TULISAN ini, tak sekadar untuk mengenang dua tahun kepergiannya. Bukan juga semata mengenang kemurahan hatinya pada jurnalisme. Di atas itu, untuk mengenang nilai yang diwariskannya. Demokrasi dan kemanusiaan. Dua nilai, yang hari hari ini makin suram akibat kompetisi hidup yang makin keras dan mematikan.
Tahmidi Lasahido (9 Januari 1966 – 2 September 2018). Ia wafat pada usia 52 tahun. Delapan bulan menjelang usianya ke 53. Mangkat di usia yang masih produktif, Kak Midi banyak meninggalkan jejak yang pantas dikenang. Jejak yang pada dua tahun kepergiannya masih terpahat kokoh dalam benak orang-orang dekatnya. Atau setidaknya yang pernah mengenalnya.
Salah satu yang membekas itu, adalah komitmennya mewujudkan demokrasi. Untuk yang satu ini, tak hanya terbaca pada pikiran-pikirannya. Atau didiskusi civil society yang diikutinya – dimana sesekali dia menjadi pembicaranya. Komitmen itu, ditunjukkannya dengan memberi dukungan tak berpamrih bagi kelompok maupun individu yang punya visi dalam perjuangan mewujudkan demokrasi. Salah satunya pada jurnalisme.
Kak Midi menyediakan bangunan papan, bekas kantor PRRSNI Sulteng, untuk markas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu. Dipinjamkan gratis. Tak kurang 15 tahun AJI bermarkas di bangunan samping Radio Nebula itu. Tak hanya tak membayar sewa bangunan. Fasilitas air bersih, mushola plus kantin tempat anggota AJI bisa ngutang kopi susu, disediakan di kawasan strategis Rajawali 28. Fasilitas yang membuat wartawan serasa dimanjakan. Tak semua orang mempunyai keluasan hati, memberikan bangunannya secara cuma-cuma untuk kumpul-kumpul. Tanpa memberikan keuntungan sedikitpun kepada pemiliknya.
Untuk membayar sekretariat di kawasan bisnis seperti di Jalan Rajawali – akan membuat lembaga semi volunterisme seperti AJI agak kerepotan. Karena itu, pemberian sekretariat gratis ini adalah anugerah. Sekali lagi ini bukan semata karena wartawannya. Tapi karena komitmennya pada nilai-nilai demokrasi.
Di sana, AJI Palu selama 15 tahun, sukses mengonsolidasi gerakan gerakannya. Mematangkan visi ideologinya. Mulai dari perjuangan kesamarataan hak, penghormatan pada HAM dan pembelaan yang gigih pada orang-orang ”kalah”. Atau menjadi tempat para pejabat tinggi, artis, orang-orang terzalimi hingga pemborong yang kalah tender menyampaikan keluh kesahnya kepada wartawan. Atau suara lirih, sakit hati para perempuan yang suaminya diembat pelakor pun pernah diterima dengan tangan terbuka oleh wartawan di tempat itu. Semua agenda AJI dilakukan dengan lancar dan baik baik saja. Tanpa dibebani fikiran membayar sewa pada akhir bulan atau akhir tahun.
Selama sekitar 13 tahun bersama AJI, Kak Midi aktif memberikan pikirannya soal bagaimana seharusnya jurnalisme menjadi instrumen bagi perjuangan kemanusiaan. ”Perjuangan tertinggi jurnalisme itu di atas batas negara. Apa lagi hanya kekuasaan atau sentimen primordialisme. Perjuangannya pada kemanusiaan,” katanya pada suatu ketika, saat mengomentari maraknya konflik antarkampung medio 2000-an.
Ia melanjutkan, perspektif yang dibangun dalam pemberitaan konflik antarwarga, harus sarat dengan pesan kemanusiaan. Dengan demikian jurnalisme tidak terjebak menjadikan berita konflik sebagai komoditas bermotif keuntungan ekonomi. Cerita Kak Midi di meja makan bundar di kediamannya itu terjadi, saat AJI Palu menjelaskan program Development and Peace (DnP). Program yang sedang digarap AJI kala itu. Cerita itu adalah respons kegundahannya atas pemberitaan media yang dominan dengan konflik antarwarga yang menghiasi halaman koran saat itu.
Ia juga mengingatkan, soal konvergensi dan disrupsi media. Termasuk artificial intelligence (AI) yang bisa saja menyasar profesi wartawan. Tetapi sekeras apa pun benturan yang dihadapi jurnalisme, menurut Kak Midi, ia tidak boleh kehilangan jatidirinya. Jurnalisme harus menjadi petunjuk arah dan pembela kepentingan orang lemah di tengah masyarakat dengan kualitas literasi yang belum terlalu baik.
Banyak cerita selama interaksi 15 tahun di sana. Khususnya masa 13 tahun bersama mendiang. Termasuk cerita remeh temeh. Misalnya, halaman sekretariat yang selalu kotor. Atau sikap tengil kawan-kawan yang gemar buang puntung rokok sembarangan.
Saat itu, Kak Midi belum memasang wifi di rumahnya. Untuk mengakses internet, ia harus ke AJI. Meja yang penuh dengan gelas plastik dan halaman yang belum sempat dibersihkan, tak hanya mengganggu pemandangan tapi juga perasaan. Ia menghilang beberapa saat, lalu kembali menenteng kemoceng di tangannya. Ia lalu membersihkan meja untuk laptop vaio mungilnya – dan langsung kerja. Tidak menggerutu atau menyuruh kami untuk membersihkan halaman yang tak seberapa luas itu. Sekotor apa pun, belum terdengar ia menggerutu apa lagi menghardik kami karena tidak membersihkannya.
Walau memberikan fasilitas gratis bagi jurnalis, Kak Midi tetap bisa dikritik secara terbuka. Bahkan kritik paling keras pun. Harian Palu Ekspres edisi cetak, dua kali melancarkan kritik sangat tajam untuk dua momentum yang berbeda. Pertama, saat Kak Midi menjadi kandidat Wakil Wali Kota Palu bersama Mulhanan Tombolotutu, setelah kegagalannya di Kabupaten Touna. Kedua, saat merilis pencalonan Bupati Donggala Kasman Lassa pada periode pertama.
Saat itu, partai yang dipimpinnya, sedang menggaungkan jargon politik tanpa mahar. Palu Ekspres menurunkan tulisan, politik tanpa mahar tak lebih sebagai politik citra yang kosong. Mengutip pendapat pengamat, politik tanpa mahar – tak lebih sebagai politik citra, saat politik Indonesia terlihat seperti binatang pemangsa yang rakus. Tidak memungut mahar sebagai uang tanda jadi calon, bisa saja benar. Namun apa yang terjadi saat kuasa direbut. Apakah parpol tidak cawe-cawe merecoki kebijakan proyek? Tulis Palu Ekspres dalam beritanya.
Kak Midi pun kedapatan membaca artikel yang terbit di halaman satu itu. Saban hari beberapa wartawan anggota AJI membawa jatah korannya untuk dibaca di Sekretariat AJI.
”Keras artikelnya,” katanya singkat. Tidak ada ekspresi kesal. Alih alih mengarahkan orang-orangnya mempersekusi jurnalis – seperti yang pernah dialami beberapa jurnalis di Palu. Atau mengarahkannya agar produk jurnalistik diadili ke peradilan selain selain Dewan Pers. Persis seperti yang dialami jurnalis beberapa tahun belakangan.
Ada juga celetukannya. ”So banyak uangmukah,”? Saat AJI Palu menyodorkan uang beberapa juta untuk membayar sekretariat. ”Tidak perlu. Penuhi saja kebutuhan kamu di situ,” sahutnya kemudian.
Komitmennya untuk terus mendukung kekuatan civil society, bahkan membuat Kak Midi tiba pada rencana yang sudah sangat matang. Membangun sekretariat permanen bagi AJI Palu di salah sudut di Lapangan Futsal Nebula. Rencana yang kemudian tidak sempat terealisasi.
Saat masih menjadi dosen di Universitas Tadulako, intensitas pertemuan diselingi diskusi sering dilakukan di beranda Sekretariat AJI. Beragam topik dibahas, mulai dari musik kontemporer, pentingnya pers bebas, konflik komunal, hingga model Pemilu di Amerika menjadi topik yang selalu didiskusikan.
Di puncak keseruan final Piala Dunia 2010 pun, apalagi saat Der Panzer tim favoritnya kalah di semi final oleh Spanyol, Kak Midi masih menyisipkan diskusi musik di era Fariz RM, Keenan Nasution, Januari Kristi, Dedy Stanzah hingga Ariel Noah. ”Saat itu era pop progresif,” katanya. Ia juga mengeritik kualitas musisi Indonesia. Tak hanya kualitas musikalitasnya yang rendah. Kegemaran musisi era 2000-an yang memasukan kosa kata bahasa asing di tengah lirik lagu pun tak luput dari perhatiannya.
Di puncak diskusi, tiba tiba Kak Midi nyeletuk ”Ngana so hapal semua lagunya Caca Handika,” ungkap Kak Midi memecah keseruan diskusi.
Posisinya sebagai penabuh drum di Maddnes Band yang dibesutnya, membuat Kak Midi mempunyai segudang pengetahuan tentang seluk beluk musik di negeri ini. Pensiun dini sebagai pendidik, intensitas diskusi dengannya semakin berkurang. Ia hanya sesekali terlihat sekelabatan melintas di depan sekretariat dengan langkah tergesa. Menuju mobil yang selalu memberangkatkannya kemana pun.
Tanggungjawab sebagai pimpinan partai yang diembannya membuat kesibukannya berlipat. Menjelajah seluruh pelosok. Melakukan konsolidasi politik di seluruh Sulawesi Tengah. Sesekali ia mampir di beranda sekretariat AJI, meminta didrop ke ATM. Atau meminta tolong pada siapa pun yang dilihatnya, membeli roti tawar di toko langganannya di Jalan Bali. Beberapa kali minta dibonceng ke Jalan Kartini Atas. Melahap Cotto Makassar yang sekali duduk bisa ludes dua mangkok. Tanpa ketupat plus air minum dua gelas tanpa es.
Nyaris tak ada lagi diskusi informal di Sekretariat AJI di puncak-puncak kesibukannya.
Hingga akhirnya, pada suatu hari seusai magrib, sekondannya, Ermas Cintawan SH, menghampiri kami. Ia mengabarkan, Kak Midi masuk di RS Bala Keselamatan. ”Mohon doanya, Midi dirawat di rumah sakit BK,” ungkap mantan gitaris di Maddnes Band ini.
Ketika dirawat di RS Bala Keselamatan Palu, Kak Midi sepertinya sudah mengirimkan pesan kepada kerabatnya akan kepergiannya selama-lamanya. Beberapa hari terbaring, ia meminta Bendahara Palu TV, datang di rumah sakit. Ia menandatangani pencairan gaji untuk empat bulan kedepan. ”Saya tandatangani saja untuk beberapa bulan kedepan. Mungkin kamu tidak bisa ketemu saya lagi,” demikian sepenggal kalimat Kak Midi kepada Nana, Bendahara Palu TV.
Beberapa hari di sana, ia diterbangkan ke Jakarta. Dan di Jakarta pula, 2 September 2018 Kak Midi menyerah pada takdirnya. Di usia yang masih produktif 52 tahun. Dan 26 hari kemudian, putri sulungnya, Disa Daramantasya Lasahido menyusulnya ke haribaan Ilahi Rabbi. Disa wafat di Pantai Talise bersamaan dengan datangnya gelombang tsunami yang menyapu kawasan pantai di senja kelabu, 28 September 2018 itu.
Selamat Jalan Kak Midi..!
Selamat Jalan Disa..!
Jika akhirnya AJI Palu harus beranjak dari kawasan Rajawali 28, bukan karena Kak Midi tidak ada lagi. Bukan pula karena ada peruntukkan lain bagi bangunan bekas base camp Band Maddnes itu. Kepindahan ini, semata-mata karena tuntutan organisasi yang makin besar. Agenda organisasi makin banyak. Personel terus bertambah. Dinamika yang harus direspons AJI makin kompleks. Praktis, membutuhkan pengorganisasian yang besar pula. Dan untuk semua itu AJI membutuhkan ruang yang lebih lapang.
Dan kepada Kak Midi, satu hal yang tak bisa diabaikan. Almarhum dengan obsesi dan komitmennya telah meletakkan tonggak penting bagi jurnalisme dan demokrasi di daerah ini.
Tinta emas sejarah mencatat itu.
Kak Midi, Jurnalisme berutang padamu.
Alfatiha….!!
Penulis: Amanda
3 replies on “Mengenang Kak Midi, Warisannya Bagi Jurnalisme”
Alfatiha.
semoga almarhum dan Disa mendapat terbaik di sisiNya
Alfatiha