MATAHARI menghunjam garang di langit Desa Doda. Seliweran kendaraan lalu lalang di punggung bukit gugusan pegunungan Gawalise. Di Bukit Indah Doda, di ruang ber-AC, orang-orang kegerahan oleh cuaca yang tak kenal ampun. Ratusan orang meriung di ruangan itu dalam setelan necis. Perlente. Mereka berdiskusi, tentang bagaimana bumi ini dikelola secara bertanggungjawab, dengan harapan – cuaca panas siang ini, tak makin bertambah pada kehidupan mendatang. Topik tentang ekonomi hijau, bisnis berbasis alam, Sigi Hijau, climate change hingga basic nature, terdengar dominan diobrolkan sejak pagi hingga malam hari. Obrolan ini jauh mengalahkan topik politik capres yang masih memperhadap-hadapkan cebong versus kampret atau statuq quo versus koalisi perubahan.
Sembilan pimpinan daerah yang mewakili Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) berkumpul. Meraka tampak saling menyapa akrab siang itu. Tetamu lainnya adalah kalangan Perguruan Tinggi, korporasi dan pejabat pemerintahan hingga Civil Society Organization (CSO) juga terlihat wara-wiri. Sebagai tuan rumah, Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapata, tampak di antara tetamu maupun kolega yang mengerubunginya. Ia juga tampak enjoy dalam balutan busana semi formal. Saat koleganya para bupati di Sulteng berlomba mengekstrak sumber daya mineral demi mengejar pertumbuhan, Irwan mengambil jalan lain. Ia menepi dari keriuhan itu. Ia memilih jalan sendiri. Jalan senyap yang tak lazim. Padahal sebagian kepala daerah berlomba mengebor perut bumi mengeluarkan kandungan mineral di dalamnya. Bentang alam di kabupaten berjuluk Mareso Masagena itu, memang kaya dengan sumber daya mineral. Emas, biji besi hingga nikel dan kayu adalah sumber daya yang mampu menjadi daya ungkit pada pertumbuhan ekonomi Sigi dalam waktu sekejap.
Namun sekali lagi, Irwan Lapata sebagaimana yang selalu diulanginya dalam beberapa kali perjumpaan dengan penulis. Ia tidak tergoda mengestrak sumber daya alam, – apa lagi jika eksploitasi itu harus mengubah topografi alam. ”Ongkos sosialnya amat mahal. Negeri saya langganan longsor banjir, masa hutannya saya bongkar lagi,” katanya enteng.
Perjalanan Sigi hingga ke titik menjadi tuan rumah Festival Lestari 5, diakuinya memerlukan jalan berkelok nan panjang. Namun perjalanan panjang itu menurut dia tetaplah bermakna. Irwan berproses bersama dengan kawan-kawan yang seperjalanan. ”Kabupaten Aceh Tamiang, Siak, Musi Banyuasin, Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, Gorontalo, dan Bone Bolango untuk mendorong visi ekonomi lestari yang memastikan lingkungan kami terjaga dan masyarakat sejahtera,” ucap Irwan memastikan sikapnya.
Tema festival, ”Tumbuh Lebih Baik”, menurutnya adalah refleksi perjalanan untuk terus tumbuh dan berproses menjadi kabupaten yang semakin lestari. ”Festival ini juga menjadi amunisi baru bagi kami menyambut hari kelahiran Sigi yang ke-15 tahun dengan semangat dan mimpi kami, untuk terus tumbuh dari berbagai sektor dengan berbasis berkelanjutan,” ungkapnya yakin.
Menyimak kalimat-kalimatnya dalam berbagai pidato selama festival maupun bincang lepas dengan jurnalis, Irwan Lapata tampaknya sudah sepenuh hati, menjadikan pembangunan lestari sebagai madzhab pembangunan yang dianutnya. Setidaknya hingga 2024, saat ia meletakkan jabatan Bupati Sigi yang sudah diembannya selama dua periode. Sikapnya itu juga berangkat dari kesadaran, bahwa Kabupaten Sigi adalah rumah bagi Indonesia dan dunia untuk keanekaragaman hayati dan budaya maupun cagar biosfer.
Kristalisasi dari sikap politik hijau yang dianut Pemerintah Kabupaten Sigi itu, akhirnya melahirkan Peraturan Daerah Nomor 04 tahun 2019 tentang Sigi Hijau. Perda ini lahir karena ia dan warga Sigi percaya, bahwa lingkungan yang sehat adalah hak asasi dari seluruh masyarakat. Sekaligus kunci sukses dari kemajuan pembangunan daerah. Setidaknya, begitu yang tersirat dari setiap pernyataan baik Bupati maupun Wakil Bupati Sigi di berbagai kesempatan.
Wilayah itu telah mengalami bagaimana alam yang sehat menjadi penyelamat untuk bangkit dari ke arah yang lebih baik setelah bencana gempa, likuifaksi hingga badai Covid-19 yang menghancurkan ekonomi masyarakat. ”Tanah dan air kami yang kualitasnya terjaga setelah bencana, membuat kami mampu mengembangkan berbagai potensi basis alam untuk bangkit kembali setelah hantaman bencana silih berganti,” begitu ucapan Wakil Bupati Sigi, Samuel Yansen Pongi pada kesempatan terpisah kepada penulis.
Alam sebagai tempat hidup dan alam sebagai sumber penghidupan, harus berjalan seimbang. Antara menjaga keseimbangan alam dan mewujudkan kesejahteraan warga, juga harus berjalan bersisian. Bagi Pemerintah Sigi, keduanya diletakkan pada posisi yang sama pentingnya. Irwan mengaku telah menemukan formula untuk mempertemukan dua kutub itu. Tanpa tergesa-gesa menggelar karpet merah untuk korporasi pertambangan atau industri perkebunan monokultur, warga diajak menggalakkan potensi perkebunan yang sudah dan sedang berjalan. Kakao, vanili, palawija dan hasil hutan bukan kayu lainnya untuk digarap demi kesejahteraan warga. Selain itu, bentang alam yang ekstotik menawarkan pengembangan pariwisata berkelanjutan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan alias ekowisata.
PERSIAPAN – Didi Kasim, Editor In Chief National Geographic Indonesia saat uji coba Paralayang di Desa Wayu, Sigi, 22 Juni 2023
Salah satu yang dirujuk adalah spot paralayang di Desa Wayu yang disebut sebagai landasan pacu terbaik di Asia Tenggara. Tempat ini, bahkan pernah menjadi tuan rumah Paragliding Cross Country World Cup, 16 – 21 Agustus 2022 lalu. Cagar alam Biosper Lore Lindu, adalah peluang lainnya wisata alam yang menjanjikan. Selama Festival Lestari yang berlangsung selama tiga hari itu, semua peluang dan tantangan ekowisata dibahas para pihak yang kompeten di sektor ini. ”Ceruk wisata alam di Sigi masih banyak yang belum tergarap. Anak muda harus mengambil peran ini,” ungkap analis keuangan, Mardiah dari Hanna Indonesia, pada bincang-bincang dengan generasi muda Sigi di UIN Datokarama, Sabtu 24 Juni 2023. Pembangunan lestari adalah keharusan. Ide ini tak boleh lagi sekadar hanya cuap-cuap klise para elit untuk menggaet atensi menjelang pemilu. Komunitas Palu Kreatif, Biondi Sanda yang datang mewakili suara kaum muda bilang, kehidupan mereka tak boleh mewarisi lingkungan yang buruk dari kaum tua, hanya karena ketidakcakapan mereka mengelola lingkungan.
Festival tiga hari itu, tak hanya forum cuap-cuap. Pun, bukan hanya ajang say hello antara kawan lama. Dan tentu saja bukan hanya ajang mencari kenalan kawan baru. Sejumlah komitmen pembiayaan berhasil ditoreh. Sejumlah MoU berhasil diteken. Dan sejumlah kesepakatan strategis berhasil disepakati. Pada malam pamungkas, di depan gerbang Taman Taiganja yang kokoh dan elegan dengan permainan lighting yang memukau, Irwan Lapata dengan busana minimalis sambil mengumbar senyum, membacakan hasil yang dicapai selama festival di depan warganya.
Antara lain, komitmen pembiayaan inovasi berbasis alam sebesar 2,65 juta US dollar. Investasi tersebut untuk pengembangan kakao, kopi hingga minyak atsiri. Lalu ada 6 Nota Kesepakatan (MoU) dan 4 deklarasi komitmen yang telah dihasilkan dalam Forum Bisnis & Investasi untuk Inovasi Basis Alam baik yang bersifat regional untuk Sigi dan juga tingkat nasional. Ajang festival ini juga memberi pengalaman kepada pengunjung dengan 10 kegiatan Telusur Lestari ke daerah penghasil kakao, kopi, atsiri dan bambu. Perjalanan telusur ini adalah untuk memberi pengalaman lapangan bagi calon mitra, investor dan pembeli yang dipertemukan di kegiatan Forum Bisnis & Investasi agar komitmen di atas kertas bisa berubah menjadi kerjasama konkret.
Sedangkkan Pasar Warga Potomu ‘Ntodea di RTH Taiganja berhasil mengkurasi dan menghadirkan 51 UMKM Sulawesi Tengah dan penjuru Indonesia melalui kabupaten anggota LTKL dalam 25 booth dengan jenis produk makanan dan
minuman, kriya, fashion, mebel, kecantikan dan tanaman hias sepanjang perayaan Festival Lestari tanggal 23-25 Juni 2023. Total estimasi pengunjung yang turut menggeliatkan ekonomi lokal Sulawesi Tengah sepanjang penyelenggaraan 3 hari 2 malam adalah 15.000 orang. Dan estimasi total transaksi mencapai 432 juta rupiah. Bersama Seniman Pangan dan Javara, kini ada 19 produk turunan inovatif baru dari Sigi untuk komoditas kelor, kopi, kakao, kemiri hingga ubi yang diluncurkan di Forum Bisnis dan Investasi UMKM tanggal 23 Juni lalu itu. Sebagai landasan untuk melanjutkan kolaborasi, Kabupaten Sigi juga telah meluncurkan beberapa produk kebijakan dan basis data yaitu Profil Yurisdiksi dan Rencana Umum Penanaman Modal Lestari.
Bagi segelintir orang, pembangunan Lestari adalah narasi yang tak lazim di tengah sorak sorai industri ekstraktif yang melanda para bupati lain di Sulteng. Tapi Irwan Lapata dengan sikap yang dipilihnya, tak mau ambil pusing. Tak mengapa pertumbuhan ekonomi berjalan lambat hanya karena Sigi tidak ikutan mengobrak-abrik alamnya demi melapangkan jalannya industri yang rakus tanah, rakus air dan rakus hutan. ”Kerusakan alam adalah bom waktu yang pelan dan pasti akan mematikan kehidupan generasi nanti di daerah kami,” begitu ucap Irwan ditemui pada malam puncak di Taman Taiganja, 25 Juni lalu.
Pada minggu malam itu, bersamaan dengan usainya selebrasi di Panggung Lestari, lampu-lampu pun kembali padam. Hingar bingar panggung di tepi Sungai Palu itu terhenti. Riuh warga menghilang. Taman Taiganja pun kembali sunyi. Sesunyi jalan seorang Irwan Lapata meretas jalan baru, narasi baru – bernama pembangunan hijau berbasis alam. ***
Penulis: Amanda
Foto-foto: Amanda