebar 50 meter, akan membuat permukaan air naik antara 3 – 10 meter. Akibatnya sambung mantan Dosen Untad yang memilih mundur dan menjadi aktivis rakyat itu, desa-desa di sekitar Danau Lindu akan hilang.
Alasannya berikutnya, penduduk di empat desa harus direlokasi, karena pemukiman akan tergenang oleh air yang ditinggikan. Kemudian dampak lainnya adalah rusaknya sekira 10.000 hektar hutan di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Hal ini sesuai kajian Nengah Wirawan saat tampil menjadi pembicara seminar Islamic Center Untad. Akademisi lainnya, George Junus Aditjondro – yang meneliti dampak pembangunan bendungan raksasa di seluruh dunia, mengatakan, dampak bendungan memberikan kerusakan yang signifikan terhadap lingkungan.
Alasan terakhir adalah gempa bumi. Wilayah Danau Lindu termasuk garis sesar Palu Koro. Jika sewaktu waktu, sesar aktif itu bergerak akan menimbulkan dampak kerusakan besar terhadap warga karena kanal air yang jebol. Argumen-argumen itu, lanjut Anto dibawa ke berbagai forum termasuk di hadapan Pemda atau DPRD Sulteng. Pemda sebenarnya tidak mempunyai argumen yang memadai, untuk membantah kajian-kajian ilmiah tersebut. Namun mereka selalu saja, punya alasan untuk meneruskan megaproyek tersebut. Atas nama pembangunan.
Sambung Anto lagi, ia dan teman-temannya tidak mau begitu saja menjejali warga di desa di PLTA (Puroo, Langko, Tamado dan Anca) dengan dampak-dampak PLTA yang diperoleh dari paparan para pakar atau dokumen analisis dampak lingkungan (amdal). Warga harus mendapat pengetahuan sendiri (opini pembanding) atas dampak pembangunan PLTA. Maka berangkatlah empat orang warga desa di PLTA menuju Jawa Tengah. Di sana, mereka meninjau Waduk Kedung Ombo (WKO).
Waduk Kedung Ombo adalah salah satu proyek kebanggaan Orde Baru. Fungsi utamanya untuk memenuhi litrik industri di Jawa Tengah. Fungsi lainnya, memasok air untuk wilayah sekitar waduk, irigasi serta pariwisata. Pemerintah Pusat mempunyai master plan membangun industri di Jateng. Namun pasokan listriknya tidak memadai. Untuk mengatasinya dibangunlah WKO. Pembangunan WKO menerabas lahan seluas 5.898 hektar di 37 desa dengan tiga kabupaten (Sragen, Grobogan dan Boyolali). Pembangunannya digeber 1985. Rampung 1989. Lalu diresmikan Presiden Soeharto 18 Mei 1991. Proyek ini menyebabkan 5.268 keluarga angkat kaki dari rumahnya sekaligus terusir dari ladang nafkahnya.
Maka kesanalah empat warga melakukan ”studi komparasi”. Salah satunya adalah Rony Toningki (59) warga Tomado, yang malam itu ikut memberikan kesaksiannya. Di sana mereka mendapat cerita pilu dari warga. Mereka yang memilih melawan dan bertahan, dibohongi oleh aparat. Warga mendapat jaminan, rumah mereka akan aman. Tidak ada air yang menenggelamkan kediamannya. Namun malam harinya, mereka kaget. Air masuk ke rumah-rumah warga, merendam bahkan membawa hanyut peralatan rumah tangga. ”Banyak cerita memilukan yang dialami warga yang kami dapatkan di sana,” cerita Rony mengenang kisah perjalanannya ke Waduk Kedung Ombo.
Fakta yang mereka dapatkan selama di sana, makin menguatkan sikap mereka untuk menolak kehadiran PLTA Lindu. Apa dan bagaimanapun dalih pemerintah. Ronny mengenang, selama masa perlawanan bersama LSM dan mahasiswa, ia kerap dimata-matai. Diintimidasi karena dianggap provokator oleh aparat. Anto Sangadji pun mengakui intimidasi sudah menjadi hal biasa bagi ia dan kawan-kawannya. Dituduh anti pembangunan dan anti pemerintah. Inilah kosa kata paling ampuh yang digunakan Orde Baru untuk membungkam para pihak yang tak sejalan dengan kehendak pemerintah.
Selain intimidasi dan tuduhan anti pembangunan. Cara lain pun digunakan dengan menghantam kredibilitas mereka di hadapan publik. Seperti yang diucapkan Alimudin Paada. Pernah suatu kali di depan para kepala dinas, ia dan Anto Sangadji diundang Gubernur Azis Lamadjido. Di hadapan banyak orang, mereka ditanya. ”Kamu mau apa. Kalau kamu mau uang, berapa kamu minta,” ucap Alimudin menirukan perkataan Gubernur Sulteng itu. ”Tapi kami jawab santai saja. Kami tidak butuh uang Pak. Ini semata untuk rakyat. Dan penyelamatan lingkungan,” ungkap Alimudin merespons pernyataan Azis Lamadjido saat itu.
Malam makin tua. Namun diskusi tak kunjung usai. Hujan rintik yang mengganggu keasyikan peserta tampak diabaikan. Efendi Kindangen akhirnya menggeser peserta di gedung terbuka. Diskusi pun dilanjutkan di sana. Antusiasme warga dalam diskusi tentunya bukan mengincar hadiah yang seolah tak ada habisnya. Tapi isu PLTA Lindu walau telah berlalu berpuluh tahun, ceritanya terasa begitu dekat dengan kehidupan mereka. Orang-orang tua mereka terlibat langsung dalam aksi-aksi penolakan tersebut.
Namun tak semua mereka memahami dengan baik jejak perlawanan itu. Setidaknya itu tergambar dari pertanyaan yang diajukan. Malah ada yang menyangsikan betulkah, air danau akan tinggikan. Benarkah warga akan direkokasi. ”Pak Arianto dengar darimana informasi itu,” ungkap penanya sangsi.
Anto tampak kalem saja merespons pertanyaan mendadak itu. Data-data itu jelas Anto bukan asal comot atau asumsi sepihak dari para penolak. Ini berdasar kajian ilmiah para pakar, seperti Nengah Wirawan – pakar lingkungan. Dan George Aditjondro pakar lulusan Cornel University yang menghabiskan waktunya meneliti pembangunan bendungan-bendungan besar di dunia. Selain itu, data dari analisis dampak lingkungan (Amdal) dengan lugas merinci dampak-dampak itu.
Inilah yang kemudian membuat Soraya Sultan, aktivis perempuan Sulawesi Tengah, merasa perlu mengomentari pertanyaan tersebut, saat sesi testimoni. Soraya bilang, pentingnya generasi muda mengetahui jejak perjuangan melalui berbagai literatur yang ada. Generasi muda di desa ini punya tanggunjawab menjaga alam Danau Lindu ini, dengan mengetahui jejak perjuangan tempo dulu dan tidak mudah memamah hoaks yang disebarkan oleh pihak-pihak yang ingin mengaburkan sejarah.
Lanjut dikatakannya, hutan Taman Nasional dan Danau Lindu belum benar-benar aman. Pemodal yang setiap saat mengincar recources di sini perlu diawasi bersama. ”Garda terdepan adalah teman-teman di sini,” pinta ibu satu anak yang tampak mulai menggigil kedinginan.
Testimoni lainnya datang dari Adi Tangkilisan. Musisi yang pernah menjadi aktivis pencinta alam (Kumptapala) mengingatkan, semua elemen untuk berkolaborasi lintas profesi. Dalam isu lingkungan, tak bisa lagi bekerja sendiri. Ini isu besar yang menyangkut kehidupan orang yang banyak, di masa sekarang dan hingga nanti. ”Mari kita berkolaborasi. Apa pun profesi kita, itu tidak penting. Tapi ini tentang apa yang kita telah dan akan lakukan dalam isu lingkungan,” ucapnya.
Edison Tentenabi salah satu putra Lindu, aktivis yang terlibat dalam penolakan proyek ini, di depan yuniornya di forum diskusi ini mengatakan, generasi sekarang ini mempunyai tanggungjawab meneruskan warisan bersejarah ini. Caranya, memastikan pembangunan yang berlangsung di wilayah ini, harus tetap memerhatikan isu lingkungan. Tidak boleh saling mengabaikan. ”Tanggungjawab ini terletak pada teman-teman di sini. Kami-kami ini dan senior lainnya sudah meletakkan pondasinya,” ungkap Edison yang pernah terlibat dalam Aksi Komite Solidaritas Penolakan PLTA Lindu (KSPPL) Tahun 1994 itu.
Sebenarnya banyak hal yang bisa diceritakan. Mengapa para tokoh tokoh LSM itu begitu bergairah berjuang menolak PLTA Lindu.
Mengapa seorang Arianto Sangadji mundur dari dosen. Lalu memilih dalam shaf pergerakan rakyat.
Mengapa seorang Natsir Abast, sebagai dosen sejak 1982 menguras tenaganya membersamai masyarakat di sekitar Danau Lindu.
Mengapa seorang Efendi Kindangen dengan usia yang tak muda lagi, begitu bergairah dalam isu-isu PLTA Lindu.
Mengapa seorang Alimudin Paada memilih berhadap-hadapan dengan kekuasaan dalam isu PLTA Lindu ini.
Mengapa mendiang Hedar Laudjeng, Dedeng Alwi menghabiskan masa mudanya berkeliaran di desa melakukan penyadaran terhadap warga soal PLTA Lindu ini.
Mengapa….!!!
Kutipan di bawah ini cukup untuk mendeskripsikan mengapa mereka memilih itu. Kutipan ini merespons pertanyaan dari seorang pria paruh baya, kenapa seorang Arianto Sangadji dkk, tampil membela mereka. Padahal jangankan saudara, kenalpun tidak, kecuali saudara sebangsa.
Anto mengatakan, penolakan ini adalah aksi kolaborasi banyak pihak. Tidak ada tokoh tunggal di sini. Semua berperan sama besar dan sama pentingnya. Baik yang di Palu maupun di sini. Termasuk wartawan Kompas dan Tempo yang menggulirkan isu ini menjadi perbincangan nasional.
Dan sama sekali tidak ada motif ekonomi atau politik kekuasaan. Alasan terkuat penolakan itu adalah isu lingkungan. Kemudian PLTA ini akan membuat warga tercerabut dari akar kebudayaannya karena harus migrasi ke tempat yang asing bagi mereka.
”Dua itu. Kebudayaan dan lingkungan. Kita jengkel karena politik lingkungan yang dianut pemerintah orientasinya selalu untuk pembangunan dan mengabaikan kebudayaan dan keselamatan lingkungan. Makanya kita lawan,” jawab Anto bersemangat.
Kedatangan Tim Napak Tilas To Lindu Menolak Pindah, dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah desa setempat, sekaligus menjadi kesempatan pertama sejak 25 tahun lalu, mengucapkan terima kasih atas kemenangan warga melawan negara.
Sekretaris Desa Tomado, Sudarmin mengatakan, perlu menanti 25 tahun untuk mengucapkan terima kasih di depan rombongan resmi seperti ini.
”Terima kasih, berkat pembelaan bapak/ibu, tanpa kenal lelah, tanpa pamrih, hari ini kami bisa tetap berdiri di sini, di atas tanah kami. Tanah orang tua kami. Sekali lagi terima kasih,” ucapnya.
Ucapan tulus disampaikannya saat menjamu rombongan dengan sajian singkong rebus plus teh/kopi yang disusul nasi dos berisi sayur pakis dan mujair goreng. Seperti yang disampaikan Efendi Kindangen diawal diskusi, kemenangan PLTA Lindu adalah cerita panjang dan berliku tentang sejarah perlawanan rakyat kepada negara yang berhasil. Setelah itu tidak ada lagi.
Dari sini, publik Indonesia akan mengenal sejarah perlawanan rakyat di Danau Lindu.
Mereka berani melawan dengan prinsip yang dipegangnya.
Mereka berani melawan dengan nilai yang diyakininya.
Mereka berani melawan karena punya otoritas mengelola alam negerinya.
Mereka berani melawan lantang di atas pusaka warisan pendahulunya.
Di atas tanah leluhurnya, mereka menolak tunduk.
(Bagian terakhir dari dua tulisan)
Penulis : Amanda
Foto-foto : Amanda