Mengenal Dirsan Masra, Pensiunan Teknisi Pesawat, Inisiator Bank Sampah di Taipa

BERI PENJELASAN – Dirsan Masra, menjelaskan kinerja mesin buatannya yang dipelajari dari Majalah Trubus di depan tim verifikasi kandidat penerima Satyalancana Wirakarya 2024, di Taipa, Jumat 13 September 2024.

BERBEKAL pengetahuan dari majalah Trubus, Dirsan Masra seperti ‘’terlempar’’ jauh dari profesi yang digelutinya dulu – teknisi darat Maskapai Merpati Airlines. Pensiun di maskapai plat merah yang kini sudah disuntik mati oleh pemerintahan Jokowi itu, ia memilih balik kampung. Dari Makassar tempat tugas terakhirnya,  kembali ke tanah kelahirannya di Kelurahan Taipa, Palu Utara. Dirsan ingin membangun kembali kehidupannya di tanah kelahiran yang telah lama ditinggalkannya. ‘’Saya ingin pulang menikmati pantai,’’ katanya, pada Jumat 13 September 2024.

Bagi pensiunan seperti dirinya, menjalani hari senggang di bibir pantai adalah, pengalaman mahal. Lekuk bibir pantai Teluk Palu memang memesona. Sayang, hasrat itu tak kesampaian. Eksotisme teluk hilang digerus oleh timbunan sampah yang nyaris menutupi permukaan pantai. Instingnya berontak. Ingin segera melenyapkan sampah-sampah itu, tapi tidak tahu dengan cara apa. Kegelisahan itu terus dipendamnya. Pantai yang mestinya menjadi pelarian dari kesibukan dan hiburan seolah ‘’berteriak’’ meminta perhatian.

Berbekal artikel di Majalah Trubus, Dirsan kemudian melakukan percobaan setelah membaca artikel tentang proses daur ulang sampah plastik. Saban hari ia memikirkan artikel tersebut. Hingga  kemudian timbulah inisiatifnya merakit bagian-bagian tertentu mesin daur ulang. Percobaan pertama, kedua dan seterusnya tak kujung membuahkan hasil. Namun ia tak pernah kendur.

Hingga percobaan ke-11, mesin daur ulang rakitannya bisa berfungsi sekaligus menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) siap pakai dengan tiga varian berbeda, minyak tanah, solar dan bensin. Pada Jumat 13 September lalu, Dirsan memperlihatkan kinerja mesin buatannya memproduksi BBM yang dipasarkan untuk warga setempat. Kecermatannya sebagai mantan teknisi darat pesawat, terlihat jelas dari caranya menerangkan. Runut, padat dan bahasa mudah dicerna, sekalipun menyisipkan istilah yang tidak familiar.

Nelayan dan Siswa Jadi Nasabah Bank Sampah
Navoe adalah nama yang dipilih untuk bank sampah yang berdiri tahun 2011 itu. Dalam bahasa Kaili Tara, berarti bersih. Secara filosofi Navoe tidak saja dimaknai secara harfiah. Misalnya sampah plastik cukup dibuang di suatu tempat, agar terlihat tidak berserak. Navoe yang dimaksud adalah bersih hingga jejak karbon nyaris tidak ada yang tersisa. Bersama 12 karyawan bank sampah, 8 di antaranya adalah perempuan, komitmen navoe dijalankan secara konsisten hingga kini.

Kontuinitas produksi adalah salah satu yang harus dijaga. Saban hari para personelnya harus memastikan pasokan bahan baku cukup untuk dikirim ke bagian produksi. Sejauh ini, bank sampah ini belum kesulitan bahan baku. Nasabahnya adalah para nelayan, ibu-ibu hingga  siswa SD Negeri Taipa. Sesekali jika ada Gerakan Cinta Bumi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah, mereka menyisir pantai mencari limbah plastik kiriman ombak Teluk Palu. ‘’Sekali operasi sampahnya lumayan. Pernah kita dapat 3.300 kilogram,’’ kata Darsin.

Saat ini nasabah Bank Sampah Navoe berjumlah 150 orang. Jumlah tabungannya bervariasi. Ada yang Rp400 ribu dan Rp500 ribu ada pula yang di atas itu. Tak semua nasabah aktif. ‘’Yang aktif separuhnya sekitar 50 persen saja,’’ jelasnya. Mereka membeli limbah plastik dari warga senilai Rp1.200 per kilogram. Warga mengumpul sampah di rumah masing-masing, saat jumlahnya mencapai 2 – 4 kilo, lalu dibawa ke bank sampah. ‘’Atau kira-kira jika halaman warga sudah full dengan sampah plastik baru dibawah ke sini,’’ rinci Darsin tersenyum. Sebulan, bisa mengumpul sampah plastik hingga 6 ton.

Dengan komposisi konsumen masih seputar Kelurahan Taipa, volume sampah tersebut masih cukup menjamin produksi termasuk memenuhi pasokan BBM hasil sampah bagi warga setempat.  Tak semua limbah plastik diekstrak untuk menghasilkan minyak tanah, solar dan bensin. Sebagian disisihkan untuk bahan baku paving dan kerajinan cinderamata. Kini, konsumen paving tak hanya warga setempat, tapi merambah hingga wilayah tetangga, Kabupaten Parigi Moutong. Paving terdiri dua varian. Ketebalan 4 cm dengan bercampur pasir dijual seharga Rp2.500. Sedangkan, ketebalan 2 cm, plastik murni dihargai Rp2.000/buah.

Kualitas bagus, harga murah dan bahan baku dari limbah, membuat warga antusias ambil bagian dalam teknologi  ramah ini. Warga setempat berbondong-bondong menjadi nasabah, kontuinitas produksi pun terjamin. Sebulan, penghasilan penjualan BBM, paving hingga cinderamata sebesar Rp6 juta. Jumlah itu belum termasuk ongkos produksi. Skema pembagian 60 : 40. Karyawan kebagian 60 persen sebagai upah sisanya 40 persen untuk biaya produksi.

Usai interview, roemahkata mengitari sudut-sudut perkampungan hingga kawasan pantai, terlihat jarang sampah plastik bertebaran di jalan. ‘’Sekarang so jarang  sampah plastik ta hambur di jalan. Orang pasti pungut bawa di rumah, dijual di sana,’’ ucap Hasna sambil menunjuk arah Bank Sampah Navoe.

Satu Kilogram Sampah Hasilkan 800 Ml BBM
Ongkos produksi termasuk tinggi. Untuk menghasilkan 800 ml BBM saja, harus mengekstrak minimal satu kilogram sampah plastik. Prosesnya lumayan panjang. Untuk mendapatkan BBM, pemanasannya antara 8 – 10 jam. Pada 3 jam pertama, uap yang mengalir melalui pipa berdiamater 1,5 cm baru membentuk minyak tanah. Jika pemanasannya sudah di atas 8 jam, uap menaik pada level tertinggi lalu mengalir menuju wadah penampungan bensin dan solar.

TES MOTOR Disran mengisi tangki motor dengan BBM hasil dari ekstraksi sampah plastik, Jumat 13 September 2024

Masuknya Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng yang membantu peralatan pada 2019 diakui Djois Laota Budiman, Bagian Pemasaran Bank Sampah, semakin membuat produksi menggeliat. Bantuan mesin press, diakuinya membuat orderan yang datang bisa dipenuhi secepatnya. Saat ini  yang mendesak adalah mesin pencacah plastik.  Setidaknya dengan alat itu, ungkap Djois volume produksi bisa ditingkatkan.

Mengusung konsep navoe alias bersih, pembakaran reaktor menggunakan sampah kayu yang dibawa ombak Teluk Palu. Atau, limbah industri kayu yang banyak terdapat di sekitar Kelurahan Taipa. ‘’Kita konsepnya mengatasi sampah, jadi bahan bakarnya juga tetap sampah,’’  Dirsan menjelaskan. Usaha yang didedikasikan untuk ekonomi hijau ini terlihat tidak ingin meninggalkan jejak karbon yang berlebihan dalam lini usaha mereka. Residu hasil ekstrak plastik di dalam tabung pengolahan, masih bisa digunakan membuat paving atau menjadi bahan bakar dengan kualitas pengapian yang baik. ‘’Benar benar tidak ada yang terbuang. Satu-satunya karbon yang tersisa adalah asap pembakaran,’’ jelas Jois.

Pengakuan Para Penerima Faedah
Kehadiran teknologi seperti yang diinisiasi Dirsan dan kawan-kawan setidaknya bisa  menjawab diskursus panjang tentang plastik sekali pakai. Di Bank Sampah Navoe, limbah plastik dimanfaatkan oleh masyarakat, serta menghasilkan nilai tambah dari aspek ekonomi dan lingkungan.  Bahan bakar minyak tanah adalah salah satu produk yang dihasilkan dari pengolahan sampah plastik itu. Salah satu penikmat faedah terobosan ini adalah Ibu Listin, seorang ibu rumah tangga di Kelurahan Taipa. Di rumahnya, ia mempunyai gas melon. Namun pada saat-saat tertentu, gas subsidi tersebut susah didapat. Maka, alternatifnya adalah menggunakan kompor berbahan bakar minyak tanah yang diolah dari Bank Sampah Navoe.

Dengan harga Rp10 ribu per liter, menurut ibu dua anak ini, harga tersebut sangat murah jika dibandingkan minyak tanah di pasaran yang dijual dengan harga industri. Ia sudah hampir setahun menjadi pelanggan setia minyak tanah buatan industri kecil itu. Pengakuan lainnya, disampaikan Minhar nelayan di Kelurahan Taipa yang juga juga nasabah Bank Sampah. Saat ini, ia tidak  perlu antre BBM solar untuk kepentingan melaut. BBM yang produksi tak jauh dari rumahnya, telah menjadi alternatif tanpa harus antre berlama-lama di stasiun pengisian bahan bakar umum.   Dengan harga Rp6.500 per liter, angka tersebut dinilainya sangat murah untuk modal dua hingga tiga kali melaut. Amrun sopir truk, rute Palu – Poso, pun mengaku kerap menggunakan BBM premium bikinan Bank Sampah Navoe. ‘’Harganya Rp10 ribu saja, untung banyak kita,’’ katanya terkekeh.

Ekonomi Sirkular
Praktek Bank Sampah Navoe di Taipa,  adalah wujud nyata bagaimana mekanisme ekonomi sirkular bekerja.  Ekonomi model ini menurut Direktur Relawan Orang dan Alam, Mochamad Subarkah adalah salah satu jawaban bagaimana ekonomi hijau mewujud dalam bentuk nyata. Ekonomi sirkular adalah model ekonomi yang bertujuan  meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya dengan cara mengurangi, menggunakan kembali, memperbaiki, dan mendaur ulang produk material sebanyak mungkin. ‘’Yang dilakukan Pak Dirsan ini luar biasa. Di usia pensiun ia tetap aktif berkontribusi tidak saja pada lingkungan terdekatnya, tapi pada kehidupan jangka panjang,’’ ujar Subarkah.

Ia menyebut, yang dilakukan Dirsan Masra dan 12 personelnya, adalah sebuah capaian besar tentang upaya kolektif masyarakat dunia memperpanjang usia bumi yang makin sekarat oleh jejak karbon yang berserak dan menyesaki ruang publik. Plastik sekali pakai adalah problem masyarakat modern sekarang ini. Plastik dan kehidupan modern sebutnya ibarat manusia dan perangkat gawai. Sulit dipisahkan. Nyaris semua properti selalu terkait plastik. ‘’Sekarang Pak Dirsan menjawab keresahan kita dengan karyanya yang luar biasa,’’ katanya sekali lagi.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Arif Latjuba, mengaku Sulteng menghasilkan sampah 1,9 juta ton per tahun. Separuh lebih dari jumlah itu adalah sampah plastik. Laut menjadi penampungan terbesar dari sampah-sampah itu. Maka, melihat upaya yang dilakukan Dirsan Masra, seorang pensiunan BUMN, ia tak ragu  membantu peralatan yang dibutuhkan. Terhitung sejak 2019, Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah telah melakukan kerjasama dengan usaha yang berpusat di Kelurahan Taipa ini.

Pemprov Sulteng Kecipratan Citra Positif
Usaha tanpa henti yang dimulai sejak 2011 yang dilakukan Dirsan Masra dan kawan-kawan, membuat terobosannya itu tak hanya pantas dikenang, tapi juga digugu oleh yang lain. Eksperimen hingga 11 kali, seperti yang diakuinya membutuhkan tenaga, pikiran, uang dan kesungguhan serta komitmen. Namun melihat hasilnya kini, sampah plastik tak lagi menjadi tumpukan barang yang membebani bumi melainkan menjadi komoditi yang menguntungkan.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yang baru nimbrung delapan tahun kemudian, ikut kecipratan citra positifnya. Terlihat, Arief Latjuba senyumnya terus merekah kepada rombongan Tim Verifikasi Satyalancana  Wirakarya Tahun 2024. Gubernur Sulteng Rusdi Mastura adalah calon penerima penghargaan itu berkat karya yang dimotori warga tapak tersebut.

Dirsan Masra, seorang pensiunan bertransformasi menjadi pejuang lingkungan. Dengan ketekunan dan cintanya pada tanah kelahirannya, berhasil menciptakan teknologi daur ulang sampah yang memberi napas baru bagi alam di tanah kelahirannya. Sosok Dirsan dengan karya dan pengabdiannya  menjadi bukti bahwa usia bukanlah batas untuk terus berkarya.***

Penulis: Yardin HL
Penyunting: Zaskia Miftah
Foto: Yardin HL

 

Tinggalkan Balasan