Sungai Purba Badangkaia Tempat Berkembangnya Peradaban Megalit Bada

SUNGAI PURBA – Tebing menjulang merekam dengan baik jejak sungai purba di Desa Badangkaia, Lore Selatan, Sabtu 9 November 2024.

MENYUSURI sungai purba Badangkaia di Desa Badangkaia Kecamatan Lore Selatan – Poso, tak hanya menyaksikan arus sungai berkejaran menuju muara. Sungai dengan warna khas mirip minuman kaleng bersoda, adalah saksi panjang yang mengalirkan jejak waktu, saksi perubahan bentang alam dan saksi transformasi peradaban manusia  di Lembah Bada hingga  saat ini. Tim Ekspedisi Geopark Poso, mendatangi sungai purba, salah satu yang direkomendasikan oleh Badan Geologi Kementerian ESDM.  Kabupaten Poso memiliki 24 warisan geologi Poso, empat di antaranya terdapat di Lembah Bada yang tersebar di tiga desa di tiga kecamatan. Lembah Bada terbentuk di antara pegunungan yang tersusun oleh batuan intrusi granit dan Formasi Latimojong lalu diisi oleh endapan alluvial dan fluvial dan menjadi tempat peradaban megalit berkembang di Lembah Bada.

Ahli Geologi Universitas Teknologi Nanyang Singapura, Dr Abang Mansyursyah Surya Nugroho, menjelaskan, pada situs sungai purba Badangkaia terdapat singkapan perlapisan horizontal batupasir dan batulempung dengan ketebalan hingga 30 meter di pinggir Sungai Malei. Menurut Abang, erosi dan bentukan channel pada batu pasir serta kehadiran fragmen karbon sisa tumbuhan pada batulempung mengindikasikan lingkungan pengendapan sungai. Singkapan batuan ini menurut dia, diperkirakan sebagai unit termuda dari Molasa Sulawesi yang diendapkan pada lingkungan darat yang dilalui oleh Sungai Purba pada kala Kuarter. Selanjutnya, ia mengatakan, lembah yang terbentuk diantara pegunungan yang tersusun oleh batuan intrusi granit dan Formasi Latimojong kemudian diisi oleh endapan alluvial dan fluvial. ‘’Ini menjadi tempat peradaban megalit berkembang di Lembah Bada,’’ jelas Abang. Selain di Desa Badangkaia,  Tim Ekspedisi situs warisan geologi

Selanjutnya ada Hipostratipe Formasi Latimojong Bomba yang menyingkap perselingan batupasir dan batulempung menyerpih dari Formasi Latimojong yang diperkirakan berumur Kapur Akhir. Usianya berkisar 100 juta hingga 66 juta tahun yang lalu. Batupasir kompak berukuran kasar hingga halus tersusun atas mineral yang tertutup cukup baik. Menurut Abang, terdapat struktur laminasi paralel dan rip-up clast serta graded bedding.  Ciri-ciri tersebut mendukung interpretasi Formasi Latimojong yang diendapakan pada cekungan depan busur di sepanjang tepi tenggara Sundaland selama subduksi sejal Kapur Akhir (van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). ‘’Sesar yang memotong lapisan ini mengindikasikan proses deformasi setelah pengendapan yang kemungkinan berkaitan dengan pengangkatan batuan ini,’’ jelasnya.

AHLI GEOLOGI – Ahli Geologi Universitas Teknologi Nanyang Singapura, Dr Abang Mansyursyah Surya Nugroho, menjelaskan batuan yang menjelaskan jejak sungai Purba di Desa Badangakia, Sabtu 9 November 2024

Lalu berikutnya, Air Terjun Kolori, di sini teradapat sesar dan rekahan yang terdapat di air terjun Kolori menunjukkan proses deformasi akibat proses tektonik setelah pembekuan batuan. Sesar yang ditemukan berarah barat timur. Rekahan dan sesar ini juga lanjut Abang, yang membuat proses erosi sehingga dihasilkan bongkah-bongkah besar di Sungai Kolori. Kalamba yang belum selesai dibuat mengindikasikan suatu ‘bengkel purba’ dengan bahan dasar yang berasal dari batuan granitoid di sekitar air terjun kolori. Kalamba ini memiliki jenis batuan granitoid dengan susunan komposisi mineral yang sama.

Kunjungan terakhir di Lemba Bada adalah di mata air panas Lengkeka Kecamatan Lore Barat. Di sini terdapat Granit Kambuno. Berdasarkan penentuan umur melalui zirkon, Granit Kambuno memiliki kisaran umur 5 – 8 Juta tahun yang lalu. Kehadiran mata air panas Lengkeka menjadi bukti adanya sumber panas dari intrusi granit yang masih menyimpan panas di bawah permukan karena ukurannya yang besar. Lebih jauh ia mengatakan, intrusi granit berasal dari tubuh besar magma yang menerobos lapisan bumi. Kemudian mendingin dan mengeras mendekati permukaan bumi. Air hujan dan air tanah yang meresap ke dalam lapisan batuan dan tanah melalui celah dan retakan menjadi panas ketika menyentuh tubuh intrusi granit. Selanjutnya, air yang dipanaskan menjadi ringan dan menjadi uap naik kembali ke permukaan melalui retakan dan jalur sesar. ‘’Saat naik, air melarutkan mineral dari batuan di sekitarnya, sering kali membentuk mata air panas yang kaya mineral. Ketika air panas mencapai permukaan, air tersebut muncul sebagai mata air panas,’’ pungkas Abang rinci. ***

Penulis: Yardin Hasan
Foto-foto: Basrul Idrus/Institut Mosintuwu

Tinggalkan Balasan