TERSEMBUNYI di balik gemerlapnya kilau musik modern, nyanyian rakyat bak permata tersembunyi yang menunggu untuk ditemukan kembali. Setiap bait dan melodi yang tertuang di dalamnya menyimpan kisah, budaya, dan sejarah yang sarat makna.
Setidaknya, itulah yang ingin dikulik DPD PARPPI Sulteng saat menggelar Nyanyian Lembah Sigi Expo, yang digelar di 168House, Jalan Setiabudi Palu, Senin 8 Juli 2024. Dikemas dalam sentuhan modern, mulai dari set panggung, aransemen, lighting hingga band penampil, menjadikan lagu Tendo Tendo yang dibawakan Dynastee Band, tak lagi bernuansa tempo dulu. Farid Ceperson Sang Host, membingkai keindahan nyanyian rakyat itu dengan memberi konteks pada penonton. Hasilnya, tembang-tembang sarat nilai yang dipopulerkan seniman Sigi, almarhum Fatlina Pindarante, bisa dinikmati dan relate dengan pengunjung yang tumbuhkembangnya dininabobokan oleh budaya pop.
Tendo Tendo adalah panggilan kesayangan pasangan kekasih. Pada lagu ini pasangan itu bernama Yama dan Dati. Lagu ini memiliki makna cinta dan rasa sayang yang dalam serta puja puji sebagai pasangan hidup. Cinta sederhana sepasang kekasih tempo dulu, tanpa gawai, tanpa media sosial, tetapi cinta mereka tumbuh dalam tatapan mata, tanpa diantarai emoticon, cinta mereka tetap terpatri dengan kuat. Di tangan Dynastee Band, musikalisasi dengan genre pop alternative, membuat suasana Hall 168House terbawa oleh lirik sederhana tentang percintaan khas tempo dulu. Sentuhan aransemen yang kekinian memaksa pengunjung bergoyang ringan.
Usai Dynastee Band, selanjutnya sentuhan fusion jazz dan groove mengiringi tembang dolanan anak-anak, Tonjo Hai Bemba dan Keti Keti Dodio. Lagu ini untuk mengiringi permainan tradisional anak di Lembah Sigi. Permainan dimainkan oleh sekelompok anak saat senggang sambil menyanyikan lagu tersebut. Sedangkan lagu Keti Keti Dodio adalah senandung syair untuk balita yang mengundang suasana kegemasan. Coffee Project dengan sentuhan musikalisasinya sukses menjadikan lagu rakyat ini, tak sekadar pas ditembangkan saat meninabokan bayi di buaian. Tetapi panggung megah dengan audiens yang mayoritas generasi pop rok atau penggemar jazz akutnya George Benson dan Fariz RM pun bisa menikmatinya.
Alunan Lalove (seruling) tiba-tiba melengking di tengah kilatan lighting, menandai alunan Tindua, dendang berikutnya yang dibawakan dengan bersyair. Dalam tradisi di Lembah Sigi, Tindua ini ditembangkan untuk mengenang sanak saudara yang jauh dirantau, lalu dipertemukan dalam hajatan tertentu. Aci’s Project sukses membawa pesona baru dalam nyanyian rakyat ini. Unsur lalove yang terdengar dominan, menguatkan nuansa tradisi Kaili di Lembah Sigi begitu mengakar kuat dalam syair-syair dengan pesan yang sarat makna. Band ini juga mendendangkan Ina Ina Riumba Colo. Karakter lagu yang jenaka ini, tidak terikat oleh situasi dan ruang tertentu. Liriknya tercipta spontan sebagai respons terhadap situasi yang sedang terjadi kala itu.
Dikemas dalam nuansa musik reggae, sontak audiens mengikuti irama lagu yang membuat lupa, mereka tidak sedang menari dengan lagu, No Woman No Cry-nya, Bob Marley atau Pakanoto Rara-nya Pallo (Rival Himran). Syair ini menceritakan tentang kerinduan terhadap seorang yang disayangi namun sudah tidak pernah terlihat lagi. Kala itu, senandung ini biasa dimainkan saat masyarakat berkumpul untuk hajatan tertentu. Band Kodara mengemas lagu yang pada zamannya dibawakan sambil berpegangan tangan dengan irama hip rock. Show penutup membuat konser yang didukung penuh oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Sulteng dan Pemkab Sigi, terasa makin bertenaga.
PAPPRI Sulteng menghadirkan Hapri Poigi pengajar antropologi musik di Universitas Tadulako dan Smiet pegiat musik tradisi. Keduanya, memberi catatan pada setiap lagu yang hendak dibawakan. Menurut Poigi, upaya mengangkat kembali tembang rakyat dengan pendekatan musik modern adalah upaya yang baik. Namun ia mengingatkan, tetap memerhatikan nilai tradisinya sehingga tidak tercerabut jauh dari konteks dan ruang saat lagu tersebut dicipta.
Poigi megatakan, nyanyian rakyat adalah dari tradisi lisan. Karena itu dbutuhkan sentuhan kreatif. Kompilasi Nyanyian Rakyat Sigi, dari lima group band, mereka melakukan pendekatan secara tematik. Ada permainan tradisional, pepatah- petuah, falsafah hidup, kelonan hingga syair dan pantun yang dinyanyikan dengan teks Bahasa Kaili, alias notutura.
Lembah Sigi menurut dia, menyimpan banyak musik tradisi, secara konteks, bertalian dengan pola hidup masyarakat komunal, erat dengan tradisi agraris. Ini membutuhkan sentuhan kreatif untuk lebih eksploratif saat menuangkannya . ”Sehingga tidak terkesan hanya menempelkan musik tradisi sebgai asesoris tanpa mengedukasi nilai dan makna secara simbolik,” ujarnya mengingatkan. Sebagai awal, spirit musik tradisi sudah dapat dikatakan ada kuriositas Gen-Z, dalam menuangkan karyanya. Namun katanya, masih dibutuhkan metode dan tekhnik dalam penciptaan karya ”tradisi baru” yang tak luput dari teks dan konteks Lembah Sigi.
Di tempat yang sama, Smiet mengingatkan, upaya menggali lagu tradisi, termasuk membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari hari adalah ikhtiar yang harus dihargai. Namun menurut dia, nyanyian rakyat yang telah menjadi milik bersama tetap harus dicari siapa pemiliknya. ‘’Jangan nanti ada lagu yang bertitel NN alias No Name. Itu mestinya tidak boleh, harus ditelusuri,’’ katanya mengingatkan. Sebagai seniman yang memperjuangkan hak musisi melalui Lembaga Managemen Kolektif, musik tradisi menurutnya tidak boleh diabaikan.
Komitmen dukungan juga datang dari perwakilan pemerintah. Balai Pelestarian Kebudayaan Sulteng dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sigi, menyatakan dukungannya terhadap setiap kreasi untuk menghidupkan kembali tradisi tempo dulu agar kembali diingat dan dibiasakan pada kehidupan manusia modern.
Ketua DPD PAPPRI Sulteng, Umaryadi Tangkilisan mengatakan, setiap kreasi seni yang dihasilkan akan dicarikan mediumnya untuk eksis. Baik itu musik modern maupun musik tradisi. Keduanya sama pentingnya. Sama terhormatnya, untuk mendapat tempat yang sama baiknya dalam lanskap musik di daerah ini.
Pada pertunjukan yang berlansung dua jam lebih itu, audiens disuguhi cinta sederhana sepasang kekasih tempo dulu melalui Tendo Tendo, dunia polos anak balita melalui syair Keti Keti Dodio, serta kejenakaan yang tulus melalui Ina Ina Riumba Colo. Hingga Band Kodara dengan irama hip rocknya membuat energi tradisi masa lalu serasa mengalir kembali ke urat nadi musik modern.
Malam tadi, di Hall 168House menjelaskan dengan gamblang, tentang zaman yang terus berisik tapi jejak nada-nada lama menghidupkan kembali nyanyian yang terlupa, terhimpit dalam ingatan penikmat musik modern. Malam tadi, syair dan lirik tembang generasi tua itu bersinar kembali di tengah hiruk pikuk dunia yang serba cepat.
Nyanyian rakyat kembali menyeruak dalam jalinan harmonis yang menghubungkan cerita, sejarah dan musik masa kini. Bait bait lagu itu, menyulam warisan budaya dalam bentuk yang dapat dinikmati oleh generasi sekarang. Dengan menghidupkan kembali nyanyian rakyat, PAPPRI Sulteng, PAPPRI Sigi dan Kemistri, telah merangkai untaian waktu, menjembatani cerita leluhur dengan kreativitas kontemporer. ***
Penulis: Yardin
Editor: Zaskia Miftah
Foto: Yardin