Perginya Sang Guru Kehidupan

Aminuddin Ponulele

TERBUJUR di atas ranjang. Di kelilingi orang-orang yang menyayangi dan menghormatinya. Aminuddin Ponuele menunaikan tugasnya di dunia dalam rentang waktu yang panjang, 5 Juli 1939 – 27 Januari 2021.

Inalilahi waina ilahirojiuun

Sirene mobil jenazah melengking membelah kota.
Angin, debu jalan, klakson dan asap knalpot.
Mengiringi jenazahnya menuju persemayaman.
Di kediamannya. Di Jalan Lasoso. Palu Barat.

 

Puluhan orang menyesaki ruang tengah di kediaman yang sederhana untuk ukuran mantan gubernur dan mantan Ketua DPRD dua periode. Di samping jasadnya, terpampang fotonya saat menjadi Gubernur Sulteng. Aminuddin adalah gubernur terakhir yang dihasilkan melalui pemilihan perwakilan. Siang ini, melihat jasadnya terbujur di dipan kayu -sederhana – seketika memori berkelabatan menghadirkan kenangan masa lalu.


BELASAN tahun silam. Di tanah yang suram dan sepi di ujung jalan. Bongkahan tanah menguar tak beraturan. Di sisi kanan-kiri jalan, pohon bertumbangan. Rumah rumah roboh. Seolah sedang menyampaikan kisah tentang hubungan manusia dan alam yang sedang tak ramah saat itu.

Mobil Jeep Nissan Patrol DN 1 ST, melaju kencang di atas jalan yang bergunduk dihantam gempa semalam. Di dalam mobil, tersedia kudapan, buah segar dan air mineral. Namun Aminuddin tak menyentuh, logistik yang disiapkan bagian rumah tangga gubernur itu. Perhatiannya tertuju pada properti yang rusak.

Sepanjang perjalanan, wajahnya selalu menoleh keluar. Memastikan kerusakan-kerusakan yang disebabkan gempa sehari sebelumnya. Dengan kecepatan sedang, tanpa pengawal, sampailah di Desa Ranteleda (jika tidak salah).

Turun dari mobil dinasnya, Aminuddin berjalan melihat bagian bangunan yang rusak. Bergialog dengan warga. Cukup lama di sana. Menerima laporan dari aparat desa yang sepertinya tak siap dengan kehadiran orang nomor satu di Sulteng itu. 30-an menit berdiskusi.

Sejurus kemudian, ia merogoh kantong jaket kulitnya. Mengeluarkan beberapa lembar uang seratusan. Membagikannya ke warga yang mengerubunginya. Mengusap kepala bocah. Menanyakan kabar ibu muda yang hamil tua. Lalu pamit pulang. ”Besok nanti saya perintah Mashud Kasim, liat pertanian yang rusak,” sahutnya pendek sambil melompat gesit ke atas mobil jeepnya.

Seusai dari sini, perjalanan dilanjutkan ke Dolo. Memastikan kondisi kolam ikannya yang sebentar lagi panen. Ini secuil pengalaman, saat bersama Aminuddin Ponulele, Gubernur Sulteng periode 2001 – 2006. Melanglang buana ke pelosok Sulteng. Mendatangi pedalaman terjauh. Hingga menjadi pendengar yang taat tentang dinamika politik lokal di ruang kerjanya. Sambil menikmati kacang rebus yang disajikan Ibu Sitti dari balik pintu yang sekilas mirip lemari buku itu.

LAHIR DI ZAMAN PENDUDUKAN

Aminuddin Ponulele lahir di Palu, 5 Juli 1939. Pada periode akhir kekuasaan Hindia Belanda. Atau saat perang Dunia Kedua, berkobar di daratan Eropa. Bersamaan dengan itu, tentara Nippon Jepang mendarat di Indonesia. Pada masa pertumbuhannya, Aminuddin kecil merasakan tekanan itu. Tumbuh dan berkembang di zaman susah, sepertinya menempa dirinya, hingga ia bisa seperti sosok yang kita saksikan semasa hidupnya.

Seperti yang diakuinya, saat perjalanan ke Desa Toaya meresmikan Festival Dangdut, suasana horor yang dihadirkan tentara Nippon dimasa itu, tak membuatnya patah arang. Bahkan ia masih bisa merasakan indahnya hari hari yang dilalui. Suasana ceria khas anak kecil di kampung, tetap dinikmatinya. Bermain bola adalah hobi yang banyak menyita waktu di masa kecilnya. Berpuluh tahun kemudian hobi kecilnya itu, membawanya menjadi Ketua PSSI di Sulawesi Tengah.

Di tengah situasi ekonomi politik yang tidak menentu, Aminuddin berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) di Palu pada 1951. Lalu meneruskan di SMP PGRI Makassar, SMA Makassar dan IKIP Manado tamat pada 1967.

Saat mengantongi sarjana muda dari IKIP Manado, sempat menjadi guru di SMAN 1 Palu. Ia merasa belum cukup. Lalu melengkapi S1 di almamater yang sama. Semasa mengantongi gelar S1 IKIP Manado – pulang ke kota kelahirannya. Ia Diangkat menjadi dosen tetap di IKIP Ujung Pandang Cabang Palu pada 1968 – 1981. Dari sini karir akademiknya terus moncer. Hingga diangkat menjadi Dekan Muda FKIE IKIP Ujung Pandang Cabang Palu.

Saat IKIP Ujung Pandang berintegrasi ke Universitas Tadulako, dari sinilah karir akademiknya terus menuju puncaknya. Berbagai jabatan di Kampus Untad diembannya. Usai merampungkan S2 di IPB Bogor pada 1988, jabatan struktural terus menghampirinya. Di antaranya adalah Purek III dan Purek I Universitas Tadulako.

Rentang waktu 1990 – 1994, adalah ujian terhadap kapasitas dirinya sebagaia akademisi. Dilansir dari dari biografi terbitan Sekretariat DPRD Sulteng, maupun tuturannya saat perjalanan di desa terpencil Kecamatan Bunta. Saat itu, mestinya sudah menjadi Rektor Untad. Menggantikan Profesor Matulada. Pada rapat senat ia memperoleh suara terbanyak. Musyi Amal Pagiling meraih suara terbanyak kedua. Senat lalu menyerahkan hasil pemilihan ke Presiden Suharto – sebagai penentu utama.

Hasilnya, Presiden Suharto memilih pemenang kedua. Jadilah Musyi Amal Pagiling untuk rektor berikutnya. Penunjukkan Musyi Amal ini memicu diskusi panjang. Dalam SK Presiden, tertera nama Musyi Amal. Namun nomor induk pegawai (NIP) milik Aminuddin. Namun seperti diakuinya pada perjalanan sore hari itu, ia tidak memperpanjang kontroversi tersebut.

Ia pun menerima jabatan sebagai Purek I. Ditanya apakah sikap melempemnya, karena pemerintah Orde Baru saat itu yang sangat dominan. Aminuddin malah balik mencecar. ”Tidak usah kau tanya-tanya terus itu. Cukup kau tau saja,” ujarnya sambil menenteng salak pemberian warga ke mobil.

Empat tahun berikutnya, 1994-1998, Senat Untad memercayakan jabatan Rektor Untad. Ia dilantik Menristek Malik Fajar. Setahun setelah itu, ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Madya Bidang Ekologi. Lalu pada 2000 menyandang Guru Besar Emeritus.

Sebagai akademisi, Aminuddin tak ingin posisinya hanya seperti menara gading. Tinggi menjulang tak terjangkau. Maka ia pun mengimbanginnya dengan kesibukan lain. Salah satunya adalah cabang olah raga. Publik bisa mengeja namanya setidaknya pada delapan cabang olah raga. Mulai dari Asprov PSSI yang diembannya hingga akhir hayat. Lalu di Forki, PABSI dan Fordasi hingga beberapa cabang olah raga lainnya.

Erik Tamalagi – tenaga ahli Kementan RI, berbagi kenangannya soal sosok ini. Erik bilang diusianya yang tak muda lagi, perhatiannya pada olah raga tak jua memudar. Menjelang keberangkatan timnya ke PON Bandung, ia dan kawan-kawannya menghadap untuk pamitan di kediamannya. Banyak hal yang disampaikannya kepada generasi penerusnya pada kesempatan itu. Menurut Erik sebagai pemegang sabuk hitam – patutlah wejangannya didengar saat menghadapi even kompetitif sekelas PON.

 

CAPAIAN NAIK TURUN  DI PANGGUNG POLITIK

Setahun sebelum jabatan Rektor berakhir, pada 1997 atau setahun sebelum reformasi, Aminuddin melenggang menjadi Ketua DPRD Sulteng. Pada suatu waktu, perjalanan ke Tolitoli, melantik Syahrir Alatas sebagai Plt Bupati Tolitoli, penulis menanyakan rubrik buletin yang ditulis Muharam Nurdin dan Armin Salassa Cs. Rubrik kecil bagian kaki, merinci seabrek jabatan Aminuddin Ponulele. Mulai di politik, kampus hingga ormas. Tulisan mencolok dengan cetakan miring berbunyi, ”ala puraamo jabatan”. Kala itu, kabar tentang terpilihnya menjadi Ketua DPRD sudah makin kuat. Saat ditanya soal itu, lagi-lagi Aminuddin mengelak. ”Ah kau ini kita ini perjalanan untuk pelantikan, soal itu lagi kau tanya,” semprotnya sambil tergelak.

Pada pemilu yang dipercepat pada 1999, Aminuddin sebagai Ketua DPD Partai Golkar membawa Golkar Sulteng meraih kursi dominan sebanyak 21 kursi. Perolehan yang semakin memuluskan posisinya pada pemilihan Gubernur di DPRD Sulteng. Pemilihan yang digelar 16 Januari 2001 itu, Aminuddin-Rully menang telak 34 – suara. Lawannya HB Paliudju-Kisman Abdullah yang didukung F Islam Kebangsaan dan F-ABRI meraih sebesar 11 suara.

Kemenangan Aminuddin kala itu disambut gempita kalangan kampus, sebagai eranya akademisi memimpin daerah. Bagi Aminuddin dunia birokrasi bukan asing baginya. Pada 1991 – 1995, pernah menjadi koordinator staf ahli Bappeda Sulteng.

Berikutnya pemilu 2004 walau turun, Golkar di bawah Aminuddin tetap digdaya dengan 17 kursi di DPRD Sulteng. Usai dari jabatan Gubernur, pada Pemilu Legislatif 2009, kembali ia mencoba peruntungan politiknya. Magnet pemegang sabuk hitam inkai itu ternyata masih tinggi. Ia memperoleh torehan meyakinkan 19.705 suara. Tertinggi di antara 45 anggota DPRD Sulteng. Raihan yang mengantarkan ia menjadi Ketua DPRD Sulteng kali kedua.

Catatan penting lainnya, Golkar di bawah kepemimpinannya, mencatat prestasi yang pantas dikenang. Sejumlah daerah lumbung Golkar di Sulawesi Tengah, terus mempertahankan dominasinya. Puncaknya, namanya sempat diusulkan Golkar Sulteng menjadi calon presiden dari partainya. Namanya tercatat dalam dokumentasi DPP Golkar di Jakarta, sebagai calon presiden pada pemilu presiden 2004. Rentang perjalanan yang panjang di panggung politik, baru diselesaikannya seiring selesainya masa jabatan DPRD Sulteng hasil pemilu 2019. Tepat diusia 80 tahun. Torehan ini, mencatatkan dirinya sebagai tokoh paling senior dalam jagad politik di Sulawesi Tengah bahkan mungkin di Indonesia.

Sebagai tokoh dengan latarbelakang pendidik. Jejak Aminuddin di sektor pendidikan bisa dilihat hingga kini. Sekolah terpadu TK hingga SMA Madani adalah salah satu gagasan yang dirintisnya. Tak jauh dari sekolah terpadu tersebut, berdiri RSUD Undata – yang dibangun saat kepemimpinannya.

Usai menjalani periode pertama sebagai Gubernur, Aminuddin mencalonkan diri untuk periode kedua. Berpasangan dengan mendiang, Sahabudin Mustafa namun ia kalah pada pemilu langsung pertama tersebut.  Berikutnya, ia berpasangan dengan Luciana Baculu, namun nasib baik belum memihak padanya. Kali ini, mantan anak buahnya Kepala Badan Balitbangda yang ia plot menjadi Plt Bupati Parimo, Longki Djanggola menang dalam pemilihan tersebut.

RELASI UNIK DENGAN JURNALIS

Aminuddin termasuk salah satu pejabat yang mempunyai hubungan unik dengan segenap jurnalis di daerah ini. Gampang ditemui. Di ruangannya maupun doorstop. Tapi ia selalu merespons pertanyaan wartawan secara singkat. Responnya kadang membuat wartawan gregetan karena jawaban yang tidak tuntas. ”Sudah tulis saja itu,” begitu selalu ia memberikan jawaban terhadap wartawan yang mencecarnya dengan pertanyaan tajam. Namun pada beberapa isu sensiitif, Aminuddin bisa serius memberikan respons pers. Walau tetap dengan jawaban yang singkat – misalnya kasus kerusuhan Poso.

Aminuddin mengaku, ia adalah bagian komunitas pers. ”Makanya sama-sama wartawan tidak usah baku wawancara,” guraunya. ”Ada kau begini. Coba mana saya liat,” katanya terkekeh. Sesaat kemudian ia mengeluarkan kartu keemasan dari tasnya. Sebuah kartu bertulis, Confederation of Asean Journalist masih tampak terpelihara dengan baik. Di sana tertulis namanya H. Aminuddin Ponulele. Dengan nomor keanggotaan 205. Usai memperlihatkan kartu kebanggaannya , ledekannya pun makin menjadi.  ”Coba mana kau punya saya liat. Ini Asean punya. Ledo risii ,” katanya lagi sambil tersenyum lebar.

KARTU PERS – Kartu pers yang selalu dibawanya kemanapun. Perjalanan keluar negeri pun, kartu ini selalu terselip di tas kecilnya

PRESTASI YANG DIKRITIK

Sebagai manusia, Aminuddin tentu tidaklah sempurna. Sebagai tokoh politik, kritik kerap dialamatkan kepadanya. Salah satu kritik paling tajam adalah soal regenerasi di tubuh Golkar. Aminuddin memimpin Golkar Sulteng selama 15 tahun. Bagi pengeritiknya, kepemimpinan dengan durasi panjang memangkas regenerasi di partai bekas mesin politik Orde Baru itu. Inilah yang membuat kader-kadernya tak betah lagi bernaung di bawah beringin rimbun. Kemudian mencari naungan lain.

Soal ini, penulis pernah mengkonfrontasi kritikan ini kepadanya. Saat di ruang kerjanya di DPD Golkar. Maupun saat makan siang di RS Sederhana – Jalan Sungai Malei, Palu Barat bertahun lalu. Ia menjawab diplomatis khas politisi berpengalaman. Menurutnya, ia bisa menerima kritikan itu sebagai sebuah kepedulian pada partai. Baginya, keterpilihannya adalah kehendak kader melalui forum Musda. Tidak ada yang salah dalam mekanisme formal partai itu. ”Tapi kau bisa cek kan. Golkar tetap memimpin di Sulteng dan di daerah. Memang ada yang turun tapi Golkar tetap nomor satu,” tangkisnya retoris.

Tidak seperti yang sudah-sudah kali ini jawabannya serius.

Pernyataan politisi senior ini memang tidak mengada-ada. Hasil pemilu legislatif 2019 atau sepeninggalannya dari partai, Golkar kehilangan kursi ketua dengan hanya mengoleksi koleksi 7 kursi di DPRD Sulteng. Golkar hanya kebagian jatah wakil ketua. Di sejumlah daerah calon bupati/wakil bupati Partai Golkar juga kalah dalam pilbub 9 Desember lalu. Wajar jika ada yang bilang, kepempimpinan Aminuddin di Golkar pascareformasi pantas dikenang. Mengambinghitamkan regenerasi yang tersumbat sebagai penyebabnya adalah retorika yang dangkal.

Dan seperti yang diakui politisi PDIP Muharam Nurdin, saat helatan ultah ke 79 pada 2018 lalu, Aminuddin adalah guru kehidupan karena rentang pengalamannya yang beragam dan panjang. Kali ini Muharam benar.

Jejak seorang Aminuddin Ponulele berserak di segala lini kehidupan.
Di dunia kampus.
Di panggung politik.
Di dunia keormasan.
Hingga gelanggang olah raga.
Namanya dengan mudah ditemukan di sana.

Kini Sang Guru telah mangkat. Ratusan orang melayat di kediamannya. Besok dikebumikan di pemakaman keluarga di Biromaru-Sigi.

Nyaris seabad mengarungi kehidupan, membuat orang-orang mengenalnya dengan cara beragam. Banyak orang ini merasa kehilangan. Pada kesempatan terakhir, di sisi jasadnya tak henti-henti mereka merapal doa bagi Sang Guru. Demi satu tempat terbaik di sisi Tuhannya. ***

Penulis   : Amanda
Foto        : Dokumentasi sekr. DPRD Sulteng @ Dok Pribadi Aminuddin

 

*(Dihimpun dari wawancara diberbagai kesempatan dan Buku Biografi DPRD Sulteng 2009-2014)

Tinggalkan Balasan