Dari Nelayan ke Buruh Bangunan, Legasi Bahari yang Tergusur Tambang

TERHALANG BANGUNAN – tambatan perahu Hamirudin dkk, kini tertutup oleh bangunan PLTU milik PT IHIP di Desa Tondo, Bungku Barat – Kabupaten Morowali, Sulteng

PELUHNYA menganaksungai. Jatuh bercampur dengan air semen. Hamirudin mengayunkan sekopnya lagi, meski napasnya mulai tersengal. Matahari siang itu garang. Membakar kulit yang  legam dimakan waktu dan kerja keras.

Adukan semen ia campur, ia angkat, lalu ia tuangkan ke dalam cetakan. Gerakannya mulai melambat. Bukan hanya karena usia, tapi karena beban yang lebih besar dari sekadar sekop berisi semen.

Dari dalam rumah, suara panggilan makan siang terdengar. Ia meletakkan sekop, mengusap keringat di pelipis, lalu meneguk air dari botol yang isinya tinggal separuh. Tanpa sepatah kata, tubuhnya menghilang di balik pintu rumah papan.

Hamirudin, 57 tahun. Seorang bapak empat anak. Dua tahun terakhir, tangannya lebih akrab dengan sekop dan semen daripada dengan jaring ikan. Ia bukan lagi nelayan. meski hatinya masih tertambat pada laut.

Dulu, lautlah yang memberinya kehidupan. Bertahun-tahun ia mengarungi perairan Desa Tondo, Morowali. Dari pukat yang ia tarik, ia bisa membawa pulang setidaknya Rp500 ribu sehari. Dari laut, ia membangun rumah. Dari laut, ia menyekolahkan anak-anaknya. Dari laut, ia hidup.

Tapi semuanya berubah.

Pembangunan PLTU batu bara milik PT Indonesian Huobao Industrial Park (PT IHIP) berdiri megah di pesisir. Tak hanya menutup cakrawala tempatnya biasa melihat matahari terbit, tapi juga menutup satu-satunya akses nelayan menuju pantai. Laut yang dulu menjadi sumber penghidupannya kini terasa begitu jauh.

Sejak saat itu, Hamirudin dan sekitar 30 kawannya berhenti menjadi nelayan. Perusahaan tidak hanya membangun PLTU, tetapi juga menimbun habis perahu-perahu. Alat yang selama ini menjadi napas kehidupan mereka.

Sebagai gantinya, perusahaan menyerahkan ganti rugi yang berkisar antara Rp15 juta hingga Rp30 juta per perahu. Hamirudin dan koleganya sempat melawan. Mereka  menggelar aksi protes. Namun, protes hanya menggema di udara.  Tak ada tanggapan dari perusahaan, tak ada perhatian dari pihak yang seharusnya peduli.

Baginya, ganti rugi yang diberikan jauh dari kata sepadan. Uang itu mungkin bisa bertahan beberapa bulan, tapi bagaimana dengan tahun-tahun ke depan?

Ia terdiam. Di kepalanya angka Rp500 ribu sehari terus terngiang. Tak sebanding dengan upah sebagai buruh bangunan lepas . Di bawah terik yang sama, dengan tenaga yang sama, ia kini bekerja untuk sesuatu yang tak lagi cukup. Laut telah diambil darinya. Kini, ia hanya bisa menatap masa depan yang samar.

Kini, sebagai buruh bangunan lepas, Hamirudin menerima upah Rp200 ribu per hari. Angka itu jauh lebih kecil dibandingkan saat ia masih melaut. Dengan tubuh yang semakin menua, pekerjaan ini terasa lebih berat.

Namun, ia tak punya pilihan. Laut telah ditutup untuknya.  Sebagai buruh lepas, pekerjaannya pun tak menentu. Ada hari-hari di mana ada panggilan kerja. Tetapi tak jarang ia hanya duduk menunggu tanpa kepastian. “Kadang ada, kadang juga tidak. Tergantung kalau ada yang butuh,” ungkapnya.

Untuk menambal penghasilan, istrinya berjualan nasi kuning di SDN Tondo, tak jauh dari rumahnya. Namun, hasilnya pun tak seberapa. “Kadang untuk biaya sehari-hari terasa sulit,” ujarnya, matanya menerawang jauh.

Beruntung, anak-anaknya kini telah dewasa. Ada yang sudah menikah, ada pula yang bekerja sebagai abdi negara. Setidaknya, beban tanggung jawabnya tak seberat dulu.

Sesaat, Hamirudin terdiam. Pikirannya melayang ke masa-masa kejayaan sebagai nelayan. Saat laut masih menjadi miliknya, saat kebutuhan hidupnya terpenuhi dari hasil tangkapan. Meninggalkan profesi itu bukan sekadar kehilangan mata pencaharian. Tetapi juga mengubur warisan leluhur.

Melaut bukan hanya tentang mencari nafkah. Melaut adalah cara hidup. Kebudayaan bahari yang mengakar dalam dirinya—terpaksa terputus oleh keputusan sepihak perusahaan.

Seliweran pipa PLTU menguasai bibir pantai. Menggantikan dermaga tempat mereka biasa berangkat mencari ikan. Hamirudin memandang laut yang terbentang di hadapannya. Laut yang dulu memberi kehidupan, kini tak lagi memberi apa-apa.

Kini, kawan-kawannya sesama nelayan  bertahan dengan cara masing-masing. Ada yang menjadi buruh pemecah batu, dua orang mencoba peruntungan sebagai buruh kasar di perusahaan tambang PT IHIP, dan sisanya—seperti Hamirudin—menjadi buruh lepas.

Menjadi buruh pemecah batu bukanlah perkara mudah. Upah  kecil hanya sebagian dari tantangannya. Taruhannya—keselamatan fisik mereka. Setiap pukulan palu ke batu adalah risiko. Setiap butir debu yang terhirup adalah ancaman.

MEMANJAT TEBINGWarga nelayan ada yang alih profesi menjadi pemecah batu di Desa Tondo, Bungku Barat – Kabupaten Morowali

Gunung sumber bebatuan itu terletak sekitar dua kilometer dari Desa Tondo. Sebuah bentang alam yang kini berubah menjadi ladang penghidupan baru. Keras. Berbahaya. Dan tanpa perlindungan.

Di punggung bukit dengan elevasi 60 derajat, para buruh berjibaku dengan batu-batu besar. Kawasan ini bersisian dengan penggilingan pasir dan batu (sirtu) milik PT IHIP, tempat deru mesin tak pernah berhenti meraung.

Namun, di antara suara bising itu, dentingan palu menghantam batu terdengar lebih nyaring—suara perjuangan, suara keterpaksaan.

Pekerjaan ini minim perlindungan. Tak ada helm, tak ada rompi keselamatan. Beberapa buruh bekerja dengan tubuh telanjang dada, sementara yang lain hanya berbalut kaus lengan panjang dan celana lusuh.

Sepatu pelindung bukan barang wajib—banyak di antara mereka yang bekerja dengan kaki telanjang, bahkan tanpa sarung tangan. Hanya tangan kasar dan linggis yang menjadi senjata mereka.

Mereka mulai bekerja sejak matahari naik, pukul 08.00, dan baru berhenti saat senja menggelayut di kaki gunung, sekitar pukul 17.30. Namun, jika ada truk yang datang malam, pekerjaan bisa berlanjut hingga larut.

“Bisa sampai malam kalau ada yang datang ambil batu,” ujar seorang buruh berusia belasan tahun, suaranya lirih di antara dentingan logam dan serpihan batu yang beterbangan.

Di ketinggian sekitar 20 meter, mereka mencungkil bongkahan batu dengan linggis. Tak ada alat berat, hanya kekuatan tangan dan ketahanan tubuh yang menjadi andalan.

Batu-batu besar itu kemudian dipecah menggunakan palu besi seberat lima kilogram. Hantaman demi hantaman mengubahnya menjadi potongan-potongan lebih kecil—batu pondasi dan batu mangga, sebutan untuk kerikil timbunan.

Upah para buruh bervariasi, bergantung pada tugas yang mereka emban. Buruh pengumpul batu pondasi mendapat Rp200 ribu per hari, sementara buruh angkut hanya Rp150 ribu. Dari jerih payah mereka, batu yang terkumpul kemudian dijual.

Satu truk berisi lima kubik batu dihargai Rp800 ribu untuk wilayah Desa Tondo. Jika dikirim ke desa tetangga, seperti Ambunu, harganya bisa mencapai Rp1 juta. “Makin jauh jaraknya, makin mahal harganya,” rinci Hamirudin.

Di antara mereka yang kini memecah batu, ada wajah-wajah yang dulu akrab dengan laut. Salah satunya, seorang nelayan yang kini alih profesi menjadi buruh pengumpul batu. Ia bukan satu-satunya, tapi kisahnya mewakili banyak orang yang mengalami nasib serupa.

Baginya, penghasilan sebagai nelayan jauh lebih baik dibandingkan upah yang kini diterimanya sebagai buruh batu. Laut memberinya kebebasan, sedangkan kini ia hanya bisa mengandalkan otot dan keberuntungan.

Namun, ia tak punya pilihan. Ada tiga anak yang harus ia hidupi. Maka, meskipun setiap ayunan linggis dan hantaman palu terasa berat, ia tetap melakukannya.

Ketika ditanya namanya, ia hanya menggeleng pelan. “Tidak usah ditulis nama saya,” katanya, suaranya serak. Mungkin ada rasa enggan, mungkin juga ada ketakutan. Ia tak ingin namanya tercatat—cukup kisahnya yang berbicara.

Selain dirinya, masih ada beberapa rekannya sesama mantan nelayan yang kini bekerja di tempat yang sama. “Dia tidak datang, anaknya sakit,” ucapnya singkat, ketika ditanya tentang seorang rekan yang hari itu absen.

Saat ditanya apakah penghasilannya cukup untuk menutupi kebutuhan pokok di rumahnya, ia hanya menggeleng pelan. Tak ada jawaban verbal, hanya isyarat tubuh yang menjelaskan segalanya.

Batu-batu tajam ia kumpulkan, menggulirkannya ke bawah dengan gerakan mekanis—sebuah rutinitas yang kini menggantikan kebiasaannya menarik jala.

Kini, mereka harus menyesuaikan diri dengan gemuruh yang berbeda. Denting palu menghantam batu, suara truk yang datang dan pergi. Deru mesin yang tak pernah benar-benar hening.

Laut masih terbentang di kejauhan. Namun, ia tak lagi memberi mereka kehidupan. Hanya kenangan yang tersisa, bergulung bersama ombak yang terus berdebur di pesisir yang kini tak lagi mereka jamah.

Suku Bajo di Desa Fatufia Menjadi Ojek Laut

Bumi Morowali, sejengkal demi sejengkal, dipahat ulang oleh kepentingan industri. Tanahnya kaya dengan mineral tambang, namun kemewahan itu bukan untuk mereka yang telah lama hidup di sini.

Di Kecamatan Bahodopi, kisah tentang orang-orang pesisir yang kehilangan sumber penghidupan tersaji gamblang—bukan sekadar cerita, tetapi kenyataan yang terus berulang.

Di wilayah ini, sebuah nama raksasa mendominasi: PT IMIP, akronim dari Indonesian Morowali Industrial Park. Kawasan industri ini bukan hanya melahap hutan ribuan hektare, tetapi juga mengokupasi pantai-pantai di desa-desa sekitarnya.

Tak ada lagi ruang bagi perahu-perahu nelayan yang dulu bebas bergerak menyesuaikan arus. Tak ada lagi kebebasan bagi mereka yang menggantungkan hidupnya pada laut. Di Dusun Kurisa, Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, jejak-jejak keterpaksaan itu nyata.

Dusun ini di huni oleh etnis Bajo, kelompok yang selama ratusan tahun dikenal sebagai “penguasa” dunia laut. Bagi mereka, laut bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga identitas, warisan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini status itu tercerabut.

Mereka yang dulu menjelajah samudra dengan penuh kebanggaan, kini harus menepi. Mereka yang terbiasa membaca arah angin dan arus, kini dipaksa membaca ritme pabrik dan industri. Hilirisasi nikel, kata pemerintah, adalah masa depan. Bagi mereka, itu adalah akhir dari sebuah peradaban

Sudirman, lelaki Bajo yang puluhan tahun menjelajah perairan Morowali, kini hanya bisa menatap laut yang dulu begitu akrab dengannya. Samudra biru terbentang luas di hadapannya, tetapi bukan lagi ruang hidup yang bisa ia jelajahi dengan bebas. Yang tersisa hanyalah kenangan—jejak masa kejayaan yang perlahan memudar.

Di tiang rumahnya yang berdiri di atas air, sebuah perahu tertambat. Kayunya sudah mulai lapuk, talinya sedikit mengendur. Ombak kecil yang memecah di bawah rumah panggung itu membuat lambung perahu bergoyang pelan, menghasilkan bebunyian khas yang dulu menenangkan, kini justru membangkitkan kegelisahan.

Sudirman terdiam. Ada kerinduan yang tak terkatakan dalam tatapannya, ada keraguan yang menggantung di ujung bibirnya. Kecipak ombak, suara yang dulu menemaninya berlayar di fajar dan senja, kini terasa seperti ejekan halus dari kehidupan yang tak lagi memihak.

ASAP PABRIKAsap pabrik di Kecamatan Bahodopi – Morowali membubung tinggi ke langit lepas

Hasratnya untuk mengakrabi laut perlahan meredup. Bukan karena ia tak ingin. Tetapi karena laut yang dulu memberinya kehidupan, kini hanya menawarkan nostalgia yang pahit.

Sudirman menghela napas panjang. Bukan hanya ruang hidupnya yang semakin sempit, tetapi laut yang dulu menjadi sumber kehidupannya pun kini terasa asing. Sejak PT IMIP berdiri dengan puluhan perusahaan di dalamnya, air laut berubah.

“Dulu airnya tidak panas begini,” ujarnya, nada suaranya sarat dengan kekesalan yang tertahan.

Ia menunjuk ke arah perairan yang membentang di hadapannya. Ombak masih bergulung seperti biasa, tetapi ada yang berbeda. Suhu air meningkat, ikan-ikan menghilang. Sejauh mata memandang, tak ada lagi perahu yang sibuk menebar jaring.

Sudirman yakin, perubahan ini bukan terjadi begitu saja. Ia dan para nelayan lain menyaksikan bagaimana limbah industri dan sisa pembakaran PLTU dibuang begitu saja ke laut, mencemari perairan yang dulu jernih dan penuh kehidupan.

Akibatnya, tak ada lagi tangkapan, bahkan hingga radius beberapa kilometer ke laut dalam. “Bagaimana mau ada ikan, kalau airnya panas?” keluhnya.

Mereka sebenarnya masih bisa melaut lebih jauh, ke perairan yang lebih dalam. Namun, itu berarti biaya bahan bakar melonjak. Jika dulu satu hingga dua liter sudah cukup untuk pulang membawa hasil, kini mereka membutuhkan setidaknya lima hingga tujuh liter. Dan itupun belum tentu berbanding lurus dengan hasil tangkapan.

Bagi Sudirman, laut yang dulu begitu dermawan kini berubah menjadi tempat yang tak lagi ramah. Setiap kali ia menatap hamparan air di depannya, yang tersisa hanyalah pertanyaan:

Sampai kapan laut akan bertahan? Atau justru ia sudah menyerah? Tak lagi melaut, Sudirman kini beralih menjadi ojek laut—begitulah warga setempat menyebut profesi barunya.

Bukan lagi menebar jala atau menaklukkan ombak, melainkan mengantar jemput anak buah kapal yang berlabuh ke daratan, atau sekadar berpindah dari satu kapal ke kapal lainnya.

Tarifnya seratus ribu rupiah sekali jalan. Jumlah yang cukup untuk memastikan asap dapur tetap mengepul, tapi jauh dari cukup untuk mengisi kehampaan dalam dirinya.

Bagi orang lain, mungkin ini sekadar peralihan profesi. Namun, bagi Sudirman—seorang Bajo yang menemukan harga dirinya di samudra, di bawah langit biru yang tak berbatas—menjadi ojek laut adalah keterpaksaan.

Kerinduannya untuk menaklukkan ombak, untuk kembali menjadi penguasa lautan, tak bisa digantikan oleh berapa pun hasil dari antar jemput ABK. Beberapa warga Bajo lainnya bahkan memilih jalur yang lebih drastis—meninggalkan laut sepenuhnya, menjadi buruh di PT IMIP.

Ndaing, seorang kerabatnya sesama nelayan Bajo, mengalami nasib serupa. Ia kini mengandalkan perahu bantuan dari perusahaan untuk mengantar penumpang. Ia menghela napas, lalu menunjuk ke arah puluhan perahu yang tertambat kaku di dermaga, seperti artefak masa lalu yang kehilangan fungsinya.

“Tidak ada lagi ikan di laut ini,” katanya, suaranya datar, nyaris tanpa emosi—seakan  terlalu lelah untuk sekadar marah.

Pendapatannya dari mengantar penumpang jauh dari cukup. Ia tahu, sekadar bertahan hidup bukanlah satu-satunya tujuan. Ia, seperti Sudirman, tak hanya kehilangan penghasilan, tapi juga kehilangan dunia yang selama ini mendefinisikan siapa dirinya.

Kini, mereka hanya bisa bertanya-tanya: Masih pantaskah mereka disebut nelayan?

Selvi, sang istri, kini menambal penghasilan suaminya dengan berjualan kue basah. Setiap pagi, tangannya yang dulu sibuk mengolah hasil laut kini lebih sering meracik adonan, mencoba menyiasati hidup yang makin sempit.

Padahal, dulu sebelum PLTU dan industri nikel menguasai pesisir, hidup mereka jauh dari kata sulit. Karamba dan empang menjadi sumber rezeki yang melimpah. Laut memberi mereka kehidupan, bukan sekadar janji semu. Kini, semua itu hanya cerita masa lalu, tersapu perubahan suhu air laut dan mengusir ikan-ikan pergi entah ke mana.

Di bibir pantai Dusun Kurisa, para perempuan berdiri masgul. Mereka bukan sekadar ibu rumah tangga. Tetapi juga penjaga laut.  Saksi bisu atas perubahan yang tak pernah mereka inginkan. Setiap hari, mereka menyaksikan laut yang dulu bening kini berubah keruh. Gelombang yang dulu membawa berkah kini datang bersama ketakutan.

Ibu Hanisa dan Selvi, bersama ibu-ibu lainnya, menatap hamparan laut dengan kecemasan yang tak terucap. Bagi mereka, kehilangan laut bukan hanya tentang kehilangan penghasilan, tapi juga tentang kehilangan masa depan bagi anak-anak mereka. Apa yang akan mereka wariskan? Sebuah pesisir yang tercemar? Laut yang penuh limbah?

Di antara suara angin dan debur ombak yang kehilangan kejernihannya, mereka berdoa. Mereka tak hanya merindukan laut yang bersih, tetapi juga berharap suara mereka mampu menembus dinding ketidakpedulian. Agar suatu hari nanti, laut kembali jernih, dan kehidupan bisa bersemi lagi di pantai yang mereka cintai.

PANTAIKURISA Pantai di Dusun Kurisa – Kecamatan Bahodopi, warganya tidak bisa lagi melaut karena air laut di pantai panas, warga tak lagi melaut.

Di Ambang Senja, Suku Bajo Kehilangan Lautnya

Kehadiran PT IMIP bukan sekadar mengubah lanskap pesisir Dusun Kurisa, tetapi juga merenggut kebudayaan yang telah mengakar ratusan tahun lamanya.

Suku Bajo, yang sejak lahir ditakdirkan hidup di atas laut, kini dipaksa menanggalkan warisan leluhur mereka. Profesi turun-temurun sebagai nelayan perlahan menghilang, tergantikan oleh peran-peran baru yang asing bagi mereka.

Di dusun ini, tak sedikit orang Bajo yang kini menjadi ojek laut, mengantar anak buah kapal dari tongkang ke daratan. Sebagian lainnya bekerja sebagai buruh di kawasan industri.

Mereka bukan beralih profesi karena pilihan, tetapi karena keadaan yang memaksa. Laut yang dulu memberi mereka kehidupan, kini justru mengasingkan mereka.

Bagi orang Bajo, laut bukan sekadar hamparan air yang membentang hingga cakrawala. Laut adalah rumah, tempat mereka mengenal kehidupan dan kemerdekaan.

Di atas perahu kecil, mereka berlayar mengikuti arah angin, merasakan denyut ombak sebagai irama kehidupan. Setiap tarikan jala bukan hanya tentang menangkap ikan, tetapi juga tentang merawat tradisi, menghidupi mimpi-mimpi yang diwariskan turun-temurun.

Namun kini, laut tak lagi ramah. Suhunya berubah, ikan-ikan menghilang, dan perahu-perahu mereka terdampar di pesisir, tertambat tanpa tujuan.

Karang yang dulu menjadi penanda arah kini hanya saksi bisu kehancuran. Angin yang dulu bernyanyi di sela-sela layar kini hanya membawa sunyi. Di Dusun Kurisa, suku Bajo tak sekadar kehilangan mata pencaharian. Mereka kehilangan sesuatu yang lebih besar—jati diri mereka sebagai pelaut ulung.

Air Keruh, Janji yang Menguap

Dusun Kurisa, 26 Oktober 2024 — Senja merayap di Dusun Kurisa, menyisakan bias jingga di balik cerobong asap pabrik yang berdiri kokoh di kejauhan. Di rumah Ibu Selvi, kesibukan tampak tak biasa.

Sejumlah orang berkumpul, menyiapkan hajatan untuk seorang kerabat yang akan menikah di usia dini, 15 tahun. Sementara di sudut lain, beberapa pria tergopoh-gopoh membopong galon air.

Di ruang tengah, tumpukan air kemasan berjejal—sebuah ironi di tanah yang dulunya memiliki air jernih yang bisa langsung diteguk.

“Begitulah kami di sini, sudah tidak bisa dapat ikan, air pun tak bisa diminum,” keluh Ibu Selvi, suaranya setengah getir. Ia menyorongkan segayung air keruh kekuningan—bukti nyata perubahan yang mereka alami.

Air yang dulu jernih kini menjadi sumber penyakit. Jika dipakai mandi, kulit terasa gatal, muncul bintik-bintik merah di sekujur tubuh.

Ibu Hanisa, yang sedari tadi mendengarkan, ikut bersuara. Dulu, sebelum ada industri nikel dan PLTU, air kami bersih. Tak ada bau, tak ada rasa. Sekarang, bahkan untuk mencuci pakaian pun kami khawatir, katanya lirih.

Sebelumnya, setidaknya ada kompensasi yang diberikan perusahaan. Mereka menyebutnya ‘uang debu’ sebesar Rp3,5 juta per tahun dan uang limbah’ Rp1 juta per tahun—angka yang sejatinya tak sebanding dengan rusaknya ekosistem. Namun kini, kompensasi itu lenyap entah ke mana.

Sekarang uang itu tidak ada lagi. Kami juga tak tahu kenapa, ujar Ibu Selvi, menggeleng pelan.

Di luar rumah, seorang pria berjalan melewati jalanan tanah yang berdebu. Senja makin pekat, tapi di langit, asap dari cerobong PLTU masih mengepul, menyelimuti desa yang dulu dipeluk birunya laut dan jernihnya air.

Senja semakin tenggelam di Dusun Kurisa, meninggalkan guratan merah di langit yang beradu dengan pekatnya asap pabrik. Di tengah kepungan industri yang terus meluas, suara warga tak jua menemukan gaung.

Namun, mereka bukan pengemis.

“Kami tidak meminta kompensasi yang tidak manusiawi itu,” tegas Ndaing, suaranya dipenuhi getir. “Kami hanya butuh laut yang bisa kami garap dan air yang bisa kami minum. Selebihnya, biar kami urus sendiri,’’ katanya.

Bagi masyarakat Bajo, laut bukan sekadar sumber penghidupan. Ia adalah nadi kehidupan, penanda peradaban yang menghubungkan mereka dengan leluhur. Tapi kini, napas laut itu seakan terputus.

Ibu Selvi dan Ibu Hanisa, perempuan pesisir yang sejak lahir terbiasa membaca arus dan gelombang, kini kehilangan tempat mereka berpijak.

Pantai yang dulu jernih, tempat mereka mencelupkan kaki kecil saat kanak-kanak, kini terpapar limbah tambang dan PLTU. Pasirnya kusam, airnya keruh, dan laut yang dulu memberi kehidupan, kini hanya menyisakan jejak keperihan.

Di kejauhan, ombak terus bergulung. Namun bagi mereka, laut tak lagi berbicara. Ia hanya diam, menyimpan kesedihan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.

Laut yang Tak Lagi Berbisik

Di setiap tarikan napas, perempuan-perempuan pesisir Dusun Kurisa menyimpan cerita. Tentang laut yang dulu menjadi rumah, tempat mereka melahirkan, membesarkan, dan mendidik anak-anak mereka dengan kebijaksanaan arus dan angin. Kini, laut itu asing.

Ombak yang dahulu berbisik lembut kini hanya membawa jejak limbah. Perahu-perahu tertambat kaku, tak lagi berlayar mencari ikan. Anak-anak Bajo yang dulu tumbuh dengan asin garam laut, kini lebih sering melihat layar ponsel daripada menatap cakrawala yang membentang tanpa batas.

“Dulu, anak-anak lahir di atas perahu. Sekarang, laut tak lagi bisa memberi hidup,” bisik seorang ibu dengan tatapan menerawang ke horizon yang samar.

Namun, harapan belum benar-benar tenggelam. Di antara debu industri dan riak ombak yang lelah, masih tersimpan doa agar laut bisa kembali pulih.

Agar anak-anak Bajo tak hanya mengenal lautan dari cerita, tapi juga merasakannya, menyelaminya, dan kembali menjadikannya bagian dari jiwa mereka—sebagaimana yang telah diwariskan oleh leluhur mereka sejak dahulu kala. Mereka menanti laut yang kembali berbisik.

PULANG KERJA – Sepulang kerja buruh istrahat 

Dampak Hilirisasi Nikel: Antara Ambisi dan Kehancuran

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah menilai bahwa industrialisasi nikel yang digenjot pemerintah dalam agenda percepatan pembangunan nasional tak hanya menghancurkan lingkungan, tetapi juga merampas kehidupan warga di lingkar tambang.

Menurut Wandi, Campaigner WALHI Sulteng, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive di kawasan perumahan warga demi menunjang operasi smelter nikel terbukti menyengsarakan masyarakat.

Limbah yang dibuang ke laut, polusi udara yang kian pekat, serta suhu air yang meningkat drastis telah membuat nelayan kehilangan sumber mata pencahariannya.

“Pemerintah melanggengkan praktik buruk yang merugikan masyarakat. Ambisi menggenjot hilirisasi nikel telah mengorbankan lingkungan dan melanggar komitmen untuk mencegah perubahan iklim,” ujar Wandi.

Ketimpangan akibat industri ekstraktif, lanjutnya, telah menghilangkan ruang penghidupan masyarakat, merampas tanah-tanah mereka, serta menghadirkan ancaman kesehatan akibat polusi yang semakin tak terkendali.

Morowali dan Morowali Utara, dua kabupaten yang menjadi pusat eksploitasi nikel, kini menghadapi masa depan yang tak pasti. Jika kerusakan lingkungan terus berlanjut, maka bencana ekologis dan sosial di wilayah ini hanya tinggal menunggu waktu.

Pemerintah, sebagai pemegang kendali penuh, tak bisa lagi menutup mata. Mereka harus segera bertindak tegas, mengurangi dampak eksploitasi tambang, memperketat pengawasan, serta menjatuhkan sanksi keras bagi perusahaan yang mencemari lingkungan.

Tak cukup hanya itu, langkah drastis harus diambil—termasuk menutup PLTU Captive yang menjadi sumber utama pencemaran. “Kita minta pemerintah tegas dalam soal ini,” tegas Wandi, Campaigner WALHI Sulteng.

Kerusakan ekologis yang terus berlangsung bukan sekadar ancaman bagi alam, tetapi bom waktu yang perlahan berdetak. Jika dibiarkan, ledakannya akan menghancurkan bukan hanya lingkungan, tetapi juga tatanan sosial dan ekonomi masyarakat.

WALHI Sulteng telah lama mengingatkan: eksploitasi yang rakus ini akan menuai badai. Alam yang dirusak tanpa kendali tak akan tinggal diam. Suatu hari, ia akan menuntut balas. Dan saat itu tiba, penyesalan tak lagi berarti. ***

Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Stevy 

Artikel ini republikasi dari website WALHI Sulteng

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan