TIM Ekspedisi Geopark Poso memulai misi perjalanan edisi keempat, awal November 2024 lalu. Ekspedisi kali ini sangat spesial, karena kunjungan pada 24 geosite akan menjadi rujukan untuk penyusunan rencana induk (Renduk) Geopark Poso. Artinya, ikhtiar menuju Geopark Poso alias Taman Bumi yang mulai digagas dan dikerjakan sejak 2018, tinggal menyisakan beberapa langkah. Dimotori oleh Institut Mosintuwu Poso, ekspedisi yang berlangsung 14 hari, diikuti oleh para ilmuwan dan praktisi dengan beragam kepakaran. Mereka antara lain, Dr Abang Mansyursyah Surya Nugraha, geolog dari Nanyang Technologies Singapore, Iksam Djorimi arkeolog asal Kota Palu, Maskuri Utomo Dosen Ekonomi Universitas Tadulako Palu, Dr Muhamad Herjayanto, Ahli Studi Imu Perikanan Fakultas Pertanian dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Ir. Riska Puspita S.T, M.T ahli Petrologi dan Geologi Ekonomi, Universitas Tadulako Palu Neni Muhidin pegiat literasi. Kemudian, Ida Bagus Oka Agastya, Geosentris Batur Unesco Global Geopark, Bali dan Lani Mokonio, Asisten Ahli Pariwisata Berkelanjutan dari Sejiva.id.
Sebelumnya, Institut Mosintuwu Poso, yang berkedudukan di Kota Tentena mengajukan 20 warisan geologi ke Badan Geologi Kementerian ESDM RI untuk diverifikasi. Kedatangan Tim dari Badan Geologi melakukan verifikasi ke Tentena pada Februari – Maret 2023, geosite bertambah menjadi 27 titik. Pada perkembangan selanjutnya, jumlahnya menjadi hanya 24 titik. ‘’Kami mengajukan 20 titik tapi Tim Geologi menambahkannya menjadi 27 titik. Lalu sekarang tinggal hanya 24 titik,’’ jelas Direktur Institut Mosintuwu, Lian Gogali di Tentena, Senin 4 November 2024, lalu.
Tak hanya di lingkar Danau Poso, geoheritage juga merambah tiga desa di Lore Selatan dan dua desa di Poso Pesisir serta . ‘’Maka, awalnya kami menamakannya Geopark Danau Purba di Jantung Sulawesi, dengan penambahan dari Badan Geologi ini maka dipastikan nama Georpark akan berubah,’’ tambah Lian pada sesi perkenalan personel Tim Ekspedisi di Dodoha, Jalan Yosi Tentena, Senin 4 November 2024 lalu.
KUNUJUNGI 24 WARISAN GEOLOGI DAN DISKUSI BERSAMA MASYARAKAT
Selama 14 hari Tim Ekspedisi mendatangi 24 warisan geologi di 8 kecamatan di Kabupaten Poso, untuk melihat warisan geologi, peninggalan arkeologi, keanekaragaman hayati hingga menggelar diskusi terfokus dengan tokoh masyarakat adat, pemerintah desa, tokoh perempuan dan karang taruna serta kelompok sadar wisata (Pokdarwis) hingga Pemerintah Kabupaten Poso. 24 titik warisan geologi yang dikunjungi, antara lain, mata air panas Pantangolemba. Di sana terdapat batuan gamping malihan di sekitar mata air. Di Desa Tangkura terdapat batuan hipostratotipe formasi Puna. Pada lokasi ini terdapat singkapan perselingan antara batulempung karbonatan dan batupasir halus. Selanjutnya, batuan sinklin Pandiri. Singkapan ini terdapat perlapisan batupasir karbonatan dengan sisipan batugamping. Kemudian di Tampemadoro tim memeriksa sediman breksi. Sedimen jenis ini merupakan bagian dari Formasi Lage yang berumur Pleistosen Awal hingga Tengah atau sekitar 1,8 – 1 juta tahun yang lalu.
Lebih jauh Tim Ekspedisi juga mendatangi, sekis hijau Panjoka di Desa Panjoka, Kecamatan Pamona Utara. Menurut Geolog, Riska Puspita, batuan metamorf yang berada pada lokasi ini dipengaruhi oleh struktur geologi regional yang berarah timur laut – barat daya. Masih di Desa Panjoka, tidak jauh dari letak sekis hijau, tim juga memeriksa batugamping gneiss. Di Kelurahan Sawidago tepatnya di hutan Wawondoda, tim memeriksa batugamping malihan. Batu-batu purba ini menjulang hingga 20 meter lebih. Pada lokasi ini tersingkap perlapisan batugamping malihan, klastik, warna abu-abu, masif, keras dan kompak, kristalin.
Selanjutnya, di Kelurahan Petirodongi, Kecamatan Pamona Utara, didapati Ketidakselarasan Petirodongi. Batuan purba ini ditaksir berusia sekira 2 juta tahun. Lokasi ini merupakan tebing memanjang setinggi 20 meter dengan bentang alam umum berupa perbukitan. Tidak jauh dari Petirodongi, Tim Ekspedisi mendatangi geosite lainnya bernama conical hills Posunga terletak di Kelurahan Pamona. Batuan ini menurut Geolog Abang Mansyursyah, adalah batugamping non klastik, warna putih, masif, berupa butiran kasar dan mengandung koral. Sedangkan di Gua Latea Kelurahan Tentena, Tim Ekspedisi memeriksa batuan batugamping malihan jenis wackstone hingga packstone, serta terdapat lembaran mineral mika yang dominan. Batugamping ini membentuk foliasi.
Bergeser ke Ceruk Tangkaboba di Kota Tentena, di sini didapati endapan danau berupa pasir lanauan, warna coklat serta keruh. Temuan cangkang keong menguatkan dugaan jika kawasan yang kini masuk dalam permukiman warga dulunya adalah danau. Pakar Budidaya Perikanan Dr Muhamad Herjayanto menguatkan dugaan itu. Ketebalan batugamping di Gua Pamona mencapai 5 meter.
Tim Ekspedisi juga mendatangi Air Terjun Saulopa. Objek wisata popuer ini, ternyata meninggalkan warisan geologi batugamping malihan. Dalam deskripsinya, Badan Geologi mengakui keindahan dengan menyebut Saluopa adalah travertine terbentuk secara intensif. Disetiap undakannya, membentuk suatu bentukan yang indah. Objek wisata yang terletak di Desa Wera ini merupakan air terjun berundak berjumlah 12 undakan. Setiap tingkat tingginya hingga 10 – 11 meter. Selanjutnya adalah zeolit Pompangeo Taripa, Pamona Timur. Batuan di lokasi ini berupa zeolit dari kelompok Pompangeo yang berumur kapur. Sementara Foliasi Taripa yang terdapat di Desa Taripa, batuan yang ditemukan berupa perselingan sekis dan filit.
Warisan Geologi lainnya adalah filit Pompangeo Matialemba di Desa Matialemba, Pamona Timur. Batuan yang ditemukan berupa batuan sedimen yang telah mengalami proses metamorfisme regional dan termasuk kedalam Kelompok Pompangeo berumur kapur. Gua Korobono pun tak luput dari sasaran tim ekspedisi yang beranggotakan para ahli itu. Gua ini terdapat di Desa Korobono terletak di kaki perbukitan dengan lebar sekitar 10 meter dan tinggi 3-4 meter. Tujuan berikutnya adalah triangular facet Padamarari yang terdapat di Desa Taipa, Pamona Barat.
PADAMARARI WARISAN GEOLOGI YANG PENUH ROMANSA
Triangular facet Padamarari tak hanya menawarkan zeolite batuan purba yang terbentuk jutaan tahun lalu. Padamarari menawarkan pesona lain. Legenda epik tentang dua hati yang berakhir tragis hingga pemandangan eksotis Danau Poso di bagian selatan dan hutan perawan di bagian barat, adalah destinasi menawan yang bisa nikmati. Bisa dijangkau tak sampai sejam dari Kota Tentena. (kisah romansa yang menyertai batuan purba ini akan diceritakan pada tulisan lain). Batuan lainnya adalah hipostratotipe Formasi Latimojong Bomba yang terdapat di Desa Bomba, Lore Selatan. Batuan ini diduga diendapkan pada lingkungan pengendapan laut. Warisan lainnya adalah, intrusi Diorit Bomba di Desa Bomba, Kecamatan Lore Selatan. Mengutip deskripsi dari Badan Geologi Kementeria ESDM, batuan yang ditemukan pada lokasi ini berupa tubuh intrusi diorit dengan karakteristik warna abu kehijauan. Usai menyisir wilayah Poso Bersaudara dan Poso Pesisir, tim mengarahkan tujuannya ke Lembah Bada, tepatnya di Kecamatan Lore Barat dan Lore Selatan.
Di Desa Badangkaia, tim menyusuri sungai purba untuk mencari koordinat tempat endapan fluvial. Batuan ini tersingkap karena struktur geologi yang membentuk cekungan pull apart di Lembah Bada. Usai dari sana, tujuan berikutnya adalah Air Terjun di Desa Kolorit. Di sini, Geolog Surya Nugraha dan asistennya memeriksa batuan yang menjadi unsur penyusun Air Terjun Kolori. Fenomena pembentukan triangular facet dan Air Terjun Kolori menurut dia dipengaruhi oleh struktur geologi yang berarah relatif barat – timur. Di Lembah Bada, Tim menghabiskan peninjauannya di mata air panas Lengkeka. Batuan di lokasi ini adalah batuan granodiorit dengan karakteristik putih, tekstur faneritik halus. Kemunculan mata air panas dengan suhu 30 – 40 derajat celcius tersebut, menurutnya dipengaruhi oleh struktur geologi seperti jajaran pegunungan di bagian utara Lembah Bada yang membentuk triangular facet.
GELAR DISKUSI TERFOKUS DI 7 DESA
Untuk bahan renduk, tim juga membutuhkan masukan dari masyarakat. Karena itu ekspedisi kali ini, tak hanya mengeksplorasi 24 warisan geologi yang tersebar di 8 kecamatan. Tim juga melakukan diskusi terfokus pada 7 desa yang diikuti pemerintah desa, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh perempuan serta Karang Taruna dan kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Di setiap FGD, tim menggali cerita tentang keberadaan geosite. Termasuk mengulik peluang ekonomi yang potensial dikembangkan disejumlah desa tersebut. Keberadaan Geopark menurut Maskuri Utomo Dosen Ekonomi Universitas Tadulako Palu, harus memberi nilai tambah pada ekonomi masyarakat. Dikatakannya, jika sektor ekonomi berkembang, dengan sendirinya masyarakat akan menjaga dan melestarikan situs-situs yang ada di wilayahnya. Sedangkan diskusi dengan Pemerintah Kabupaten Poso, yang berlangsung di Bapelitbangda Poso, Jumat 8 November 2023 lalu menghadirkan kepala dinas terkait, berhasil menggali data untuk memberi penguatan dokumen renduk Geopark Poso.
SEKILAS PERJALANAN MEWUJUDKAN GEOPARK POSO
Ide mewujudkan Geopark Poso atau Taman Bumi, tidak terlepas dari peristiwa kemanusiaan yang melanda Kota Palu, Donggala dan Sigi, September 2018. Direktur Institut Mosintuwu Lian Gogali menuturkan, sejak bencana di Palu, mulai ada pemikiran menelusuri kemungkinan sesar serupa di Kabupaten Poso. Pada Mompasimbaju Masyarakat adat Danau Poso di Festival Mosintuwu 2018 yang melibatkan ahli geologi, antropologi , biologi, sudah membahas cerita rakyat tentang Danau Poso yang diinterpretasi oleh antropolog sebagai kearifan lokal. Cerita rakyat menceritakan peristiwa masa lalu serta dikuatkan oleh para geolog yang saat itu dihadiri oleh Reza Permadi dan Abang Mansyursyah Surya Nugraha keduanya dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) serta Ketua IAGI Sukmandaru Priatmoko. Ketiganya, mengatakan, bahwa Danau Poso adalah danau tektonik, terdapat sesar di bagian barat dan sesar Poso. Dalam diskusi itu pula diketahui bahwa danau Poso adalah danau purba yang memiliki keanekaragaman hayati.
Percakapan ini mendorong inisiatif untuk menelusuri potensi bencana dari keragaman geologi , keanekaragaman hayati, kekayaan budaya di Kabupaten Poso sekaligus melihat kesiapan masyarakat dan pemerintah daerah dalam mengelolanya. Ide melakukan perjalanan Ekspedisi Poso bersama-sama lahir dalam percakapan ini. Kemudian ditindaklanjuti bersama pada tahun 2019 dengan melakukan perjalanan Ekspedisi Poso. Uniknya perjalanan ekspedisi Poso ini dilakukan mengikuti jalur cerita rakyat bukan peta geologi. Peran masyarakat khususnya tetua adat, petani dan nelayan mempengaruhi jalur perjalanan Ekspedisi Poso. Pada 2019 sekaligus tercatat sebagai Ekspedisi Poso pertama. Masih pada tahun yang sama, warisan geologi Danau Poso disosialisasikan. Selanjutnya, pada 2020, ekspedisi yang sama kembali digelar. Dilanjutkan pada 2021, dokumen ekspedisi Poso diserahkan kepada Pemda Poso. Pada 2022, Institut Mosintuwu menyerahkan dokumen warisan geologi kepada Pemerintah Sulteng dan Badan Geologi. Diikuti dengan FGD aspiring Geopark Danau Poso di Bapenas.
Tak berhenti sampai di sana, pada 2023 tim dari Badan Geologi Kementerian EDSM melakukan verifikasi pada 20 warisan geologi di Kabupaten Poso. Kedatangan tim verifikasi tersebut, sekaligus menguatkan harapan, Geopark Poso sudah di depan mata. Tahun ini tepatnya Oktober – November 2024, Tim Ekspedisi melakukan perjalanan selama 14 hari. Berlangsung sejak 4 – 14 November untuk melakukan pemeriksaan hasil verifikasi yang sudah diverifikasi Badan Geologi. Setelah sesi ini rampung, pada 4 Desember 2024 nanti, direncanakan akan menggelar FGD dengan Badan Geologi RI, Pemda Sulteng, Pemda Poso bersama tim ahli yang menjadi peserta Ekspedisi Geopark Poso 2024. Usai FGD, di bulan yang sama Gubernur Sulteng memberikan disposisi penyusunan rencana induk Geopark Poso. ***
Penulis: Yardin Hasan
Foto: Basrul/Dok Institut Mosintuwu