PERNYATAAN Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdi Mastura pada saat Rakor Tata Kelola Perkebunan Sawit, beberapa waktu lalu, yang menekankan kepada Pemerintah Daerah harus memastikan legalitas perusahaan perkebunan sawit dalam operasional baik kebun maupun pabrik mendapat kritikan tajam dari Aktivis Agraria Eva Bande. Menurutnya, Gubernur tidak hanya memastikan atau mendorong legalitas perusahaan yang ada setiap daerah. Namun harus mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang selama beroperasi tanpa mengantongi izin.
“Gubernur harus tegas menjalankan UU terhadap perusahaan sawit, yang selama menjalankan bisnisnya tidak mengantongi izin,” tegasnya.
Seperti halnya 41 perusahaan sawit sekala besar yang beroperasi tanpa mengantongi izin legalitas Hak Guna Usaha (HGU) di 7 kabupaten, di antaranya Kabupaten Banggai Kepulauan,Morowali utara, Parigi Moutong, Morowali, Poso, Toli-Toli dan Donggala, dengan total luas 411.957,28 hektar, atau 10,2 persen dari total 53 perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Sulawesi Tengah.
Kalau ditinjau dalam regulasi atau peraturan yang ada, jelas sekali dinyatakan bahwa pada Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 tentang Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (1) Izin Lokasi diberikan untuk jangka waktu tiga tahun sejak izin lokasi itu berlaku efektif. Ditambah lagi Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan, bahwa kegiatan usaha budidaya tanaman perkebunan dan/atau usaha pengelolaan hasil perkebunan hanya dapat dilakukan perusahaan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan (IUP).
Di samping itu, terdapat dua perusahaan group besar yang melakukan operasi sawitnya di dalam kawasan hutan, seperti PT Kurnia Luwuk Sejati di Banggai dan PT Pasangkayu di Donggala, menanam sawit dalam kawasan Hutan lindung dan Konservasi suaka marga satwa. Namun sampai saat ini tidak pernah ditindaki. Eva juga menyebut bahwa Gubernur selama menjabat tidak ada langkah kongkret penyelesaian hak rakyat yang beririsan dengan Korporasi (perusahaan).
Bahkan konflik agraria, penyelesaiannya berlarut-larut dan jalan di tempat. Kalau pun ada hasilnya, kata Eva, terkesan menguntungkan perusahaan,bukan rakyat yang sedang berjuang. Lebih jauh Eva menjelaskan bahwa, Konflik agraria terbilang cukup marak terjadi hampir disetiap daerah di Sulawesi Tengah ini.
Dalam catatan FRAS sendiri, sejak 3 tahun terakhir terdapat hampir 23 letusan konflik diwilayah-wilayah perkebuna sawit yang tidak memiliki HGU, bahkan mengintimdasi sampai memenjarakan petani yang mempertahnkan tanahnya. Konflik tanah, termasuk menjadi konflik sosial yang cukup lama berkelindan, dan belum juga usai hingga saat ini. konflik ini terus terjadi di tengah masyarakat ketika berhadapan dengan korporasi (perusahaan). “Artinya bahwa Gubernur gagal menyelesaikan konflik-konflik agraria di sulteng,” tutup Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) itu.
Penulis: Adita W
Editor: Yardin